Mohon tunggu...
Lilik Agus Purwanto
Lilik Agus Purwanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

belajar, belajar, mari terus belajar follow twitter: @aguslilikID web: http://aguslilik.info

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tangan-tangan “Politik” Sunyi

25 April 2014   21:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:12 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Suhu politik di tanah air pasca pemilihan legislatif  semakin memanas, menjelang pilpres pada 9 juli mendatang, manuver-manuver politik pun digencarkan oleh para elit politik demi meraih dukungan masyarakat dan mendapatkan “boarding pass” menuju pilpres mendatang. Berdasarkan hasil perhitungan cepat yang dilakukan oleh berbagai lembaga survey secara berurutan menempatkan PDI-P, Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PKB pada posisi 5 besar. Namun yang menjadi pertanyaan adalah tidak ada satu partaipun yang mampu menembus angka 20% (maksimal 19% PDIP). Hal ini menarik, karena arena pertarungan menuju pilpres tidak ada satu partaipun yang mendominasi perolehan suara sebagai syarat presidential threshold, sehingga masing-masing partai diharuskan untuk menjalin koalisi dengan partai lain untuk mengusung kadernya menuju kursi Presiden. Yang perlu diamati adalah fenomena-fenomena anomali politik yang terjadi, pertama, berdasarkan hasil survey tingkat elektabilitas Jokowi yang tinggi dan tidak ada satupun capres yang mampu menandingi, tidak mampu mengangkat perolehan suara PDIP, sebagaimana banyak diprediksi oleh berbagai kalangan akan mencapai minimal 27%. Kedua, PKB yang notabene selama 2 periode (2004 dan 2009) mengalami kecenderungan terus mengalami penurunan tiba-tiba secara signifikan naik menjadi 2 kali lipat. Ketiga, partai Demokrat, yang diramalkan akan mengalami penurunan suara hingga 3% pun tetap bertengger di angka 9 -10 %.  Melihat fenomena-fenomena tersebut apa yang sesungguhnya terjadi?

Untuk menganalisa ini ada dua sudut pandang yang harus kita cermati, pertama rentetan/peristiwa sebelum pileg, dan kedua kejadian-kejadian setelah pileg. Untuk menganalisa ini penulis sengaja mengunakan teori konspirasi untuk membaca peristiwa-peristiwa rangkaian kejadian-kejadian untuk kemudian mengabungkan menjadi sebuah kesimpulan sebagai indikasi awal sampai nanti terbukti apa yang sesungguhnya akan terjadi.

Peristiwa Sebelum Pemilihan Legislatif (Pileg)

Jauh sebelum pelaksanaan pemilu legislatif berbagai manuver-manuver terjadi secara berentetan dan sepertinya secara struktur dan terencana. Hal ini bisa dilihat bahwa persoalan DPT (Daftar Pemilih Tetap), UU Pemilu, dan lain-lain seakan telah memberikan indikasi awal adanya permainan sunyi yang dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu. Munculnya persoalan-persoalan sebelum pelaksanaan pileg ini pun sebetulnya disadari oleh banyak kalangan, namun nampaknya tidak dianggap sebagai suatu hal yang serius. Pertama, persoalan DPT, sejauh ini Sejauh ini jumlah Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yang diserahkan Depdagri ke KPU adalah 190.463.184 jiwa.Dari DP4 tersebut KPU telah menetapkan bahwa DPS Pemilu 2014 berjumlah 177.257.048 jiwa. Jumlah ini belum termasuk DPS dari daerah Provinsi Papua, Sumatera Selatan, dan Maluku Utara serta luar negeri, padahal Data Pemilih Tetap (DPT) tingkat Kab/Kota sudah harus ditetapkan pada tgl 7-13 September 2013. KPU juga menyatakan terdapat 1,8 juta pemilih ganda, sementara Bawaslu menyebutkan terdapat kesalahan administratif pada 4,1 juta pemilih. Hal ini akan berpotensi terjadi pengelembungan suara pada tingkat pencoblosan.

Kedua, Pengajuan gugatan pelaksanaan pemilu serentak, dan atas putusan MK dikabulkan namun dilaksanakan pada Pemilu 2019, keputusan tersebut memunculkan berbagai pendapat oleh beberapa pakar hukum tata negara, keputusan MK atas penundaan pelaksanaan pemilu serentak pada 2019 dengan argumentasi bahwa kesiapan KPU untuk melaksanakan pemilu 2014 serentak akan kacau. Hal ini akan berpotensi keabsahan penyelenggaraan pemilu 2014 akan berakibat inkonstitusional, karena mengingat keputusan MK bersifat mengikat dan harus dilaksanakan begitu putusan dibacakan. Dengan demikian kondisi tersebut akan mengakibatkan tingkat keabsahan pelaksanaan pemilu akan rawan menimbulkan konflik.

Kedua persoalan diatas sampai saat ini masih menyimpan pertanyaan, seakan-akan kedua persoalan diatas sengaja digantung penyelesaiaannya. Dan memang sengaja digiring sebagai amunisi jika suatu saat pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kondisi tersebut tidak tercapai hasratnya dalam memenangkan pemilu akan digunakan sebagai amunisi untuk menimbulkan kegaduhan politik yang ujung-ujungnya akan berpotensi terhadap sah atau tidak pelaksanaan pemilu 2014.

Sesudah Pemilu Legislatif

Pemilu yang dilaksanakan pada 9 April 2014 lalu sampai saat ini masih banyak menyisakan tanda tanda tanya besar. Komposisi perolehan suara yang sebelumnya banyak di release oleh sejumlah lembaga survey hampir seluruhnya meleset. Partai demokrasi Indonesia Perjuangan yang diramalkan akan meraup suara signifikan tidak terbukti, PKB yang suara nya stagnan dan cenderung mengalami penurunan pada dua periode pelaksanaan pemilu secara mengagetkan naik dua kali lipat. Partai Demokrat yang banyak diramalkan akan mengalami penurunan secara signifikan sampai 3% pun tetap bertengger pada posisi 5 besar.

Anomali Hasil Pileg dan Hasrat Ingin Tetap di Pemerintahan

Kondisi-kondisi diatas bisa dikatakan terjadi anomali kondisi politik, semua prediksi para lembaga survei pun tidak terjadi. Menurut analisa berbagai kalangan ada yang menyebutkan bahwa pemilu kali ini pemenangnya adalah tetap faksi SBY (Koalisi setgap), dimana kalau dilihat partai-partai oposisi (PDIP, Gerindra, Hanura) yang di prediksi akan meraup suara signifikan pun tidak terjadi, namun sebaliknya partai-partai yang tergabung dalam setgap (koalisi bentukan SBY) suara yang diperoleh kecenderungan mengalami kenaikan (terkecuali Demokrat).

Secara ekstrim banyak yang menganalisa bahwa penurunan suara partai Demokrat kali ini sebagai dampak dari kondisi partai yang dipenuhi dengan kasus korupsi, pertanyaannya adalah kemana suara partai Demokrat?. Analisa pertama, Demokrat menyadari betul bahwa secara harfiah partai tidak akan mampu untuk bertahan dalam perolehan suara pada pileg 2014 apa lagi naik. Partai Demokrat menyiapkan “sekoci-sekoci” untuk menampung suara-suara yang pada awalnya dimiliki oleh partai Demokrat, untuk kemudian dialikan ke partai koalisi setgap, sehingga suara tidak akan beralih kepada partai oposisi. Muncul dugaan bahwa jika partai Demokrat turun menjadi 3% maka pada pemilu 2019 mendatang diramalkan partai Demokrat akan habis, sehingga harus di design bahwa suara partai secara aman pada posisi 9%, tidak terlalu turun secara dramatis, dan tidak mencurigakan jika tetap pada posisi 20%, sehingga pada tahun 2019 partai Demokrat tetap mampu berlaga pada pemilu dengan tetap confident dengan perolehan suara sebesar 9% diatas partai-partai koalisi yang ada terkecuali golkar.

Kedua, Isyarat Demokrat masih ingin duduk dikekuasaan, adalah ketika pidato politik SBY dalam posisinya sebagai ketua umum partai Demokrat, secara implisit menyebutkan bahwa “koalisi dengan Gerindra adalah sebuah kemungkinan”. Dalam pidato tersebut secara terang benderang bahwa koalisi antara Demokrat dengan Gerindra akan mungkin sekali terjadi, hal tersebut sudah bisa dibaca bahwa kejadian-kejadian sebelumnya dalam berbagai kesempatan SBY dan Prabowo secara intens bertemu, sehingga mudah dibaca bahwa arah partai Demokrat untuk tetap berada dalam pemerintahan sangat besar.

Jokowi Yes PDIP No

Serangan-serangan politik secara bertubi-tubi membuat PDIP pun seakan tak mampu dibendung. Sikap diam Jokowi dan Pasif nya PDIP dalam membalas serangan lawan politik diindikasikan salah satu factor perolehan suara PDIP tak mampu menembus 20%. Pada awal-awal sebelum pendelegasian Jokowi sebagai capres dari PDIP tingkat elektabilis Jokowi dan PDIP diramalkan akan meningkatkan elektabilitas secara signifikan, namun kondisi tersbut ternyata tidak menyurutkan lawan politik untuk terus-terusan menjadikan Jokowi sebagai icon PDIP sebagai pusaran sasaran serangan kampanye hitam. Pada akhir-akhir pelaksanaan kampanye dihembuskan propaganda yang secara massif menyebut bahwa tingkat keterpilihan Jokowi tinggi namun tidak serta merta PDIP yang umum kita dengar sebagai slogan “Jokowi Yes PDIP No”,. Serangan tersebut sengaja dihembuskan pada akhir-akhir masa kampanye dengan tujuan PDIP tidak akan mampu membendung “Jokowi Yes PDIP No” tersebut. Dan akhirnya terbukti perolehan suara PDIP jauh dibawah ekspektasi awal sebagaimana ditetapkan minimal 27%.

Konflik Internal PDIP

Sebagai pemenang pemilu PDIP tidak lantas girang, hal itu dikarenakan tingkat perolehan suara tidak memenuhi ekspektasi awal dan batas ambang minimal untuk persyaratan “Presidential threshold”, pada sisi lain PDIP mampu membuktikan sebagai pemenang pemilu, namun pada sisi lain PDIP dirundung persoalan karena Jokowi effect dianggap tidak manjur. Kondisi tersebut menimbulkan kegaduhan di internal bahwa ada isu Megawati akan mencabut mandat Jokowi sebagai capres, dan ada pula isu yang berkembang bahwa Puan Maharani meradang kepada Jokowi karena Jokowi tidak mampu membuktikan janjinya PDIP akan mendulang suara hingga 30% pada saat Pileg. Sebagaimana dilansir oleh media “The Jakarta Post” pada saat rapat evaluasi pasca pengumuman quick count terjadi saling tuding antara kubu Jokowi dan Puan Maharani dalam menyikapi kegagalan pencapaian suara minimal 27%, yang berujung pada pengusiran Jokowi dari rapat evaluasi tersebut, namun hal tersebut telah dibantah oleh beberapa petinggi PDIP maupun Jokowi.

Peranan media pun seakan menambah panasnya situasi, “melalui berbagai analisa pengamat politik hampir sekemuannya mengamini bahwa slogan Jokowi Yes PDIP No membawa dampak yang besar, sehingga secara berurutan sekarang timbul slogan baru “Jokowi effect tidak ngefect, dan kondisi ini seakan-akan menyandera Jokowi dan PDIP dalam situasi kegamangan dan mampu membuat PDIP pada kondisi terpuruk secara mental dan strategi, dan seakan-akan mengalami kebuntuan dalam mengangkat kembali nama Jokowi pada posisi elektabilitas tinggi seperti halnya hasil survey yang selalu pada posisi tingkat teratas.

Konflik Internal PPP

Hal yang tidak lazim ditunjukkan oleh SDA (Suryadarma Ali) sebagai ketua umum PPP yang hadir dalam kampanye terbuka yang diselenggarakan oleh Gerindra pada saat kampanye terbuka diselenggarakan, dan begitupun dibalas oleh Prabowo sebagai kunjungan balasan yang dilakukan Prabowo (sebagai representasi Gerindra) datang pada acara Istighosah PPP. Pada acara kampanye terbuka Gerindra SDA secara terang-terangan memberikan dukungan kepada Prabowo untuk menjadi capres. Situasi yang tidak lazim tersebut menjadikan beberapa petinggi PPP menjadi berang dan menjatuhkan teguran kepada SDA yang dianggap tidak berkoordinasi dan melampaui kewenggannya sebagai ketua umum. Namun kubu SDA pun tidak tinggal diam, SDA kemudian menerbitkan surat pemecatan beberapa fungsionaris PPP dan ketua DPW yang pada mulannya menuntut pertangung jawaban SDA.

Tidak berhenti pada kondisi pecat memecat, pada hari jum’at tanggal 18 April 2014, PPP kubu SDA mendeklarasikan koalisi dengan Gerindra dan mengukuhkan dukungan kepada Gerindra tanpa persyaratan apapun. Berlanjut pada situasi tersebut kubu yang berseberangan dengan SDA menggelar pertemuan dengan para petinggi PPP dan menyatakan dukungan kepada Gerindra Inkonstitusional Partai, dikarenakan dukungan untuk koalisi harus melalui mekanisme rapimnas terlebih dahulu. Kondisi tarik menarik dukungan tersebut tidak berhenti, akibat dari penolakan koalisi tersebut berujung pada pemecatan sekjen PPP, dan beredar sms dari SDA untuk pengambil alihan partai secara sepihak, hal tersebut kemudian mendorong digelar rapimnas tanpa dihadiri oleh SDA dengan salah satu keputusan menon aktifkan SDA sebagai ketua umum dan digantikan oleh waketum sebagai plt ketum PPP sampai diselenggarakan rapimnas lanjutan dalam waktu dekat.

Manuver Partai Islam

Diluar konteks kegaduhan diatas ada hal yang menarik yang terjadi baru-baru ini, sejumlah petinggi partai islam dan ormas mengadakan pertemuan yang bertajuk “pengajian politik”, bukan tanpa sebab hal ini diadakan, perolehan suara partai tengah (partai islam) memang rata-rata dibawah 10% namun jika digabungkan pengabungan tersebut mencapai 30% suara gabungan dan memenuhi persyaratan untuk mengusung capres sendiri. Beberapa tokoh nasional yang hadir optimis kenangan manis poros tengah akan menjadi kuda hitam dalam laga pencapresan nanti. Gagasan untuk mengabungkan partai islam dalam “Greate Indonesia Raya” disinyalir oleh beberapa kalangan adalah pesanan dari partai tertentu.

Ditenggah optimisme tersebut tidak sedikit yang meragukan akan terjadinya poros koalisi Indonesia Raya tersebut, dikarenakan beberapa partai seperti PKB memiliki kenangan buruk atas koalisi partai islam ini, Gus Dur sebagai presiden yang diusung oleh poros tengah diturunkan ditengah jalan oleh poros tengah itu sendiri, sedangkan PPP pun sudah terlanjur bermesraan dengan Gerindra.  Akankah poros Greate Indonesia Raya akan terbentuk? Atau itu hanya upaya bargaining posisition untuk memperoleh kekuasaan, atau justru mungkin ada agenda tersembunyi dalam maneuver tersebut, kita buktikan pada saatnya nanti.

Berbagai kondisi diatas secara penglihatan kasat mata bisa dikatakan sesuatu hal yang wajar sebagai dinamika politik, namun jika ditelisik lebih jauh, kegaduhan tersebut menjadi tidak wajar jika terjadi secara bersamaan dan berurutan keterjadiannya. Seakan-akan ada pihak yang mendesaign secara sistematis, dan menunjukkan seolah-oleh bahwa amanat rakyat tidak sepenuhnya dijalankan dengan baik. Akan muncul anggapan bahwa partai-partai tersebut hanya sekedar mementingkan kekuasaan semata tanpa menghiraukan kondisi rakyat.

Menjelang Pilpres pada 9 Juli mendatang suara rakyat akan sangat menentukan keterpilihan Presiden pada saat mendatang. Melihat hasil pileg 2014 lalu jelas terlihat bahwa siapa yang tidak mementikan rakyat maka akan ditinggalkan. Saat ini rakyat sudah cerdas dalam menempatkan pilihannya, bagi siapa yang hari ini berpihak kepada rakyat maka dialah yang akan diberikan amanah untuk memimpin, dan bagi siapa yang mementingkan partainya sendiri untuk mencari kekuasaaan maka dia akan ditinggalkan oleh pendukungnya. Mungkin inilah agenda tersembunyi yang dilakukan pihak yang berkepentingan untuk memuluskan tujuannya untuk meraih kekuasaan, yang secara umum banyak disebut sebagai gerakan “The Invisible Hand”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun