Oleh Agus Pranata
Judul tulisan ini sudah pernah diulas oleh Soe Hok Gie, dimuat Kompas, 16 Juli 1969. Sebagai aktivis idealis, Gie kembali kecewa dengan pemerintah Orde baru, kecewa pada Menteri Luar Negeri Adam Malik, pada Emil Salim, pada Widjojo Nitisatro, dan Soeharto. Bahwa menjadi menteri luar negeri Indonesia sekarang tidak menarik, kerjanya hanya jadi tukang kredit, menunda bayar utang lama atau mencari utang baru, katanya.
Judul catatan 42 tahun silam itu menarik untuk diangkat lagi, bagi saya, selain karena ada kesamaan dalam kebijakan politik luar negeri, pemerintah sekarang lebih tidak populer lagi. Dari 41 persen penduduk perkotaan dan 36 persen penduduk desa menyatakan ketidak sukaannya pada pemerintah sekarang. Ini diketahui setelah Indo Barometer melakukan survei terhadap 1.200 responden di 33 provinsi di Indonesia.
Selama 42 tahun itu, pemerintah Indonesia selalu mengembek pada induk imperialis Amerika Serikat dan Uni Eropa yang selalu mendesak taken-kontrak ekspor murah bahan mentah, investasi asing, utang, dan liberalisasi pasar. Manufer politik luar negeri Indonesia yang netral (policy of neutralism) ditengah ketimpangan masyarakat global, seperti juga pologetis Orde Baru, sekedar mengorder kebijakan asing.
Pekerjaan eksekutif presiden dan kementerian, serta legislatif (DPR) terbilang enteng ketika semuanya sudah dibuat oleh asing, film dokumenter Jhon Pilger, “The New Rulers Of The Word”, mengungkap bagaimana pemerintah di negara-negara miskin didikte dalam pertemuan-pertemuan dengan lembaga keuangan seperti World Bank (WB) dan International Moneter Fund (IMF) untuk menyetujui resep imperialisme.
Dihadapan dunia internasional, layaknya tukang obat keliling yang berorasi kemana-mana untuk menjajakan kekayaan alam Indonesia. Sedangkan didalam negeri yang menjadi lumbung kemiskinan, krisis pangan, bencana alam, banjir, Presiden negeri ini bagai biduan yang menghibur rakyat dengan lirik “manisnya kehidupan”, lagu ciptaanya dalam tembang Mentari Bersinar.
Banyak rakyat sudah muak mendegar suara pemerintah berkicau di media dan Istana. Sentilan-sentilun kedengarnya lebih enak di telinga dari pada kampanye politik, sinetron lebih menarik ditonton ketimbang pidato kenegaraan, Briptu Norman penari India lebih disambut meriah ketimbang kehadiran Presiden, iklan kredit motor lebih diminati ketimbang membaca brosur program kebijakan pemerintah. Pendeknya, rakyat sudah kehilangan optimisme berpolitik.
Mercusuar Soeharto dan Pencitraan SBY
Perstiwa coup d’etat Soeharto pada tahun 1965, membuat indonesia kembali ke “tahun nol”. Atau suatu peristiwa double coup menurut Kolonel Latief yang memutar kembali sejarah Indonesia kepada priode penjajahan ulang (Neokolonialisme). Atas keberhasilannya itu pula, Soeharto mendapat julukan dari arsitek kudeta AS dan Eropa sebagai the smiling general.
Pujian imperialisme itu untuk mengabolisi semua cita-cita Sosialisme Indonesia dalam mencapai masyarakat adil-makmur. Seperti juga di Negara Dunia Ketiga lainnya, kudeta imperialis disusul dengan pelantikan konsepsi Negara Pembangunan atau Developmentalism.
Teori Developmentalism adalah percabangan saja dari ideologi Kapitalisme yang menghendaki pertumbuhan ekonomi untuk menjamin kepentingan akumulasi kaum pemilik modal dengan campur tangan negara. Atau negara diperbantukan untuk menopang bisinis para jutawan. Karena Kapitalisme sedang dirong-rong dimana-mana di Negara Dunia Ketiga, maka Pemerintah Soeharto memperkenalkannya dengan istilah “ekonomi campuran” (mixed economy), bukan Kapitalisme dan bukan Komunisme. Persis apa yang dibilang pencetusnya, W.W. Rostoe (1960), menulis tentang: The Stages Of Economic growth; A Non-comunist Manifesto.
Semenjak tahun 1967, Ordebaru menerapkan Pembangunan Lima Tahun (PELITA) dan Rencana Pembangunan Lima Tahunan (REPELITA) untuk menjalankan saran Rostow: investasi asing, hutang luar negeri, kebijakan pajak, penerbitan oblogasi pemerintah, relokasi modal (tabungan dan investasi), keterlibatan swasta, dll, untuk menuju tahap masyarakat modern. Ini segaris dengan model kebijakan The Bretton Woods Institute (BWI) yang disponsori presiden AS Harry S.Truman.
Keadaan itu mengkonfirmasi pada kita akan Pemerintahan Orde baru yang sejak semula sudah kehilangan political independentcy dalam mengisi kemerdekaan. Sehingga program kebijakan Ordebaru hanya menempel pada kehendak swasta asing, seperti program revolusi hijau di bidang pertanian. Ordebaru memang membangun mother industri ekstraaktif, penerbangan, perkapalan, dan menerapkan proteksi ekonomi dan mengesahkan kebijakan Anti-Monopoli serta kebijakan Usaha Kecil, sehingga sedikit melindungi produksi nasional dan kaum tani.
Tetapi kebanyakan kebijakan Orde baru adalah kebijakan mercusuar yang hanya menghabiskan uang dan tenaga bangsa, tapi minim manfaatnya bagi kelangsungan hidup rakyat. Program pembangunan Orde baru dibangun dengan utang untuk sekedar mencuri perhatian melalaui pendanaan kebutuhan kredit dan konsumsi, yang pada akhirnya menjerat leher bangsa.
Meski Gross Domestik Bruto (GDB) Indonesia mencapai 7 % kala itu, tetapi disumbang oleh industri asing di Indonesia. Dan Industri disektor agraris tidak dikembangkan, akibatnya kita terus menerus menjadi negara eksportir “spesial bahan mentah” kata ekonom ECONIT Hendri Saparini. Keuntungan dari pembangunan tidak menetes kebawah, sebaliknya terbang keluar negeri. Oleh karena itu Prof. Sri Edi Swasono menyebutnya bahwa pembangunan di Indonesia, bukan pembangunan oleh Bangsa Indonesia.
Era reformasi malah membuat imperialisme makin menggila mensubversi ekonomi, politik, sosial dan budaya. Indonesia semakin dicekik oleh kerjasama-kerjasam multilateral World Trade Organization (WTO) dan bilateral Free Trade Agreements (FTA) dengan negara-negara maju.
Dalam kurun waktu 7 tahun berkuasa, Pemerintahan SBY sudah memprivatisasi 40 BUMN, memangkas subsidi, mengkomersilkan aset publik, dll. Bila dilihat paket regulasi yang dihasilkan seperti UU No.18/2004 tentang Perkebunan, UU No.19/2004 tentang Kehutanan, UU No.7/2004 tentang Sumberdaya Air, UU No.3/2004 tentang Bank Indonesia, UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No.9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, dll, maka betapa gampangnya kita mengelola pemerintahan, cukup dengan membuat regulasi penjualan sumberdaya nasional.
Sungguh tidak menyenagkan hidup dijaman yang hanya mendegarkan prestasi koruptor. Kabar Menko Ekonomi Hatta Rajasa yang disandung kasus korupsi proyek pengadaan kereta api, Menpora Andi Malarangeng disandung kasus korupsi pengadaan wisma SEA Games Palembang, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu disandung kasus suap pembelian 15 pesawat MA-60 buata Xian Aircraft China, Menakertrans Muhaimin Iskandar tersandung korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), termasuk Sri Mulyani dan Boediono dalam kasus Bank Century, serta berita kolusi dari Istana Presiden oleh Ani Yudhoyono dan anaknya Edhie Baskoro. Dalam kasus berbeda, Menteri Kehutanan terlibat pelegalan ekspoloitasi kawasan hutan yang menghancurkan tenaga produktif kaum tani, dan hampir setiap hari kita mendengar kasus perampasan tanah rakyat
Sekarang Indonesia menjadi negara yang berada dihalaman belakang imperialisme, menunggu utang rejeki dari negara donatur. Ini pula yang selalu dilakukan oleh SBY dalam setiap lawatannya kenegara asing atau ketika didalam forum internasional. Indonesia menjadi ketergantungan utang untuk membiayai kebutuhan subsidi sosial dan gaji pegawai, atau kebutuhan konsumsi yang serupa dilakukan Soeharto. Kesepakatan Indonesia dengan Norwegia untuk menerima bantuan deforestasi dan degradasi hutan, mencerminkan sikap pemimpin pelanduk yang rela berkorban untuk mengurangi emisi racun carbon (CO2) yang dihasilkan oleh imperialisme itu sendiri.
