Mohon tunggu...
Agus Pribadi
Agus Pribadi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Mencoba menghayati kehidupan dan menuliskannya dalam cerita-cerita sederhana. Kunjungi juga tulisan saya di http://aguspribadi1978.blogspot.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Resensi Buku : Balada Seorang Lengger

21 November 2011   17:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:22 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_144950" align="aligncenter" width="300" caption="Buku Kumpulan Cerpen "][/caption]

Judul : Balada Seorang Lengger (Kumpulan Cerpen)

Penulis : S. Gilangtresna, Setijanto Salim, Agus Pribadi, dkk.

Pengantar : Ahmad Tohari

Kata Penutup : Setijanto Salim

Penerbit : Leutikaprio

ISBN: 978-602-225-187-3

Terbit: November 2011

Tebal: 198 halaman

Harga: Rp. 42.000,00

“Kue Lapis” dalam Antologi Balada Seorang Lengger

Makan kue lapis, sungguh enak rasanya. Manis, dan paling cocok dinikmati dengan segelas teh tawar. Dan kue itu yang saya jadikan sebagai ibarat pada Antologi Balada Seorang Lengger.

Mengapa saya menyebutnya kue lapis? Karena saat menikmati satu persatu cerpen-cerpen di atas ada rasa yang manis yang menggelayuti hati ini. Jiwa terasa segar oleh sentuhan-sentuhan emosi yang disuguhkan oleh para penulis. Menikmati “kue lapis” itu harus dengan santai tidak harus terburu-buru agar bisa merasakan “legit”-nya. Dan segelas teh tawar akan mampu menjadi penawar yang menetralkan rasa.

Masih saya ibaratkan kue lapis, muatan cerita pada kumpulan cerpen ini juga berlapis-lapis. Saya akan membaginya menjadi 4 lapis berdasarkan : 1) emosi yang dibangun dan keindahan literasi, 2) nilai budaya dan sejarah, 3) Keliaran cerita, 4) Pesan perubahan yang ingin disampaikan.

Lapis pertama : Emosi yang dibangun

Membaca cerpen-cerpen ini, saya “menangis”,”tertawa”, tersenyum sendiri, menyesali diri, dan perasaan-perasaan lain yang berkecamuk di hati. Penulis berhasil mengaduk-aduk perasaan pembacanya. Semua itu dituliskan dengan keindahan literasi. Yang termasuk lapis pertama adalah 5 cerpen : Rawuhan, Batu Bisu, Cinta diantara Dua Huruf O, Kerinduanku Terkoyak, Makam Tanpa Nama.

Lapis kedua : nilai budaya dan sejarah

Membaca cerpen ini, saya menjadi bisa belajar tentang adat dan budaya setempat, juga mengingat tentang suatu tempat atau peristiwa bersejarah. Yang termasuk lapis kedua adalah 10 cerpen: Benteng Pendem, Jelmaan Dewi Supraba, Sepeda untuk Bapak, Balada Seorang Lengger, Kesetiaan Bulan, Tawur Banyu, Kerling Sang Penari Lengger, Ketoprak Tobong, Katresnan Sak Jeroning Segara, Banyu(E)Mas,

Lapis ketiga : Keliaran cerita

Ide-ide liar saya rasakan saat membaca cerpen-cerpen ini. Saya bisa menikmatinya karena ini hanyalah karya fiksi yang bisa dijadikan cermin dalam menjalani hidup agar lebih baik. Yang termasuk lapis ketiga adalah 2 cerpen : Darah Keadilan, Kubunuh Kau dengan Keperawananku.

Lapis Keempat : Pesan Perubahan yang ingin disampaikan

Membaca cerpen-cerpen ini, ada pesan perubahan dari penulisnya yang ingin disampaikan. Yang termasuk lapis keempat adalah 2 cerpen : Pongkor-Pongkor Tua, Bukan Sketsa Biasa.

Namun demikian tidak berarti satu cerpen hanya mengandung satu lapis saja, bisa jadi beberapa lapis atau keempat lapis terdapat dalam satu cerpen. Contohnya cerpen Rawuhan yang multi talenta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun