Mohon tunggu...
Lilik Agus Purwanto
Lilik Agus Purwanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

belajar, belajar, mari terus belajar follow twitter: @aguslilikID web: http://aguslilik.info

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Premanisme Kampus Belum Berakhir

5 Mei 2014   16:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:51 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah yang sejatinya menjadi rumah kedua bagi anak-anak dan generasi muda dalam menapaki perjalanan hidup, dan membangun generasi berikutnya, justru menjadi tempat menyeramkan dan membangun trauma buruk bagi pembangunan mental, ada apa dan kenapa?

Belum selesai masalah satu muncul masalah yang satu, kata-kata itu kiranya yang bergelayut dalam fikiran kita saat ini. Kasus pelecehan seksual di JIS yang menelan banyak korban ditambah lagi adanya korban meninggal dalam proses orientasi merupakan sebagai dari potret buruk kondisi lembaga pembelajaran yang ada disekitar kita. Kasus-kasus kekerasan yang selama ini terjadi dalam institusi pendidikan nampaknya tidak menjadi pelajaran yang berarti, dan demikian terulang dan terus berulang.

Tajuk Rencana Kompas (29/4) yang berjudul “Pembinaan Berakhir Kematian” nampaknya memutar kembali memori kita akan rentetan kekerasan yang terjadi di insitusi pendidikan kita. Kekerasan nampaknya sudah menjadi budaya yang sukar untuk di hilangkan, dengan dalih pembinaan mental, seakan-akan melegalkan segala bentuk kekerasan, bahkan pada tahun 2013 angka kekerasan di institusi pendidikan mengalami kecenderungan meningkat antara 10-20 persen. Tentunya hal ini tidak bisa diabaikan begitu saja, bahkan harus ada upaya serius yang harus dilakukan banyak kalangan, mulai dari pihak institusi pendidikan, pemerintah, maupun pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan proses pembelajaran ini.

Pembinaan Mental atau Kedok Premanisme

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kekerasan di lingkungan pendidikan (kampus) dari mulai masa ke masa selalu terjadi dan terus terjadi berulang-ulang. Kondisi demikian nampaknya sudah menjadi budaya bahkan sudah menjadi kebiasaan “legal”. Hal tersebut hampir merata pada semua kampus, baik pada institusi milik pemerintah (dinas) maupun institusi pendidikan swasta. Banyaknya kejadian kekerasan yang berujung pada kematian nampaknya tidak menjadi “warning” bagi perbaikan kualitas proses pendidikan, kasus-kasus kekerasan lebih banyak diselesaikan pada sudut pandang pidana ketimbang mencoba melihat substasi permasalahan sesungguhnya.

Tragedi meninggalnya mahasiswa baru ITN Malang pada tahun 2013 yang diduga dilakukan oleh seniornya menjadi memori yang tidak terlupakan sampai saat ini. Namun ternyata nasib buruk pun dialami oleh Dikita Handoko, Mahasiswa Sekolah TInggi Ilmu Pelayaran Jakarta, yang menambah catatan buruknya sistem pendidikan di kampus. Upaya-upaya mempersempit ruang-ruang tindakan kekerasan dalam proses orientasi kampus telah dilakukan, namun upaya-upaya tersebut tidak mengendurkan niatan oknum tindak kekerasan untuk selalu mencari cela dimana kekerasan itu tetap dapat dilakukan.

Tentunya upaya-upaya mereformasi sistem pendidikan (pembinaan mental) ini patut diapresiasi, namun tidak berhenti disitu, pihak kampus pun harus ada upaya serius dalam menghapus budaya premanisme yang seakan-akan telah mendarah daging dan terjadi secara turun temurun. Menilik rentetan kejadian kekerasan tersebut, nampaknya kegiatan orientasi kemahasiswaan harusnya mulai dilakukan pengkajian ulang, serta polanya pun harus dilakukan perubahan secara menyeluruh, untuk memotong warisan yang secara turun temurun mengulang tindakan tersebut. Sudah saatnya penerapan kegiatan orientasi kemahasiswaan dialihkan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat positif dan membangun. Kegiatan kampus harus dikembalikan pada misi awal “Tridarma Perguruan Tinggi”.

Tridarma Perguruan Tinggi Jangan Hanya Jadi Jargon

Tugas pokok kampus adalah mencetak generasi unggul yang berwawasan intelektual yang berbasis kepada pengembangan ilmu pengetahuan dan pengabdian masyarakat. Dalam situasi kekinian, nampaknya kampus telah kehilangan “ruh”nya dalam menjalankan fungsi dan tugas pokoknya. Kampus telah menjelma menjadi institusi yang sekedar mencetak sarjana-sarjana yang disiapkan untuk terjun kedunia kerja, dan meninggalkan sebagian fungsi dan tugas pokok lainnya sebagai pengemban amanah pengembangan ilmu pengetahuan dan pengabdian masyarakat.

Wajah muram kampus dengan segala kasus kekerasannya telah mengeser fungsi pokok kampus sebagai lembaga intelektual, kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut, menjadi tidak mungkin nantinya fungsi kampus akan bergeser seperti layaknya “lembaga pemasyarakatan” yang mengandalkan otot dan kekerasan belaka demi mempertahankan senioritas. Tentunya kita semua tidak akan merelakan hal ini terjadi, sebagai lembaga yang menjunjung tinggi “Tridarma Perguruan Tinggi”, sebagai ujung tombang kampus harus mengedepankan keberadaban moral, intelektual, dan rasa tangung jawab yang tinggi kepada masyarakat dan masa depan bangsa.

Orientasi Kampus dan Pembinaan Mental Harus Diambil Alih Institusi

Kegiatan kemahasiswaan yang selama ini diserahkan kepada lembaga kemahasiswaan di kampus nampaknya penting untuk dikaji ulang, menginggat kasus-kasus kekerasan yang timbul sebagian besar terjadi karena adanya interaksi antara mahasiswa senior kepada mahasiswa baru yang sejatinya belum mengenal sama sekali budaya yang ada didalam kampus. Hal ini penting untuk menghindari benturan-benturan kepentingan antara mahasiswa senior kepada mahasiswa baru. Kegiatan orientasi pengenalan kampus keberadaannya sejatinya masih penting, karena kegiatan ini merupakan proses awal untuk memahami visi dan misi kampus dalam membangun mentalitas, intentelektual, dan membangun kedewasaan mahasiswa dalam mengemban tangung jawab besar dalam masyarakat.

Proses Orientasi pengenalan lingkungan kampus harus tetap mendapatkan pengawalan yang power full dari semua instrumen yang ada dalam institusi, bahkan penyelenggaraan proses tersebut harus dibawah control dan mekanisme yang dilaksanakan oleh pihak universitas maupun fakultas masing-masing. Akses dan interaksi antara mahasiswa baru dengan seniornya harus disediakan ruang tersendiri dalam komunitas intelektual dalam bentuk diskusi-diskusi yang menitik beratkan pada pengenalan kebiasaan intelektual dalam kampus. Dengan demikian tujuan awal dari proses pengenalan kampus dan target visi dan misi yang dicanangkan dapat terlaksana dengan baik tanpa dicederai oleh tindakan oknum-oknum yang tidak bertangung jawab yang berakibat pada kerugian oleh semua pihak. Setiap institusi berkewajiban memiliki system operational Procedure (SOP) dalam proses penyelenggaraan proses orientasi yang telah divalidasi oleh pemerintah, dan harus diterapkan sangsi yang jelas dan tegas dalam pelaksanaanya.

Peran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai lembaga negara yang menaungi institusi pendidikan menjadi sangat penting untuk turut menyelesaikan persoalan ini. Dalam setiap pelaksanaannya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus memberikan pengawasan yang baik pula, apabila sampai terjadi pelanggaran atas pelaksanaan prosedur dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan yang mengakibatkan kerugian yang fatal bahkan sampai menimbulkan kematian, pihak pemerintah dapat memberikan sangsi yang tegas sampai pada pembubaran institusi tersebut. Namun bukan sebaliknya pemerintah tidak berpangku tangan dengan dalih tidak adanya payung hukum untuk melegalkan pemberian sangsi dengan mempersempit kasus tersebut pada ranah pidana dan tidak melihat pada substansi persoalannya.

Tragedi meninggalnya mahasiswa di Sekolah TInggi Ilmu Pelayaran Jakarta, harusnya menjadi titik balik dan pembelajaran yang penting bagi semua institusi pendidikan, masyarakat, dan pemerintah. Hendaknya kampus harus berbenah diri dan memperbaiki system pola orientasi pengenalan kampus, sehingga kejadian tersebut menjadi catatan yang terakhir untuk mendorong perbaikan kualitas dan mengembalikan tujuan awal kampus untuk mencetak generasi intelektual yang tinggi sebagai penerus generasi yang memiliki wawasan kebangsaan yang baik.

Sampai kapan rentetan kejadian ini akan berakhir? Tentunya kita keseriusan semua pihak untuk serius melihat persoalan ini dalam semua sudut pandang tidak terkecuali masalah hukum dan perbaikan sistem pendidikan, sehingga tidak akan jatuh korban selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun