Mohon tunggu...
Lilik Agus Purwanto
Lilik Agus Purwanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

belajar, belajar, mari terus belajar follow twitter: @aguslilikID web: http://aguslilik.info

Selanjutnya

Tutup

Politik

Merenggut Prerogatif Presiden

8 Juni 2015   19:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:10 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Jokowi (Joko Widodo) adalah Presiden ketujuh dan sekaligus Presiden kedua hasil pilihan rakyat. Sebagai Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, tentunya juga memiliki konsekwensi logis dalam setiap kebijakannya harus mendengarkan suara rakyat. Sebagai sama-sama Presiden produk pemilihan langsung, antara Jokowi dan SBY memiliki perbedaan yang mencolok. Perbedaan tersebut antara lain: ketika mekanisme pemilihan menteri, Jokowi melibatkan KPK dan PPATK dalam melakukan screening calon menteri sementara SBY secara diam-diam dengan memanggil ke cikeas. Perbedaan yang lain adalah ketika menyelesaikan persoalan antara KPK dan Polri. Hal inilah menjadikan Jokowi terasa dekat dengan rakyat dibanding dengan SBY.

Ruang dialog dan blusukan Jokowi yang menjadi kekhasan sejak menjadi walikota solo hingga Presiden telah mampu menjadi warna tersendiri. Jokowi dianggap sebagai sosok yang egaliter dalam kepemimpinannya, meskipun banyak pihak menganggap sebagai pencitraan belaka. Model kepemimpinan yang dipilih Jokowi saat ini bukan hanya menciptakan pembaharuan dalam nuansa tata kelola kenegaraan yang membangun optimisme, namun pada sisi lain juga mengandung efek negatif. 

Opini yang hadir dalam setiap rencana penetapan pejabat yang akan mengisi posisi baik menteri, Kapolri, Panglima TNI, Kepala Badan, dan lain sebagainya selalu menuai perdebatan panjang antara pihak yang pro dan kontra. Kondisi ini membuat riuh suasana, kendati setiap orang melakukan tarik menarik untuk mencoba mempengaruhi keputusan Presiden yang notabene adalah wilayah prerogative Presiden.

Dalam alam demokrasi seperti halnya di Indonesia, memang sah-sah saja jika terjadi perdebatan, namun akan menjadi aneh jika seorang Presiden menjadi lamban dan terkesan melakukan pembiaran terhadap segala persoalan yang terjadi meskipun dengan dalih menungguh suarana politik mereda. Molornya penyelesaian kasus antara KPK dan Polri menjadi contoh kongkrit dari kondisi diatas. Hampir tiga bulan persoalan antara KPK dan Polri terjadi tarik menarik yang berujung pada konflik antar lembaga. Dan yang lebih menyedihkan lagi, seakan-akan Presiden kehilangan hak prerogatifnya dalam menetukan siapa calon kapolri, dan lebih memilih bertindak diluar kebiasaan dengan mengangkat wakapolri menjadi PJS yang kemudian dilantiknya menjadi Kapolri.

Manuver-manuver politik Jokowi dalam menyelesaikan persoalan seperti halnya diatas, dianggap oleh banyak pihak sebagai tindakan membuang-buang waktu, dan menciptakan persoalan baru. Posisi Jokowi sebagai seorang kader partai politik memang kerap menyulitkan posisinya sebagai Presiden, karena mau tidak mau, suka tidak suka, faktor kader akan menyeretnya dalam kondisi dilematis. Berbeda jika Jokowi sekaligus menjadi ketua umum atau dewan penasehat seperti halnya SBY.

Tarik Menarik Kepentingan Belum Selesai

Sampai hari ini situasi riuh masih saja terjadi, terbaru adalah penetapan Panglima TNI penganti Jendral Moeldoko. Dalam dua hari belakangan ini, media santer bicara siapa calon penganti Panglima TNI yang Agustus nanti akan segera pensiun. Dalam dialog disebuah stasiun televise kemarin (7/6), terjadi perbedaan pandangan atas siapa calon yang akan mengantikan Panglima TNI. Pertama, publik beranggapan bahwa tradisi yang terjadi dalam setiap pergantian pucuk pimpinan TNI kali ini adalah giliran kesatuan TNI Angkatan Udara. Pendapat ini didasari oleh UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI pada pasal 13 yang berbunyi “Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan”. Pandangan kedua, beranggapan bahwa bagi perwira yang akan mengisi posisi Panglima TNI tidak harus di isi oleh Angkatan Udara, melainkan harus menyesuaikan dengan program dan visi misi pemerintah kendati kali ini adalah giliran Angkatan Udara. Pihak kontra ini memaknai bahwa posisi panglima TNI yang akan segera kosong ini merupakan hak prerogatif Presiden, dan pemaknaan atas UU TNI sebagaimana disebutkan diatas adalah bahwa kata-kata “dapat dijabat secara bergantian” hanya bersifat saran saja namun bukan kewajiban yang harus dilaksanakan.

Dalam kesempatan lain, Menteri Pertahanan dan Wapres, dan kembali ditegaskan oleh Presiden Jokowi hari ini bahwa untuk memilih kandidat Panglima TNI adalah sepenuhnya hak prerogatif Presiden. Jika menilik berbagai situasi belakangan ini seakan-akan perdebatan-perdebatan yang timbul di masyarakat sengaja dimunculkan oleh pihak pemerintah, hal ini kemungkinan dimaksudkan agar masyarakat beradu argumen dan pemerintah tinggal menyaring opini masyarakat saja, seperti halnya yang terjadi ketika nama calon kepala BIN yang mengemuka di masyarakat lantas menimbulkan perdebatan sekaligus menuduh bahwa salah satu calon kepala BIN terlibat dalam pelanggaran HAM karena posisinya dimasa lampau, yang hingga kini pun masih belum jelas tentang siapa yang akan dipilih.

Jika demikian hal yang dilakukan pemerintah, bukan tidak mungkin bahwa untuk menduduki sebuah jabatan pimpinan tinggi seperti halnya TNI berdasar hanya bisa diterima atau tidak oleh masyarakat dan pertimbangan kopetensi dan kebutuhan untuk penyelarasan terhadap visi dan misi akan sulit tercapai. Seharusnya, jika Presiden berkepentingan untuk menjaring suara masyarakat dalam menentukan siapa yang pantas menduduki posisi penting tersebut, buka saja ke publik, lantas adakan forum debat atau lelang jabatan seperti halnya ketika menjadi Gubernur DKI, agar masyarakat tidak sekedar menilai seseorang dari track  record dari sisi popularitas semata.

 Andil Partai Pendukung Pemerintah

PDIP, NASDEM, PKB, dan partai pendukung pemerintah lainnya tidak kalah gaduhnya. Dalam penetapan calon pejabat mereka juga memiliki kepentingan serupa. Contohnya ketika penetapan Kapolri pada saat yang lalu. PDIP getol mendukung Komjen Pol. Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri. KPK sebagai lembaga anti korupsi juga ternyata memiliki kepentingan serupa dalam penetapan calon kapolri. Meskipun akhirnya status tersangka Budi Gunawan dibatalkan oleh hakim pra peradilan, dan bersangkutan ditetapkan menjadi wakapolri mendamping Jenderal Badrodin Haiti.

Adapun tugas utama Partai pendukung adalah melakukan pengawalan dan pengawasan terhadap pemerintah untuk tetap berada pada rel kebijakan agar sesuai dengan visi dan misi yang telah dicanangkan. Tidak seharusnya, partai pendukung pemerintah ikut riuh dalam penetapan pembantu Presiden, meskipun partai memiliki kepentingan terhadap proses perjalanan kepemerintahan. Yang kita amati sejak Jokowi berhasil terpilih menjadi Presiden, para partai pendukung seolah-olah lebih sibuk berebut kue kekuasaan, dibandingkan tugas pokoknya dalam mensukseskan pemerintahan, meskipun itu sah-sah saja dalam politik.  

Bila kita berbicara secara normatif seharusnya tugas penting yang diemban partai pendukung dalam melakukan seleksi penempatan calon pejabat negara itu terjadi ketika kabinet Jokowi akan dibentuk. Tentunya gambaran-gambaran terhadap nama-nama kandidat calon pejabat tinggi yang akan mengisi posisi menteri, dan lainnya telah melalui penyaringan itu telah ada.

Dalam menetapkan siapa yang akan membantunya, nampaknya Presiden tidak cukup independen dan masih bisa di intervensi oleh opini yang berkembang, apalagi jika situasinya dalam tekanan partai pendukungnya. Dalih mencari win-win solution, adalah bentuk lambannya seorang Jokowi dalam mengambil keputusan dan mengunakan prerogatif nya. Yang kita ketahui, sebagai suatu lembaga negara, seharusnya seorang Presiden dalam menetapkan siapa yang akan menjadi pembatu nya telah terlebih dahulu melalui proses screening terhadap track record, dan tidak secara gegabah menetapkan seseorang menjadi calon pembantunya. Keyakinan ini didasarkan dari sebuah analisa, bahwa bagi seorang bawahan para pejabat tinggi ini harusnya telah melalui proses yang tidak mudah, termasuk didalamnya adalah faktor loyalitas dan kopetensi. Dengan demikian masyarakat tidak hanya disibukkan untuk terus berpro dan kontra terhadap siapa yang akan dipilih.

Pemerintahan Jokowi yang telah berjalan selama delapan bulan harusnya lebih berfokus terhadap percepatan pembangunan dan menjalankan visi dan misinya dibanding harus berpro-kontra. Kondisi pro dan kontra akan banyak menyita perhatian pemerintah dibanding harus berfokus menjalankan program-programnya, terkecuali memang pemerintah tidak memiliki agenda yang jelas, dan berupaya mengiring masyarakat untuk terus beropini agar lalai terhadap pemantauan kinerja pemerintah.

 

Harapan kita semua sebagai masyarakat adalah bagaimana caranya pemerintah dapat segera menjalankan visi dan misinya dengan baik, dan tidak terganjal oleh kegaduhan tentang siapa yang akan menduduki apa. Memang aspirasi masyarakat harus ditampung, namun itu tidak serta merta membuat Presiden kehilangan wibawanya ketika harus memilih siapa untuk menduduki apa. Kepentingan politik semua pihak saya yakin tidak akan mampu diakomodasi secara keseluruhan, namun bagi seorang Presiden hal terpenting adalah sebuah komptensi dan loyalitas dalam mengawal pemerintahannya, karena tanpa hal itu niscaya pemerintah akan melaksanakan seluruh visi dan misinya menginggat tengat waktu yang diberikan hanya 5 tahun untuk membuat pembuktian kepada rakyat Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun