Kurikulum Berbasis Cinta? Aneh namun indah didengarnya. Â Itulah Gagasan yang disampaikan oleh Menteri Agama RI, Prof Nazarudin Umar yang ditulis oleh Dr.Thobib dengan Judul Rawat Keragaman Indonesia dengan Kurikulum Berbasis Cinta
Bagi Penulis, Agus Mukhtar yang seorang Guru Madrasah di MTs Al Ghazali Mirit Kebumen dan Ketua Padepokan Sunan Geseng Indonesia (YPSG Indonesia) serta Ketua Umum Forum Guru Sertifikasi Nasional Indonesia (Fgsni), gagasan ini wacana kurikulum berbasis Cinta ini sangat menarik, bagaimana menariknya, pertama, ditinjau dari segi bahasa saja, kalimat Cinta  terasa hamble  dan familier ditelinga. Kedua, ditinjau dari segi keprofesionalan penerapan kurikulum cinta  itu,sangat kental dengan take and give, saling merasakan antar siswa dan Guru. Hal ini akan membuat suasana dalam lingkungan madrasah akan semakin damai dengan nuansa Kenabian.
Mungkin ini yang dimaksud dengan Mengajar ala Nabi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Prof. Nazarudin, Menteri Agama RI saat bincang santai dengan Dir GTK Kemenag, Dr.Thobib,pada hari selasa Tanggal 7 Januari 2025, dimana kurikulum berbasis cinta,  bertujuan membentuk generasi muda yang memiliki pandangan, sikap, dan perilaku toleran terhadap perbedaan, baik itu suku, agama, maupun budaya.
 Jika kita renungkan, sangat relevan dengan kebutuhan bangsa kita. Indonesia adalah negeri yang kaya akan keberagaman---dari Sabang sampai Merauke, beragam suku, agama, dan budaya hidup berdampingan. Namun, keberagaman ini adalah warisan yang harus dijaga, bukan sekadar dihormati. Kerukunan antarumat beragama menjadi pondasi penting bagi keberlangsungan bangsa. Kata Nazarudin.
Ditambahkan, bahwa kurikulum ini Lebih dari Sekadar Teori, Kurikulum berbasis cinta ini bertujuan menjadikan pendidikan agama lebih dari sekadar pembelajaran ritual dan tata cara beribadah. Kurikulum ini mengajarkan nilai-nilai toleransi dan moderasi, membentuk karakter yang tidak hanya menghargai perbedaan, tetapi juga mampu hidup berdampingan tanpa merasa paling benar.
Cinta, dalam konteks ini, bukan sekadar emosi. Ia adalah sikap yang diwujudkan melalui tindakan---menghormati perbedaan, merangkul keberagaman, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Cinta yang inklusif dan universal, cinta kepada Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta.
Pendidikan berbasis cinta juga mengingatkan kita bahwa agama bukanlah alat untuk memisahkan atau menghakimi. Sebaliknya, agama adalah jalan menuju kedamaian, kasih sayang, dan persatuan. Melalui pendekatan ini, generasi muda diajarkan untuk melihat keberagaman sebagai anugerah, bukan ancaman.
Madrasah sebagai Garda Terdepan, Dalam pendidikan agama, madrasah memiliki peran strategis. Bukan hanya mengajarkan ilmu agama, madrasah juga membentuk karakter siswa. Dengan kurikulum berbasis cinta, siswa dilatih untuk menghargai perbedaan, berempati, dan hidup harmonis dalam masyarakat yang majemuk.Tambah Nazarudin.