[caption id="attachment_362979" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber: tempo.co"][/caption]
Hiruk pikuk politik nampaknya tak ada habis-habisnya, setelah gema RUU Pilkada, dan sederet aksi Ahok (Wagub DKI) dalam menolak RUU Pilkada berbuntut panjang. Berbagai aksi penolakan pelantikan Ahok menjadi gubernur DKI pun banyak ditolak banyak pihak. Lantas apakah penolakan Ahok itu konstitusional?
Pasca terpilihnya gubernur DKI Joko Widodo menjadi presiden terpilih pada pilpes yang lalu, sejatinya sudah menjadi hak konstitusional  Ahok untuk menduduki jabatan sebagai gubernur DKI menggantikan Jokowi. Hal ini sesuai dengan amanah UU No. 12 Tahun 2008, dalam pasal 26 Ayat 3 disebutkan bahwa wakil kepala daerah mengantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya. Dengan demikian amanah konstitusi (UU) jelas mencantumkan hal itu, dan jika ada upaya-upaya oleh pihak lain untuk menghalang-halangi pelantikan Ahok menjadi gubernur DKI mendatang merupakan jelas-jelas melanggar konstitusi meskipun itu anggota dewan sekalipun.
Sampai dengan detik ini tidak ada alasan yang konstitusional untuk melakukan impeachment terhadap Ahok. Jika tabiat/peranggai Ahok yang keras dalam menolak RUU Pilkada tersebut, dipandang sebagai sesuatu yang layak untuk di impeachment itu artinya pihak-pihak tersebut gelap mata dalam memandang persoalan.
Penolakan Ahok sebagai gubernur DKI dirasa sangat naïf dan mengada-ada. Sentiment agama, suku, dan tabiat tidak bisa dijadikan sebagai alasan yang obyektif untuk melakukan impeachment Ahok. Harus disadari secara bersama-sama, semua warga negara di Indonesia ini memiliki Hak Politik yang sama tanpa dibeda-bedakan suku, agama, dan ras. Jika DPRD berkeras untuk melengserkan Ahok sudah bisa dipastikan mereka mengali kuburnya sendiri. Negara ini berdiri atas dasar kebersamaan suku, ras, agama. Dengan demikian tidak satu orang pun/ organisasi apapun yang memiliki kewenangan untuk melakukan impeachment Ahok tanpa alasan yang jelas. Dalam peraturan perundang-undangan jelas disebutkan, bahwa seorang pejabat public bisa dilakukan impeachment manakala bersangkutan ditetapkan secara hukum dan sah melanggar hukum.
Nafsu Politik Sesaat KMP
Tentunya kita menyadari betul, sikap keras yang ditunjukkan oleh Ahok atas penolakan RUU Pilkada akan berbuntut panjang. Sikap pengunduran Ahok tentunya banyak melukai Partai Gerindra secara khusus dan umumnya koalisi merah putih. Entah manuver atau memang muncul dari nurani Ahok untuk mundur dari gerindra, kita melihat secara obyektif langkah Ahok ini adalah sebuah konsekwensi logis, manakala keputusan seorang Ahok tidak sejalan dengan garis yang ditempuh oleh partai berbeda, maka secara langsung maupun tidak langsung pembangkangan Ahok ini lumrah untuk dikenai sangsi. Kesadaran Ahok untuk mundur sebagai anggota partai gerindra pun sebuah konsekwensi logis politik Ahok sebelum sangsi dijatuhkan. Setidaknya langkah Ahok ini adalah representasi dari kekecewaan aspirasi pribadi kepada langkah yang ditempuh oleh partainya.
Sedari awal kita mengetahui bahwa kekalahan KMP dalam Pilpres memang belum sepenuhnya belum bisa diterima secara legowo. Manuver-manuver balasan yang dilancarkan oleh KMP terhadap strategi politik lawan pun diyakini memang akan terjadi seperti ini. Sebagaiamana skema politik yang beredar, jika RUU Pilkada tidak langsung ini disetujui, maka KMP akan memperoleh keuntungan didalamnya. Keuntungan RUU Pilkada secara tidak langsung ini memang telah dihitung dengan cermat. Berdasarkan kalkulasi politik jika Pilkada dilaksanakan secara tidak langsung maka lebih dari 50% posisi kepala daerah yang tersebar diseluruh Indonesia akan mampu diraih oleh KMP. Motivasi kekuasaan inilah yang mendorong disetujuinya RUU Pilkada.
Nafsu politik yang sedemikian kuat ini ternyata membuat sebuah kecelakaan sejarah politik tanah air tidak dihindarkan. Ditengah-tengah upaya bangsa Indonesia untuk terus berbenah diri dalam pelaksanaan demokrasi, namun elit politiknya justru membuat langkah mundur yang justru memasung hak politik konstituennya sendiri.
Kembali kepada pertarungan Ahok versus KMP. Skema impeachment yang selama ini digaungkan oleh elit-elit politik dan sebagian kecil ormas yang tidak puas dengan Ahok, rasanya akan termentahkan dengan sendirinya. Bukti logis dari itu adalah ketika Ahok dan Jokowi pada saat pemilihan gubernur dua tahun yang lalu, kekuatan dukungan masyarakat begitu kuat sehingga mampu mengeser posisi incumbent. Hal ini dikarenakan rakyat Jakarta pada khususnya, sudah dan telah melek politik, rakyat Jakarta mendambakan perubahan dan perbaikan, untuk dapat keluar dari keterpurukan berkelanjutan. Pembenahan birokrasi dan penataan Jakarta sampai dengan saat ini telah kita bersama rasakan, dan totalitas Ahok dalam membenahi Jakarta pun tidak kita ragukan lagi.
Jakarta yang kadung carut marut dari segala hal, namun pemerintahan Jokowi Ahok telah mampu menunjukkan keberanian dan komitmennya untuk merubahnya, walhasil masyarakat pun saat ini telah merasa nyaman dengan kepemimpinan Ahok. Tentunya kita saat ini bisa menakar sejauh mana kekuatan lawan politik untuk serius melakukan impeachment terhadap Ahok, kita kira akan sia-sia saja. jika itu tetep kekeuh mereka lakukan untuk memuaskan hasrat politik sesaat, bukan tidak mungkin para elit politik tersebut akan mendapatkan serangan balik dari rakyat dan konstituennya sendiri.
Dibutuhkan Kedewasaan Dalam Berpolitik
Terlepas seorang Ahok adalah seorang, Kristen, tionghoa, dan bukan penduduk asli Jakarta, namun Ahok sampai saat ini adalah salah satu putra terbaik bangsa ini. Kebhinekaan ini harus kita sadari sebagai sebuah anugerah bangsa ini. Bangsa ini dilahirkan dari rahim kebhinekaan yang kompleks dan mampu dipadukan menjadi sebuah bangsa yang memiliki visi persatuan berbangsa yang tidak kita ragukan lagi. Hendaknya, hal ini disadari oleh semua pihak, tanpa keberagaman kita yakin bangsa Indonesia tidak akan pernah ada.
Dalam sebuah pengaturan tatanan berbangsa dan bernegara, kita harus tetap mengedepankan sisi-sisi kemajemukan dan konstitusi yang berlaku di negara ini. Negara ini tidak hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Hak politik Ahok pun harus dijamin kebebasannya, tanpa harus dihantui persoalan klasik suku, agama, ras, dan lain sebagainya.
Kemenangan dan kekalahan hendaknya disadari hanyalah sebuah dinamika politik dalam upaya membangun bangsa. Bangsa Indonesia jangan mau dirugikan dengan nafsu sesaat kekuasaan yang bertendensi justru merugikan bangsa. Politik hendaknya ditempatkan dalam sebuah proses dalam pembangunan bangsa, bukan menjadi tujuan akhir dalam sebuah perjalanan bangsa. Masih banyak waktu dan kesempatan untuk memberikan pembuktian bahwa siapa yang layak menjadi leader dalam pembangunan bangsa. Jika saat ini Jokowi dipilih oleh rakyat untuk menjadi presiden dalam lima tahun kedepan, hendaknya kita sokong pilihan tersebut dengan segala upaya agar dapat mewujudkan cita-cita bangsa. Dan jika Ahok menjadi gubernur, itu sudah menjadi konsekwensi logis konstitusi kita untuk melanjutkan program-program pembangunan Jakarta sampai dengan akhir masa jabatan paket Jokowi-Ahok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H