Cerpen Agus Pribadi
Lelaki itu berjalan berpuluh-puluh kilometer. Entah apa sebabnya ia terus berjalan. Jauh dan semakin jauh. Seperti tak ada lelah pada kedua kakinya. Seperti tak ada penat di tubuhnya. Jika aku menceritakan ini sebagai kisah nyata, tentu kau tak akan memercayainya. Barangkali kau akan menganggap aku hanya membual belaka. Atau, kau akan menganggap aku hanya mengada-ada seperti sebuah ceracau orang kurang waras. Untungnya, ini hanyalah sebuah cerita pendek, sebuah kisah sederhana, sebuah cerita fiksi, jadi aku boleh bercerita apa saja sesuka hatiku.
Tokoh dalam cerita pendek ini berumur sekitar 25 tahun. Mengenakan sandal japit, celana panjang hitam kusam, baju biru polos lengan panjang kusam, berbalut jaket hitam kusam.
Entah apa gerangan sebabnya sehingga ia terus berjalan kaki ke arah barat. Tak ada yang tahu termasuk penulis cerita pendek ini sekalipun.
Jam demi jam dilaluinya. Lelaki itu terus berjalan kaki, menyusuri jalanan yang panjang seakan tak ada ujungnya. Jika melihat usianya yang masih muda, maka kemungkinan ia sedang patah hati karena ditinggal kekasih hatinya. Barangkali kekasih hatinya telah menikah dengan lelaki lain. Lelaki yang lebih mapan, lebih tampan, dan lebih dalam segala hal dari dirinya yang masih kebingungan mencari kerja setelah lulus dari sebuah perguruan tinggi. Padahal, barangkali ia sangat berharap pada kekasihnya itu. Ia membutuhkan dukungan dari kekasihnya agar bisa mendapatkan pekerjaan dan segera membangun rumah tangga bersama kekasihnya itu. Namun, semua hanya fatamorgana. Lelaki itu merasa seperti sebuah baju lusuh yang dicampakkan atau dibuang begitu saja.
Hari demi hari dilaluinya. Lelaki itu terus berjalan. Jika malam tiba ia akan mencari sebuah masjid. Ia akan tidur di sana, atau hanya di terasnya. Jika ia merasa teramat lapar, ia akan mencari warung makan. Ia keluarkan selembar uang kertas dari beberapa lembar uang kertas kumal dalam sakunya. Ia makan tak teratur, bisa dua, tiga, empat, bahkan lima hari sekali. Ia terus berjalan ke arah barat. Pakaian yang melekat di tubuhnya tak pernah digantinya. Sandal japit yang dikenakannya sudah hampir putus. Kakinya sudah berwarna kehitaman. Namun, ia terus berjalan seakan tak ada lelah pada kedua kakinya. Seakan tak ada penat pada tubuhnya. Jika melihat dari sikap dan penampilannya, ia seperti dimanjakan dalam keluarganya. Barangkali ia anak terakhir, atau kedua orang tuanya sangat menyayanginya melebihi kasih sayang yang didapati saudaranya yang lain. Jika keadaannya demikian, kemungkinan ia kehilangan salah satu anggota keluarganya. Kemungkinan ayahnya meninggal dunia karena sakit, kemudian lelaki itu seperti kehilangan sandaran. Seperti kehilangan arah tujuan. Jiwanya terguncang hebat hingga melamun selama berhari-hari. Ngelangut hingga berlarut-larut. Jika demikian adanya, lelaki itu sangat bersedih. Dalam keadaan sedih ia terus berjalan. Seperti menyeret-nyeret beban hidup yang tak mampu dipikulnya. Jika kau mengetahui keadaannya mungkin saja kau akan melinangkan air mata. Atau, setidaknya dalam hati kau akan menangis sesenggukan.
Minggu demi minggu dilaluinya. Lelaki itu terus berjalan ke arah barat. Lalu lalang kendaraan dilihatnya seperti angin lalu saja. Kereta api yang meliuk-liuk seperti ular juga tak pernah menarik perhatiannya. Meski ketika kuliah dulu, ia menyenangi cerita pendek yang berkisah tentang kereta api. Kereta api yang melintasi sebuah sungai di senja hari. Sungguh memesona. Namun, kini ia tak tertarik dengan kendaraan panjang seperti ular itu. Ia lebih tertarik dengan sandal japitnya yang telah putus. Ia pun mencari peniti untuk menyambungnya. Ia menemukan peniti yang sudah berkarat di tepi jalan. Jadilah kini sandal japitnya untuk alas kakinya meski telah disambung dengan peniti. Ketika hujan lebat, ia tak berusaha untuk berteduh. Ia terus berjalan menyusuri jalanan ke arah barat. Ketika terik mentari seperti memanggang tubuh, ia juga tak berteduh. Ia tetap berjalan dengan keringat bercucuran. Orang-orang yang berpapasan dengannya merasa iba. Sebenarnya lelaki itu berwajah lumayan tampan meski tubuhnya tidak terlalu tinggi. Barangkali saat kuliah, ia berpenampilan perlente. Ada lelaki lumayan tampan sedang menyeret-nyeret kesedihan yang ada dalam dirinya. Ia tidak hanya melewati desa-desa, ia sudah melalui batas-batas kabupaten, bahkan ia telah melewati batas provinsi.
Sudah lebih dari sebulan lelaki itu berjalan. Ia telah sampai di sebuah kota besar. Awalnya ia merasa kebingungan hendak melangkah ke mana. Namun sesaat kemudian ia memasuki sebuah gang. Anak-anak kecil yang sedang bermain-main di dekat gang itu meneriakinya.
“Orang gila...orang gila.”
Lelaki itu hanya tersenyum. Tak ada amarah sedikitpun dalam dirinya. Ia terus berjalan memasuki gang itu. Ia seperti sedang mencari-cari sebuah alamat yang dahulunya sering ia singgahi bersama keluarganya. Di depan sebuah rumah bercat kuning, ia berhenti. Pintu rumah itu terbuka. Seorang ibu muda menghambur ke luar rumah.
“Lanang.....” Ia menyebut nama lelaki itu. Ia memeluknya dan menangis sesenggukan.