Bagi kaum liberal, dalam memaknai kebabasan mereka cenderung berkeinginan untuk menuntut sebuah kebebasan sebagaimana ala Barat diterapkan. Dengan berkedok pluralisme, para penganut liberalisme ini berkeinginan menuntut kebebasan secara individualisme secara berlebihan. Dalam pemahaman mereka, dalam memaknai kebebasan bukan sebagaimana pluralitas yang selama ini kita pandang, namun mengarah kepada pluralisme dengan target kebebasan individual. pemikiran untuk menepis peran serta negara dalam melakukan kontrol atas nilai-nilai dalam kehidupan baik secara individu maupun dalam berbangsa dan bernegara menjadi angenda terpenting misi mereka.
Pada sisi lain ada kaum fundamentalisme yang juga tidak kalah. Dengan faham monolistik yang mereka bawa, adalah satu-satunya anggap sebagai suatu kebenaran. Indonesia yang sedari awal telah menyepakati Pancasila sebagai satu-satunya ideologi bangsa, yang diletakkan diatas semua ideologi dan keberagaman yang komplek tiba-tiba harus dipersalahkan oleh mereka dengan dalih bertentangan dengan syariat. Para kaum fundamentalis juga telah menjadikan Indonesia sebagai medan jihad baru untuk memerangi kapitalisme.
Tantangan yang sedemikian berat itu, dengan bekal pengalaman intelijen yang dimiliki oleh Sutiyoso yang kita tahu bahwa dia hanya berbekal pengalaman masa lalu dalam bidang intelijen militer, tentunya ini akan menjadi sebuah pertanyaan, apakah Sutiyoso mampu menyelesaikan dan menanggulangi hal yang sedemikian kompleks seperti disampaikan diatas?
Netralitas dan Persoalan Masa Lalu
Sebagai seorang petinggi sebuah lembaga seperti BIN, persoalan netralitas penting untuk diperhatikan. Undang-undang Intelijen Negara menyaratkan netralitas anggota intelijen. Yang dimaksud netralitas adalah sikap tidak memihak dan bebas dari pengaruh dan kepentingan pribadi maupun golongan (politik). Sutiyoso yang saat ini menjabat sebagai ketua umum PKPI akan sangat dipertanyakan sikap netralitasnya dalam hal kepemimpinannya di lembaga BIN. Yang dimaksud dalam hal kepentingan disini, dikawatirkan keberadaan seorang kader parpol dalam menduduki jabatannya akan memanfaatkan seluruh sumberdaya lembaga negara, dalam artian aset dan kebijakan-kebijakan dalam artian pengelolaan sumberdaya organisasi untuk kepentingan partainya.
Jika kita berbicara netralitas, jangankan kepala BIN seorang Presiden saja yang memang jelas-jelas adalah kepala Pemerintahan sekaligus kepala Negara yang dipilih langsung oleh rakyat, sangat susah untuk meletakkan kepentingan partai dibanding kepentingan negara. Apalagi ini adalah kepala BIN yang notabene jauh dari kontrol masyarakat.
Selain persoalan netralitas sebagaimana diatas, Sutiyoso ternyata masih menanggung dosa masa lalu, dimana posisinya saat itu sebagai seorang pangdam Jaya di indikasikan keterlibatannya dalam kasus kudatuli (kerusuhan 27 juli) yakni penyerbuan kekantor PDI (sekarang PDIP). Sejumlah kader PDIP menyayangkan penunjuk Sutiyoso sebagai kepala BIN oleh Jokowi, menginggat Jokowi sendiri adalah kader PDIP. Bahkan beberapa kader di Jawa Tengah meminta penjelasan kepada Ganjar Pranowo atas penunjukkan tersebut dan sekaligus meminta pihak Istana menjelaskan rasionalitas penunjukkan Sutiyoso yang sebenarnya telah melukai perasaan Kader PDIP. Jika kasus penculikan Witji Tukul aja Jokowi masih teringat mana mungkin dia melupakan kasus kudatuli yang kita semua tahu keadaan itu sangat melukai kader PDIP maupun Megawati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H