“The constitution is made for men, and not men for the constitution”: konstitusi dibuat untuk mengabdi kepada manusia, dan bukan manusia dibuat untuk mengabdi kepada konstitusi”. Kata-kata Soekarno ini sekaligus mengkritik mereka yang selalu berbicara atas nama undang-undang, tetapi menindas kepentingan mayoritas rakyat.
Seringkali pihak pemerintah, khususnya institusi keamanan, selalu melihat Undang-undang dengan “kacamata kuda”, artinya, produk undang-undang lebih dimuliakan dari pada hak manusia. Seyogyanya produk constitution itu, hanya alat untuk mencapai tujuan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Jika pengertian mendasar semacam ini saja tidak dapat dipahami oleh penyelenggara negara atau kekuasaan, maka sudah pantas penyelewengan kekuasaan terus terjadi. Inilah yang terjadi di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), dimana pemerintah atas nama undang-undang melegalkan perampasan-perampasan tanah rakyat, dan mengkriminalisasi perjuangan rakyat Bima.
Konflik agraria yang terjadi di Bima adalah ekses langsung dari kebijakan pemerintah, yaitu diterbitkannya SK Bupati Nomor. 188/2010 tentang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN). Ijin eksplorasi perusahaan yang tumpang-tindih dengan lahan warga dibuat secara sepihak inilah yang memicu rentetan konflik sejak awal tahun 2011 lalu.
Disisi lain, pemerintah punya “maksud baik”. Namun, maksud baik untuk mengundang investasi asing agar ada tambahan income dan lapangan kerja hanyalah mimpi kosong. Masuknya investasi disektor pertambangan misalnya, justru melucuti petani dari sumber kehidupannya. Sehingga, keinginan pemerintah mengurangi pengangguran, justru menciptakan ladang pengangguran baru.
Jadi, sudah jelas bahwa konflik agraria yang terjadi saat ini disebabkan karena kebijakan yang pemerintah yang begitu liberal pada modal asing. Pemerintah “salah urus”. Pengelolaan sektor agraria justru menghilangkan hak mayoritas rakyat terhadap akses tanahnya.
Pemerintah nampak begitu sigap ketika menghadapi pujian dengan menyambut peluang investasi. Sementara itu, ketika menghadapi kasus-kasus konflik agraria dan protes rakyat, pemerintah malah mengambil langkah seribu alias kabur.
Olehnya itu, tidak ada alasan bagi pemerintah menghindar, apalagi takut pada gugatan hukum perusahaan, jika rakyat yang berhak mendukung pencabutan ijin operasional PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN). Sebab, pemerintah adalah penyambung “lidah rakyat” dan bukannya pembeo “mulut pengusaha”.
Dengan dicabutnya ijin eksplorasi tambang PT. SMN tersebut, akar persoalan kekerasan dan konflik agraria di Bima memang sudah selesai. Namun, ekses dari kekerasan yang dilakukan negara justru meninggalkan trauma dan antipati yang kuat terhadap institusi pemerintah.
Sebelumnya, kegagalan pemerintah dalam penyelesaian konflik agraria ini menyebabkan pemerintah kehilangan kepercayaan rakyat. Pembakaran Kantor Bupati Bima adalah wujud ketidakpercayaan rakyat pada skema penyelesaian konflik yang ditawarkan oleh pemerintah.
Lebih jauh lagi, paska peristiwa pembakaran Kantor Camat Lambu, rakyat bahkan mengisolasi diri, khususnya dari pemerintah. Kehadiran pihak pemerintah dianggap hanya “benalu”. Sebab, rakyat yang berada pada posisi sebagai korban justru di cap sebagai “provokator”, “anarkis”, dll, yang tujuannya untuk mengkriminalisasi semua perjuangannya.
Pada peristiwa pertama yang terjadi pada Februari 2011 lalu, dimana terjadi penembakan warga dan pembakaran kantor tersebut, pemerintah sesungguhnya gagal memetik pelajaran, akibatnya terulang lagi peristiwa serupa di Pelabuhan Sape, Bima, pada 24 Desember 2011.
Sejak februari 2011, total korban tewas ditembak oleh aparat sudah mencapai tiga orang, puluhan orang luka-luka, dan ratusan lainnya sempat dijebloskan ke penjara. Untuk peristiwa di Pelabuhan Sape (Bima), 47 orang petani dijadikan tersangka.
Selain itu, penguasa seolah juga memiliki “kekebalan hukum”. Berita kasus penembakan warga setahun lalu tidak ada kabar lagi. Demikian pula dengan jatuhnya korban dalam peristiwa di pelabuhan Sape, tidak ada satupun institusi baik kepolisian atau juga pemerintah yang mau bertanggungjawab? Padahal, pembubaran dan penembakan kearah warga secara membabi-buta tersebut adalah instruksi pimpinan kepolisian dan juga pemerintah.
Bayangkan, dalam kasus ini pemerintah hanya memberikan sanksi hukum pada aparat kepolisian berupa penundaan kenaikan pangkat, pendidikan, demosi, dan sebagainya. Sementara, ratusan petani yang terkena tembakan membabi-buta polisi, dan masyarakat yang kehilangan keluarganya karena meninggal justru mendapat tindakan kriminalisasi.
Rakyat merasakan juga seolah ada impunitas atau pembebasan pelaku kejahatan dari tanggung-jawab hukum. Disini, negara seolah telah memberi jaminan kekuasaan pada setiap pelanggaran HAM untuk terus bertindak represif, sementara luka ketidakadilan yang dirasakan rakyat tidak pernah diobati. Rakyat menjadi korban.
Puluhan ribu rakyat kecewa pada tindakan pemerintah yang tidak pernah perhatian. Karena itu, rakyat membebaskan sendiri 53 orang rekan-rekannya yang ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Bima. Rakyat kembali menuntut agar penangkan dan penyisiran terhadap mereka dan warga lainnya segera dihentikan.
Maka dari itu, dibutuhkan sebuah upaya rehabilitasi dan rekonsiliasi sebagai jalan paling arif dan demokratis dalam penyelesaian konflik agraria ini, yang bukan saja untuk mencegah agar tidak terjadi korban lagi, tetapi juga untuk memulihkan luka rakyat terhadap pemerintah.
Sebelumnya, Gubernur NTB, M Zainul Majdi, sudah pernah melayangkan surat kepada Bupati Bima, Ferry Zulkarnaen, pada tanggal 29 Desember 2011. Surat itu berisi upaya untuk melakukan pemulihan trauma psikologis massa rakyat (Baca, rekonsiliasi).
Untuk itu, pesan dari rakyat tiga kecamatan (Lambu, Sape, Lambudu) perlu didukung. Mereka menuntut ketegasan pihak Polresta Bima untuk mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3), dan pihak Jaksa Agung RI mengeluarkan Surat Keputusan Devonering (penghentian perkara untuk kepentingan umum) dalam proses rekonsiliasi.
Apa yang menjadi payung hukum bagi pemerintah adalah apa yang diamanatkan oleh konstitusi. Semua itu tidak perlu terjadi jikalau saja pemerintah menjalankan cita-cita konstitusi dengan benar, khususnya pasal 33 UUD 1945 dan UU Pokok Agraria 1960.
Cukup sudah mengorbankan dan mengkriminalisasi warga. Sudah saatnya bagi pemerintah menjalankan amanat dan cita-cita constitution UUD 1945, membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah rakyat Indonesia. Hanya dengan begitu maka rakyat akan menaruh rasa hormat yang sebesar-besarnya.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI