[caption id="attachment_417107" align="aligncenter" width="560" caption="jajaran kabinet Jokowi (okezone.com)"][/caption]
Sudah tujuh bulan pemerintahan Jokowi berjalan, hingga kini masih terus mencari-cari format yang tepat dalam menjalankan kinerjanya. Waktu tujuh bulan bisa dibilang lama bisa dibilang singkat tergantung konteks dalam memahaminya. Dibilang lama karena tengang waktu selama tujuh bulan dirasa cukup untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang sedang dan masih dalam proses perencanaan untuk dijalankan. Dibilang singkat, karena waktu tujuh bulan sangat singkat bagi seorang Presiden baru yang mewarisi seluruh kebijakan-kebijakan baik jangka pendek, menenggah, maupun panjang yang diwariskan oleh pemimpin sebelumnya untuk melakukan penyesuaian, pembenahan, serta mengkombinasikan dengan kebijakan baru yang akan diusung oleh pemerintah saat ini demi meluluskan visi dan misi pembangunan sebagaimana disampaikan dalam kampanye yang lalu.
Tidak mudah memang bagi pemerintahan saat ini untuk secara cepat mengimplementasikan seluruh perencanaannya, kendati masih banyak persoalan disana-sini untuk dilakukan singkronisasi agar dapat berjalan dengan baik. Nyatanya, agenda revolusi mental yang diusung oleh Jokowi, banyak terdapat perbedaan dibanding postur kebijakan pemerintah sebelumnya. Katakanlah soal pencabutan subsidi, pembangunan infrastruktur, dan reformasi birokrasi.
Bagi kita masyarakat awam dampak dari perubahan kebijakan pemerintah dirasakan sangat signifikan, terutama hal yang bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat sehari-hari, pencabutan subsidi premium dan fluktuasi kenaikan BBM misalnya. Tentunya kebijakan ini sangat tidak mengenakkan masyarakat yang setelah sekian lama kita berada pada zona nyaman subsidi.
Raport merah pun menjadi hal yang santer kita sampaikan kepada pemerintah sebagai akibat dari tidak stabilnya perekonomian nasional. Kurs dollar yang semakin melambung dari 9.800 menadi 13.120, harga-harga kebutuhan pokok meningkat tajam, fasilitas BPJS yang masih menuai banyak persoalan, dan pada saat ini, harga saham di lantai bursa yang mengalami penurunan tajam, ditambah lagi dengan berbagai kementerian Jokowi selalu terlibat dalam persoalan politik, seperti halnya menteri hukum dan hak asasi manusia dan menkopolkam yang sering controversial. Semua keadaan diatas menjadikan pemerintah Jokowi dalam kurun waktu enam tahun pasca pelantikannya mengalami kemerosotan popularitas.
Hal inilah yang disayangkan oleh banyak fihak, ketika perekonomian nasional mengalami titik yang menghawatirkan, pemerintah terkesan tidak fokus untuk menyelesaikan dan mempertimbangkan dampak ekonomi atas kebijakan yang mereka ambil. Pemerintah terkesan memaksakan kehendaknya agar program-program pemerintah segera bisa dilaksanakan, sementara kesiapan infrastruktur dan kondisi perekonomian masyarakat nyatanya belum siap.
Berbagai pihak menuding bahwa pemerintah Jokowi terlalu sibuk berurusan dengan infrastruktur dan konflik politik dan antar lembaga dibawahnya, dibanding mengurusi perekonomian, wal hasil jajaran menteri ekonomi menjadi sasaran tembak kritik masyarakat, hingga berujung pada desakan reshuffle.
Desakan Reshuffle Kabinet
Desakan reshuffle kabinet semakin menyeruak, bahkan wapres sendiri, seperti direlease oleh berbagai media menyampaikan bahwa perombakan itu belum terjadi, tapi akan segera dilakukan untuk meningkatkan kinerja kementerian. Namun disisi yang lain, jokowi justru menampik tentang adanya rencana reshuffle tersebut. selain pihak istana. Disisi lain desakan reshuffle juga datang dari kalangan pengusaha dan berbagai lembaga survey serta pengamat politik yang beranggapan bahwa Jokowi tidak mampu dalam mengendalikan pemerintahannya, yang terkesan berjalan sendiri-sendiri.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anton J Supit juga menyampaikan beberapa alasan kenapa Presiden Jokowi harus segera me-reshuffle kabinetnya, “Salah satu yang disorot pengusaha adalah, kabinet kerja Jokowi-JK dinilai cenderung banyak melakukan pencitraan, dibandingkan visi misinya yakni kerja, kerja, kerja. Anton menambahkan alasan lainnya Presiden Jokowi harus me-reshuffle adalah kinerja para menteri ekonomi belum memuaskan untuk memecahkan masalah yang ada. Dirinya menilai, Jokowi harus mampu memilih menteri yang luar biasa”.