Sialnya, reproduksi informasi yang mengelabuhi publik, dari statistik kemisikinan, pertubuhan ekonomi, dan iklan pogram sosial, semuanya adalah pencitraan yang tidak membumi. Selain itu, Presiden SBY malah memperoleh penghargaan dari lembaga-lembaga internasional sebagai penegak demokrasi Indonesia, padahal, demokrasi politik yang dinikmati saat ini, didobrak oleh perjuangan mahasiswa-rakyat melawan Orde baru.
The angry young man
Professor University Kassel, Germany, Wilfgang Shach pernah mengingatkan bahwa “bukanlah kegagalan Pembangunan yang harus ditakuti, melainkan justru keberhasilannya,” ketika memasuki masa dunia tunggal (Globalisasi) yang ditandai monopoli perusahaan raksasa Multinational Corporation (MNC), ini bakal menghancurkan industrlialisasi nasional. Kesalahan ini dijalankan dengan baik oleh pemerintah SBY-Budiono.
Jika kita melanjutkan “ramalan keberhasilan” Pemerintahan SBY bahwa pada tahun 2050 kelak, Indonesia bakal jadi bangsa besar dibawah panduan ideologi laissez faire (pasar bebas) yang diajarkan Freidrich Von Hayek, maka bangsa kita akan mengikuti jalan seperti judul di sampul bukunya: The Road To Serfdom, -Jalan Menuju Perbudakan.
Gap antara kaum kaya (haves) dan kaum miskin (haves not) di Negeri kita sudah begitu lebar. Sebanyak 80 persen rakyat hidup dibawah pendapatan 18 ribu rupiah, dan 70 persen bekerja disektor informal. Kita juga mengalami deindustrialisasi disegala sektor akibat pasar bebas, yang bakal melempar tenaga kerja dari pabrik ke jalan sebagai pengagguran.
Imperialisme adalah penyebabnya. Karl Kautsky mengatakan bawa imperialisme adalah kepentingan negara industri menjajah negara agraris. Pertama, imperialisme menghancurkan segala usaha produktif pembangunan ekonomi, dan menyita seluruh sumber daya produktif. Kedua, imperialisme menciptakan ketergantungan (dependency). Ketiga, imperialisme menghancurkan sumber daya manusia (human capital), melaui praktek pendidikan, kemiskinan, politik upah murah, dan sebagainya.
Ini adalah buah kebijakan pemerintah, seperti perkataan Karl Polanyi, bahwa Negara berperan melindung laissez faire yang menguntungkan korporasi, “there was nothing natural about laissez faire,” -pasar tidak tumbuh secara alamiah, tetapi melalui campur tangan negara. Pemerintah sudah gagal mencapai Indonesia merdeka untuk menciptakan masayarakat adil-makmur.
Kaum muda semestinya marah, karena terlahir sebagai generasi pewaris utang dan kemsikinan, karena hilangnya masa depan. Kita marah karena digerakan oleh rasa kesengsaraan, bergerak karena ingin hidup lebih layak dan sempurna, ingin cukup makan, ingin cukup pakaian, ingin cukup tanah, ingin cukup perumahan, ingin cukup meminum seni dan kultur, pendek kata bergerak karena ingin perbaikan nasib bangsa kita, kata Soekarno.
Kita melawan karena Pancasila kita diganti konsep Developmentalisme, diganti konsep Laisses Faire (Neo-Liberalisme). Kita melawan karena kita diledek oleh bangsa asing sebagai bangsa kuli, satu bangsa yang hanya hidup dari dua setengah sen satu orang satu hari, “Een Natie Van Koelies En Een Koelie Onder De Naties”. Kita menyatakan sikap free fight liberalism.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H