Mohon tunggu...
Lilik Agus Purwanto
Lilik Agus Purwanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

belajar, belajar, mari terus belajar follow twitter: @aguslilikID web: http://aguslilik.info

Selanjutnya

Tutup

Politik

Petugas Partai Menjadi Beban

20 Oktober 2015   13:01 Diperbarui: 20 Oktober 2015   13:01 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="arak-arakan pasca pelantikan presiden (antaranews.com)"][/caption]

Berlangsungnya "pengadilan" politik publik terhadap satu tahun usia pemerintahan seolah menjadi momok bagi siapa pun presiden yang tengah berkuasa. Dalam kurun itu, lebih banyak presiden yang terperangkap dalam fenomena arus penurunan apresiasi ataupun ekspektasi publik (kompas, 20/10).

Pemerintahan Jokowi yang hari ini genap satu tahun, mendapatkan koreksi dari banyak pihak. Koreksi ini lumrah, karena berbagai pihak memandang bahwa pemerintahan Jokowi memang memiliki dinamika yang tidak mudah dalam memulai kepemimpinannya. Visi dan misi kemandirian yang begitu menggaung, dan warisan kondisi masa lalu klop menjadi satu untuk segera dilakukan konsolidasi dengan baik. Rintangan yang dihadapi oleh Pemerintahan yang setahun ini baru terbentuk memang memiliki karakter berbeda dibanding masa kepemimpinan SBY selama 10 tahun yang lalu. Kepemimpinan Jokowi JK lebih memiliki dinamika dan pergolakan disana sini dibanding dengan pemerintahan yang lalu yang lebih terkesan stabil dan adem ayem.

Survei litbang Kompas yang dua hari ini secara khusus menyajikan dinamika tren statistik penilai publik terhadap pemerintahan Jokowi memang bisa kita jadikan acuan untuk melihat konstelasi popularitas kepemimpinan Jokowi. Penurunan tingkat apresiasi masyarakat yang ditunjukkan dalam grafik dalam beberapa aspek menjadi hal penting untuk kita cermati. Penurunan tingkat kepercayaan publik ini memang jamak terjadi pada semua pemerintahan yang baru memegang kekuasaan, karena harapan publik dan kepercayaan terhadap keterpilihan memang menjadi faktor penting penunjang tingginya tingkat kepercayaan publik. Dalam aspek Politik, Hukum, Ekonomi, dan kesejahteraan sosial terjadi tren penurunan selama tahun pertama ini. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan litbang kompas indikator penurunan kepercayaan publik dapat dilihat hasilnya dalam beberapa aspek antara lain, aspek politik ketika bulan januari 73% dan ketika survei terkahir pada bulan oktober tinggal 67%. Aspek Penegakan hukum pada bulan januari sebesar 59,7% pada bulan oktober 46,5%. Aspek Ekonomi pada Januari 49,6% pada bulan Oktober menjadi 41,7%, dan yang terakhir adalah aspek kesejahteraan sosial 64, 1% pada bulan Oktober menjadi 61,4%.

Menganalisa data yang ada, bisa dilihat bahwa aspek politik, hukum, dan ekonomi mengalami derajat penurunan dibawah 50% pada akhir oktober. Hal itu mengindikasikan bahwa kepercayaan publik menurun signifikan terhadap kinerja pemerintah dalam tiga aspek diatas. Hal yang masih mengembirakan adalah aspek kesejahteraan sosial, dimana pada bulan januari berada pada kisaran diatas 60% dan pada akhir oktober masih berada kisaran diatas 60%, itu artinya bahwa fokus kebijakan yang dijalankan pemerintah dalam hal membangun kesejahteraan sosial telah menyentuh sektor riil seperti yang diharapkan masyarakat.

Ada hal yang menarik yang perlu kita cermati, berkaca pada saat keterpilihan Jokowi saat pilpres lalu terpaut hanya 6 persen, yakni pasangan Jokowi-JK  53, 15%, dan pasangan Prabowo – Hatta 46, 85%. Menarik untuk kita bahas sehubungan dengan hasil survey litbang kompas diatas. Ketika bulan januari, derajat kepercayaan public yang berada pada kisaran 49% s.d  64%, bisa kita indikasi bahwa tingkat kepercayaan publik tergambar jelas berdasarkan opini dari pendukung yang memilih Jokowi – JK ditambah massa cair yang mengambang pada saat itu. Namun ketika survey dilakukan pada bulan Oktober tepat satu tahun pemerintahan Jokowi, terjadi kecenderungan menurun signfikan untuk beberapa hal, itu artinya, terjadi pergeseran kepercayaan, yang awalnya adalah pendukung yang percaya bahwa pemerintah akan membawa perubahan, namun opini bergeser dan mengalami penurunan setelah melihat kinerja pemerintahan dalam satu tahun ini.

Setelah satu tahun memimpin, berbagai persoalan mendera baik datang dari internal pemerintah, koalisi partai pendukung, dan faktor global. Yang sangat menjadi sorotan publik dalam pemerintahan Jokowi adalah bidang politik, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat. Faktor politik memberikan banyak pengaruh terhadap dinamika pengambilan kebijakan pemerintah, sehingga stabilitas politik nasional sulit untuk dicapai. Faktor ekonomi, adanya gejolak perekonomian global berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, nilai tukar yang dari awal pemerintahan terus terkoreksi negative hingga puncaknya pada pertengahan September sebesar 14.800/dollar, berpengaruh signifikan terhadap sentiment negatif investor yang ada didalam negeri. Dari dalam negeri terjadi pelambatan penyerapan anggaran APBN juga turut menjadi faktor pendorong gonjang ganjing perekonomian dan penundaan pembangunan infrastruktur. Dengan demikian target pertumbuhan menjadi minus 1 persen dari target yang diharapkan. Dari sisi kesejahteraan masyarakat, berbagai kebijakan yang diambil pemerintah dengan menghapus subsidi bahan bakar dan menyerahkan kepada mekanisme pasar, menjadikan tingkat daya beli masyarakat menurun drastis pada kisaran 40 persen. Dunia industri mau tidak mau harus mengencangkan ikat pinggang agar tetap survive ditengah menurunnya daya beli.

Beban Politik

Jokowi yang hanya kader PDIP dan bukan ketua umum menjadi problem tersendiri. Ditengah himpitan kepentingan partai, sulit bagi Jokowi untuk mengkonsolidasi suara para kader lainnya untuk solid mendukung kepemimpinannya dalam pemerintah. Kendati Megawati sebagai ketua umum sudah legowo untuk menyerahkan kesempatan pencalonannya sebagai presiden kepada Jokowi, namun kenyataan politik berbeda dengan apa yang diharapkan. PDIP sebagai partai pengusung utama pemerintah merasa memiliki andil dan porsi lebih besar dalam komposisinya dalam pemerintahan. Meski telah diakomodasi dalam struktural menteri, namun tidak lantas membuat kader-kader yang lain merasa puas, karena harus berbagi dengan partai pendukung lain, dan para menteri dari baground professional.

Ditengah-tengah Jokowi memimpin, tidak sedikit goncangan itu muncul dari internal partai sendiri yang bersuara sumbang. Entah wujud dari kritisme, atau rasa tidak puas karena pembagian kursi yang tidak sesuai ekspektasi. Contoh saja soal pencalonan Kapolri Komjem Budi Gunawan, ketika Jokowi sedang berjuang menegakkan supremasi hukum, dan menggaungkan clean government, justru tekanan datang dari PDIP yang terus-terusan meneror pemerintahan untuk meloloskan BG untuk menduduki jabatan Kapolri, meski mendapat banyak tentangan dari publik. Baru-baru ini persoalan revisi UU KPK, fraksi PDIP ngotot melakukan revisi terhadap UU KPK yang cenderung melemahkan KPK dengan berbagai argumentasi, meski akhirnya ditunda pembahasan itu oleh presiden.

Semua persoalan diatas tidak akan mungkin terjadi jika Jokowi memiliki kontrol yang kuat terhadap PDIP maupun partai koalisi yang ada dalam wadah KIH. Dukungan partai pendukung dan koalisi penting dicapai dalam rangka memuluskan semua kebijakan yang akan diambil oleh pemerintahan. Belajar dari Partai demokrat kala SBY memimpin, demokrat begitu dominan mengontrol partai pendukung, dan tidak segan-segan memberikan teguran terhadap partai yang bermain dua kaki ketika harus mendukung kebijakan pemerintah.

Dinamika politik yang dibangun oleh Jokowi untuk mengkonsolidasi dukungan partai politik memang bliliant, karena selain jelas memiliki basis pendukung di KIH, Jokowi juga mencoba mencairkan suasana pertentangan dengan partai oposisi, yakni KIH. Tercatat beberapa kali ketika Jokowi menghadapi persoalan dalam pengambilan keputusan penting, yang juga bersebrangan dengan PDIP, Jokowi mengadakan pertemuan dengan Prabowo dan beberapa pentolan KMP untuk mengkonsolidasi dukungan, dan ternyata cara yang ditempuh Jokowi efektif untuk memuluskan setiap rencana keputusan yang diambil. Namun tentunya hal demikian tidak bisa dilakukan secara terus menerus, Jokowi harus memiliki kepastian politik dukungan parlemen dalam setiap kebijakan yang akan diambil, karena jika setiap ada rencana pengambilan kebijakan pemerintah harus berdinamika terlebih dahulu maka waktu dan tenaga akan terkuras sia-sia dan stabilitas politik tidak akan tercapai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun