Hari ini (Selasa 7/8/12) saya, istri dan anak saya yang berusia 1,5 tahun melakukan perjalanan untuk mengisi waktu liburan. Setelah membeli baju di PGS (Pusat Grosir Solo), lantas kami bertiga memutuskan untuk beristirahat sejenak di Waduk Cengklik Boyolali.
Setibanya di Waduk Cengklik, kami bertiga duduk-duduk di bangku bawah pohon besar dekat pintu masuk sambil melihat genangan air. Waduk Cengklik tidak terlalu asing bagi saya pribadi, meskipun saya berdomisili di Boyolali Kota tapi saya bekerja di Kota Solo dan terkadang sesekali melewati kawasan ini.
Namun sangat mengecewakan ketika baru 5 menit saya duduk, seorang pemuda memakai topi di kepala meminta biaya untuk retribusi tempat. Tidak tanggung-tanggung Rp.9000,- sebagai uang retrebusinya.
Padahal pemuda itu sama sekali tidak membawa karcis ataupun surat keterangan bahwa dia adalah petugas resmi. Ya.. sudaah.. uang Rp.9000 saya berikan, sekaligus saya pastikan bahwa itu termasuk uang parkir kendaraan.
Yang membuat saya heran kenapa ada pungutan seperti itu? padahal saya tidak masuk di dalam kawasan Waduk Cengklik! Kalaupun itu adalah uang retribusi, kenapa tidak ada tanda terima/karcis/atau kertas yang membuat saya lebih percaya terhadap pungutan itu?
Oke.. saya pikir memang itu adalah cara lain mereka untuk memanfaatkan para pengunjung. Namun 15 menit kemudian, ketika istri saya sedang menyuapi anak saya yang berusia 1,5 tahun tiba-tiba seorang bapak dengan tato di tangan, berkulit agak putih, berbadan besar menghampiri kami yang sedang duduk di bawah pohon.
Pria itu mengatakan bahwa saya harus memesan makanan, kalau tidak memesan makanan maka saya sekeluarga harus pergi dari bangku yang saya duduki ini, kecuali saya bersedia membayar uang sewa untuk kursi yang saya duduki.
Apalagi ini?????? (tanya saya dalam hati). Berhubung saya dan istri sedang berpuasa, maka kami memustuskan untuk tidak memesan makanan dan menanyakan berapa besar uang sewa kursi yang harus saya bayar.
Bapak itu menjawab: “Rp.20.000, untuk sewa kursinya!!!” Gilaaa..... sewa kursi reot aja Rp.20.000,-!!! (jawab saya dalam hati). Seperti inikah perilaku saudara saya yang ada di sekitar Waduk Cengklik???? Sudah tidak adakah rasa kebersamaan???
Saya hanya duduk sejenak menumpang untuk menyuapi anak, harus membayar Rp.20.000,- apakah sudah tidak ada lagi pribahasa “Tuno Satak Bati Sanak”...!!!
Lantas saya berpikir dalam hati, dari pada nanti ada pungutan liar lagi, lebih baik saya pergi meninggalkan tempat ini. Toh Waduk Cengklik dari dulu sampai sekarang hanya seperti itu saja, tidak ada perubahan. Hanya sebuah kubangan air tanpa ada hiasan yang bisa menyejukan mata.