[caption id="attachment_376322" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber: harianterbit.com"][/caption]
Kenaikan BBM dari rezim ke rezim selalu menjadi pusat perhatian, baik dari kalangan masyarakat, hingga elit politik. Beragam bentuk pro dan kontra pun selalu bermunculan atas tanggapan policy yang diambil. Tingginya subsidi BBM yang tembuh hingga 700 triliyun pertahun, dan kesejahteraan masyarakat yang masih jauh dari harapan, menjadi alasan kuat bagi pemerintah Jokowi untuk mengambil kebijakan tidak popular pemerintahannya, demi menutupi defisit anggaran pemerintah. Pemerintah Jokowi berargumentasi bahwa subsidi BBM yang nilainya fantastis itu, dinilai kurang tepat jika hanya dihabiskan untuk dibakar dijalan saja, namun lebih penting untuk dialihkan demi membangun kesejahteraan masyarakat dalam bentuk kesehatan dan pendidikan gratis kepada masyarakat kalangan menengah kebawah.
Penjelasan Pemerintah Dibutuhkan
Kebijakan untuk mengurangi subsidi BBM yang diambil oleh Jokowi baru saja (17/11), hingga kini masih menuai pro dan kontra. Bahkan pasca pengumuman kenaikan BBM Mahasiswa di Makassar mengelar demo besar-besaran hingga memicu bentrokan fisik dengan pihak keamanan, disisi lain, banyak elit politik yang sedari awal kontra dengan kebijakan jokowi pun tak ketinggalan mencibir kebijakan jokowi ini, sebut saja Prof Yusril. Kebijakan pemerintah dalam mengurangi subsidi BBM ini, seharunya dipersiapkan dengan matang, dan sistematis. Pemerintah harus memberikan penjelasan yang logis dan bisa diterima oleh masyarakat umum.
Argumentasi pengalihan subsidi dengan mengalihkan menjadi program KIS dan KIP sebetulnya belum bisa memuaskan banyak kalangan. Betapa tidak, jauh sebelum kebijakan ini diambil, pemerintahan SBY pun telah membuat kebijakan serupa meskipun namanya berbeda. BLT dan BPJS, serta dana BOS, sejatinya mirip-mirip saja dengan KIS dan KIP, nah sekarang dimana letak program pengalihan subsidi itu?. Angka 700 triliyun yang sedari awal digunakan untuk subsidi BBM, pemerintah belum memberikan rincian yang jelas akan pengunaannya, jika subsidi itu dialihkan. Pemerintah Jokowi dalam mengambil kebijakan terkesan tanpa persiapan yang matang dalam mengambil kebijakan ini.
Dengan demikian wajar jika pemerintah jokowi dianggap terlalu gegabah dan tidak memperhatikan dampak kenaikan BBM ini secara sosial. Rakyat saat ini memang hanya bisa pasrah tanpa mampu berbuat apa-apa atas kebijakan kenaikan BBM ini. Dampak ekonomi secara makro akan lebih besar, ketimbang dari sudut pandang sempit atas kenaikan BBM ini. Dampak secara langsung dirasakan oleh sektor transportasi, dan angkutan missal. Dampak inflasi yang diramalkan pemerintah dari kenaikan BBM ini sebesar 2%, namun nyatanya dilapangan bisa 2-3 kali lipatnya. Hal ini dikarenakan, Â dari sektor terdampak langsung adalah transportasi akan berakibat naiknya harga biaya transportasi, kemudian kebutuhan pokok yang terjual dikarenakan biaya transportasi naik, peningkatan kebutuhan masyarakat akibat naiknya biaya operasional, turunnya nilai rupiah terdampak kenaikan bbm, dan situasi nilai tukar rupiah yang cenderung menurun akibat sentimen pasar valas. Dari semua situasi tersebut akan mendorong kenaikan inflasi ke level yang lebih tinggi dari ketentuan yang disampaikan pemerintah.
Situasi diatas penting untuk mendapatkan penjelasan yang gamblang dari pemerintah, sehingga kebijakan ini bisa diterima masyarakat dengan baik. Namun sebaliknya, jika pemerintah hanya bersifat normatif saja, bukan tidak mungkin kelemahan ini akan berdampak kurang baik bagi pemerintah yang justru akan mengerus kepercayaan publik kepada pemerintah saat ini. Dalam kerangka kebijakan ini, tidak hanya dibutuhkan sebuah keberanian untuk tidak popular, namun juga dibutuhkan kecerdasan dan transparansi dari pemerintah akan rencana pengalihan ini. Pemerintah saat ini terkesan hanya sibuk bermain simbol dan simbol untuk mengerus dukungan rakyat, namun melupakan substansi kebutuhan terpenting masyarakat untuk sesegera mungkin berlaku transparan terhadap seluruh kebijakannya.
Dari Dukungan Hingga Cibiran
Sesaat setelah pengumuman kebijakan pengurangan subsidi BBM, banyak muncul tanggapan beragam dari masyarakat, baik yang pro mau pun kontra. Dari SBY yang mengunggah twitter pagi ini yang menyatakan telah di telepon JK perihal kenaikan BBM. Kemudian netizen pun tidak ketinggalan membuat tanggar #SameOnYouJokowi, #salamgigitjari, hingga berbagai elit politik pun tidak ketinggalan menyampaikan sikap politiknya.
Hari ini Pemerintah jokowi disibukkan terus mengelar konfrensi pers untuk menyampaikan kepada publik alasan pengurangan subsidi BBM ini. Bagi internal pemerintah jokowi dan partai pendukungnya, sepertinya kewalahan dalam memberikan penjelasan kepada masyarakat akan argumentasi kenaikan BBM. Memang nyatanya, saat ini disaat pemerintah menguranggi subsidi BBM, kondisi harga minyak dunia sedang mengalami penurunan. Hal ini menjadi sasaran empuk untuk melakukan penyerangan kepada jokowi atas kebijakan menyimpang yang diambil.
Dukungan datang dari beberapa partai pengusung Jokowi, sebut saja PDIP yang sedari kemarin para elitnya terpecah soal rencana kenaikan ini, namun hari ini ketika dikonfirmasi atas kenaikan ini mereka bungkam tidak mampu menjelaskan situasi ini kepada publik (baca disini). PDIP berargumen bahwa kebijakan pengurangan subsidi BBM ini memang sudah seharusnya dilakukan jokowi untuk mengalihkan subsidi tersebut agar tepat sasaran, namun lagi-lagi sebatas itu mereka menjelaskan tanpa didukung oleh basis data dan analisis yang logis akan kenaikan BBM ini.
Pihak koalisi merah putih pun tidak melewatkan moment ini untuk menyatakan sikap menolak kenaikan BBM ini. Penolakan dimotori oleh Partai Golkar dan Partai Demokrat, mereka menyatakan secara jelas menolak kebijakan jokowi mengurangi subsidi BBM dan meminta penjelasan yang masuk akal.
Penolakan atas kebijakan pengurangan subsidi BBM ini harus dipandang sebagai cara yang cerdas pihak oposisi untuk mengingatkan pemerintah akan pentingnya sebuah penjelasan yang logis dan masuk akal. Pengurangan subsidi BBM ini akan berdampak secara sistematis dilapangan untuk mengerus kenaikan inflasi yang menghawatirkan. Jika kebijakan ini tidak didukung oleh data yang jelas, dihawatirkan pemerintahan jokowi akan mengalami degradasi kepercayaan public (masyarakat) dan pasar investasi. Kalangan pengusaha saat ini telah terbebani dengan tingginya biaya upah pegawai, dan biaya energi yang mahal, ditambah lagi dengan kondisi kondisi perekonomian yang kurang menentu, dihawatirkan akan membangun persepsi pasar bahwa Indonesia bukan tempat yang layak untuk berinvestasi.
Perlu Persiapan Yang Memadai Menanggulangi Dampak
Alih-alih pengurangan subsidi dan dan mengurangi pengunaan BBM, pemerintah nampaknya terlalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Mengulang kesuksesan pemerintahan SBY-JK yang berhasil melakukan konversi dari minyak tanah ke LPG, kini pemerintahan Jokowi-JK pun demikian. Rencana kenaikan BBM yang sedari kampanye disampaikan, akan dilakukan konversi dari BBM menjadi Bakan Bakar Gas (BBG), sampai pada pengurangan subsidi ini dilakukan, belum ada kejelasan dari niatan Jokowi untuk membahas konversi ini.
Jika pemerintah cerdas dalam mengambil kebijakan pengurangan subsidi ini, seharusnya pemerintah memberikan penjelasan yang kongret mengenai rencana pengalihan subsidi BBM ini, termasuk didalamnya rencana konversi kendaraan BBM menjadi BBG. Jikalau pemerintah belum bisa melaksanakan program dalam waktu dekat, setidaknya pemerintah melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada publik atas solusi dari pengurangan BBM serta sasaran yang ingin dicapai pemerintah dalam waktu dekat.
Pemerintah terkesan kikuk dan tak berdaya untuk memberikan penjelasan yang masuk akan selain alasan KIS dan KIP, dan bentuk bentuk lainnya. Alasan instan yang ditempuh pemerintah dalam memberika bantuan tunai kepada masyarat untuk menanggulangi persoalan pasca pengurangan subsidi BBM jelasnya sudah tidak relevan lagi di praktek kan di masyarakat. sasaran yang dituju pemerintah untuk meringankan beban masyarakat terdampak kenaikan BBM telah tidak sesuai dengan tujuan awal, dan kemiskinan tidak beranjak dari tempatnya.
Pemerintah harus membuat trobosan yang efektif untuk mengurangi terdampak ekonomi atas kenaikan BBM ini, setidaknya sasaran itu ditujukan bagi sumber utama dari dampak kenaikan BBM seperti halnya angkutan umum dan transportasi logistik, dan Industri-industri yang terdampak langsung dengan kenaikan BBM ini. Pemerintah harus memiliki road map yang jelas terhadap pengurangan subsidi ini, seperti halnya pengalihan BBM menjadi BBG. Pemerintah harus secara jangka panjang berfikir untuk tidak ketergantungan dengan BBM, dan mengoptimalkan sumber gas yang melimpah di negeri ini. Seperti yang kita ketahui saat ini, negara memiliki cadangan gas yang teramat besar namun belum mampu mengotimalkan dengan baik. Dari sisi produksi dan infrastruktur penyaluran gas, saat ini masih jauh dari kata memadai, dan sepenuhnya optimal. Namun justru gas yang dimiliki negara ini quantitasnya lebih banyak dijual ke luar negeri di banding dipergunakan didalam negeri.
Jika pemerintah berfikir cerdas dan memiliki program pembangunan kedepan, sudah selayaknya memaparkan langkah-langkah kebijakannya kepada masyarakat, sehingga mudah bagi masyarakat melakukan control serta mensuport penuh langkah-langkah kebijakan yang diambil pemerintah. Sejatinya kita masyarakat ini tidak ada masalah jika BBM mau dicabut subsidinya sekalipun, jika ada road map yang jelas dan nyata dari pemerintah untuk langkah-langkah selanjutnya yang akan diperbuat pemerintah.
Pemerintah terkesan hanya berfikir parsial dan jangka pendek saja, dengan membuat kebijakan penghilang rasa sakit, namun tidak focus menyembuhkan penyakit itu sendiri. Diluar kebutuhan pendidikan, dan kesehatan, masih banyak kebutuhan penting lainnya yang perlu pemerintah pikirkan. Masyarakat jangan hanya dipandang secara sempit jika kebutuhan pendidikan, dan kesehatan, serta penanggulangan terdampak ekonomi jangka pendek itu dapat teratasi persoalannya. Namun pemerintah harus berfikir secara makro tentang 10, 20, bahkan 100 tahun kedepan, akan menjadi seperti apa bangsa ini mengarungi perjalanannya.
Semoga tulisan yang tidak terlalu bernilai ini turut menjadi sumbangan pemikiran serta membuka khasanah berfikir bagi kita semua, tentang arti pentingnya going concern (keberlanjutan) kita dalam berbangsa dan bernegara Indonesia, serta turut menciptakan masyarakat yang makmur dan berkeadilan sebagaimana cita-cita pancasila dan UUD 45.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H