Mohon tunggu...
Lilik Agus Purwanto
Lilik Agus Purwanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

belajar, belajar, mari terus belajar follow twitter: @aguslilikID web: http://aguslilik.info

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Haruskan Referendum untuk Sebuah RUU Pilkada?

13 September 2014   02:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:51 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14105240331374052347

Suhu politik elit kian hari kian memanas, baru saja pilpres selesai digelar, dan masyarakat berpesta akan kemenangan demokrasi, setelah sekian lama dibikin pusing oleh ulah para elit politik yang berebut pengaruh untuk mendapatkan hari rakyat. Kini masyarakat kembali dibikin pusing dengan sikap anggota dewan dengan rencana disetujuinya RUU Pilkada, yang didalamnya berisi tentang ketentuan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (gubernur dan bupati) dipilih oleh DPRD.

Jika ditilik dari sejarahnya, pilkada langsung yang dilaksanakan di Indonesia merupakan bagian dari agenda reformasi. Proses pilkada langsung ini sejatinya sudah tepat ditingkat tujuan dari pelaksanaannya, namun memang kita tidak memungkiri akan kekurangan-kekurangan yang terjadi disana-sini. Namun seharusnya kelemahan-kelemahan tersebut harus terus menerus diperbaiki demi sebuah tujuan berdemokrasi yang lebih baik.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh LSI bahwa 60% masyarakat Indonesia menghendaki pemilihan langsung, begitu juga para kepala daerah pun sebagian besar bersuara sama. Hal ini seharusnya menjadikan para wakil rakyat berfikir ulang untuk menyetujui RUU Pilkada tersebut jika mereka benar-benar mendengarkan aspirasi rakyat.

Peta politik pilpres (KMP vs Koalisi Jokowi) inilah yang sebetulnya ujung dari kegaduhan dari RUU Pilkada ini. Betapa tidak, sebelum terjadi pertarungan pilpres pada 9 Juli lalu sebagian besar fraksi yang ada di DPR menolak menyetujui RUU Pilkada ini. Namun keadaan menjadi berbalik ketika usai pilpres dilaksanakan. Fraksi yang awalnya menolak RUU Pilkada, menjadi berubah haluan dengan menyetujui RUU Pilkada, dan celakanya koalisi yang kalah dalam pertarungan pilpres ini memiliki basis dukungan terbesar dibanding koalisi pemenang pilpres.

Sikap penolakan terhadap RUU Pilkada ini hingga saat ini terus berkembang dan semakin memanas, hingga timbul bermacam-macam spekulasi yang berkembang pada masyarakat. sikap arogansi kaolisi merah putih yang tidak mendengarkan aspirasi masyarakat dengan dalih dan argument tentu saja tidak bisa diterima masyarakat terus saja melaju tanpa hirau sedikitpun.

Menilik situasi yang demikian ini, dihawatirkan akan timbul konflik pada tingkat horizontal masyarakat, dan munculnya mossi tidak percaya dari masyarakat kepada wakil rakyatnya. Kesan tidak mau mendengarkan aspirasi dan lebih mementingkan elit dan nafsu kekuasaan akan mendorong apatisme masyarakat kepada wakil rakyatnya. Proses demokrasi yang berjalan dengan baik saat ini serta terbukti menghasilkan putra-putri daerah yang memiliki tingkat kepedulian terhadap rakyatnya akankah dipasung dikemudian hari?

Haruskah Menempuh Jalan Referendum?

Jika situasi diatas terjadi, dan deadlock terjadi, antara keinginan elit dan keinginan masyarakat berbenturan bukan tidak mungkin pilihan untuk sebuah referendum akan terjadi. Karena RUU Pilkada ini merupakan upaya elit untuk membawa bangsa mundur satu langkah kembali ke masa orde baru. Hilangnya legitimasi rakyat kepada pemimpinnya akan menimbulkan stigma ketidak pedulian pemimpin kepada rakyatnya, dikarenakan mereka tidak merasa mendapatkan mandat dari rakyat, namun dari partai/DPRD. Dan akan terjadi kecenderungan para pemimpin produk pemilihan tidak langsung ini akan hanya berfungsi sebagai stempel saja tanpa memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat. Saat ini masyarakat dihadapkan pada situasi kegentingan demokrasi, pemasungan hak memilih pemimpin daerahnya dibatasi, maka akan terjadi bayang-bayang buruk pemimpin otoriterdan tidak perduli dengan rakyatnya akan semakin membangkitkan keresahan masyarakat.

Tugas negara dalam menjalankan cita-cita bangsa untuk menjalankan demokrasi dengan sebaik-baiknya harusnya menjadi titik tujuan utama. Jika masih ditemui kekurangan-kekurangan dalam proses demokrasi tidak lantas dengan seenaknya merubah system demorakrasi. Setuju dengan apa yang disampaikan oleh Wali Kota Bandung RIdwan Kamil, bahwa jika masih terjadi kecurangan atau biaya mahal atas demokrasi, maka yang perlu diperbaiki adalah system pelaksanaannya, bukan malah menghilangkan demokrasi. Dan itulah sebetulnya yang menjadi tugas pokok bagi para elit politik untuk secara terus menerus memperbaiki proses demokrasi yang selama ini dirasa masih carut marut untuk dicarikan trobosan-trobosan dan inovasi dalam tingkat pelaksanaannya untuk menghindari dampak negatifnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun