[caption id="attachment_406722" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi (indoweb.tv)"][/caption]
Kali ini kita akan berbicara tentang sosok pemimpin ke-7 negeri ini, iya siapa lagi kalau bukan bapak Presiden Joko widodo. Sampai dengan hari ini, kepemimpinan Jokowi telah berjalan sekitar 5 bulan. Dalam kurun lima bulan ini tentunya barometer kerja presiden yang biasa kita kenal 100 hari kepemimpinan telah terlewatkan. Kendati demikian, kita merasakan bahwa kepemimpinan beliau hingga detik ini belum kita rasakan perubahan secara signifikan kecuali kisruh elit partai yang tak berkesudahan, BPJS yang masih amburadul, ketegasan hukuman mati gembong narkoba yang mengambang, harga barang pokok pangan semakin tidak menentu karena sebab tidak dikendalikannya harga BBM. Belum lagi kekisruhan dalam istana yang hingga kini masih membutuhkan energi yang teramat besar untuk segera diselesaikan.
Sosok pemimpin yang fenomenal dan merakyat nampaknya kita sudah tidak kenali lagi dari diri jokowi, nampaknya sekarang hanya menjadi biasa-biasa saja. Banyak kalangan mengatakan bahwa elektabilitas Jokowi telah drastis turun sejalan dengan kelinglungan yang dialami jokowi.
Apa sebab Jokowi Demikian?
Memang beda rasa, memimpin Solo yang hanya kota madya, memimpin Jakarta yang selebar provinsi, dengan memimpin Indonesia lebih kompleks dan penuh soal. Persoalan nampaknya tidak selesai hanya blusukan, namun perlu sebuah trobosan-trobosan, keberanian, ketegasan, dan sikap tidak pandang bulu. Penyelesaian kasus KPK-Polri adalah bukti kebingungan seorang Jokowi, persoalan bisa larut hingga satu bulan dan konflik tarik menarik kepentingan hingga saling lapor antara satu dengan yang lainnya, adalah sederet bukti Jokowi “tidak mampu” mengendalikan situasi. Hal yang paling menyedihkan adalah hukum dijadikan alat untuk menghantam orang lain bukannya untuk menegakkan keadilan. Status tersangka menjadi cara untuk menjerat lawan politik, bukan menghukum yang benar-benar bersalah. Elit negeri ini telah jauh bermain-main demi memuaskan hasrat dirinya sebagai binatang politik.
Jokowi yang diawal kita kenal energik, tegas, , empatik, dan professional, nampaknya tak berdaya menanggung beban himpitan politik istana, dan rival politiknya. Sematan sebagai petugas partai nampaknya telah membelenggu kebebasannya dalam mengambil sikap. Dirinya selalu dibayang-bayangi oleh PDIP, para sengkuni disekitarnya, koalisi, dan sebagainya. pada intinya Jokowi seperti burung disangkar emas, dia dibelenggu oleh kekuasaannya sendiri, kekuasaan bukan ia kendalikan namun justru mengendalikan. Besanya kekuasaan tak mampu membuat dia berjuang untuk kepentingan rakyat.
Kendati Jokowi dipilih langsung, namun itu tidak serta merta membuat dirinya bebas dari tekanan politik dari lingkungan dan rivalnya. Presiden yang kita gadang-gadang akan berdiri didepan membawa perubahan, memberhangus korupsi, menjadi panglima hukum, dan akan mengangkat kesejahteraan rakyat, nampaknya telah hilang kedigdayaannya. Relawan yang dulu berjibaku tanpa lelah, meski modal sendiri namun semangat memperjuangkannya, sekarang justru berbalik arah dan menghardiknya.
Terkadang saya berfikir, ketika Jokowi dalam renungnya apakah dia sempat berfikir perihal sudah sedemikian lemah dirinya. Apalah arti jabatan Presiden jika tanpa kuasa.
Harus Seperti Apa?
Mungkin saya adalah sebagian kecil orang yang memiliki kegelisahan yang sama atas nasib bangsa ini ditanggan Jokowi. Harapan terbesar adalah Jadilah Jokowi yang seperti kita lihat dahulu, yang empati terhadap penderitaan rakya, yang selalu bergerak menuju perubahan dan perbaikan, memberangus birokrasi kotor, dan menata manajerial dengan apik. Lima bulan memang belum apa-apa untuk sebuah perubahan, namun ini harus menjadi catatan progress kinerja pembangunan bangsa. Waktu panjang hingga 2019 harus benar-benar dimanfaatkan sedemikian baiknya, dan upaya pembangunan yang berkelanjutan harus tetap diupayakan, serta sesegera mungkin singkirkan aral yang menghadang didepan.
Dari sisi politik, jokowi harus bisa menciptakan sebuah stabilitas dan tingkat kompromi yang moderat. Hal ini penting dilakukan karena system multi party di Indonesia yang teramat susah untuk di manajemen dengan mudah. Berbeda dengan Amerika, kendati merupakan icon negara paling demokratis di dunia, namun persoalan kepartaian disana tidak sekomplek di Indonesia. Pertarungan hanya terjadi antara Partai Demokrat dengan Partai Republik, beda di Indonesia. Jumlah partai yang sedemikian banyak, yang memiliki agenda masing-masing membuat Pemerintah kesulitan, mana yang harus di kedepankan.
Meskipun telah terbangun koalisi besar KIH dan KMP, namun dalam internal masing-masing koalisi pun masih berbenturan disana-sini, masing-masing partai lebih mengedepankan kepentingan masing-masing dibanding kepentingan untuk mengantarkan Jokowi untuk membangun bangsa dan negara.
Untuk menciptakan stabilitas politik, harusnya teknik SBY untuk memposisikan diri sebagai pimpinan koalisi patut ditiru. Kendati bukan seorang ketum Parpol, namun saya kira sah-sah saja jika itu dilakukan. Jangan biarkan koalisi pendukung Pemerintah berjalan sendiri-sendiri tanpa control yang jelas dari pihak Jokowi. Untuk menjaga marwah Jokowi sebagai seorang presiden, sematan petugas Partai harus segera dilenyapkan, kendati itu hanya istilah, nampaknya secara psikologi, itu sangat mempengaruhi posisi Jokowi sebagai Presiden.
Melihat kondisi kebangsaan yang kian hari kian carut marut dan penuh persoalan, rasanya penting itu semua dilakukan oleh Jokowi. Jangan sampai Jokowi kehilangan kepercayaan dari konstituennya yang telah memberikan mandat kepadanya. Akan sulit bagi Jokowi jika pemilik mandat mulai bergerak untuk menuntut pertangung jawaban, karena sudah tidak ada lagi yang menguatkan Jokowi terkecuali rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H