[caption id="attachment_363615" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber: filsafat.kompasiana.com"][/caption]
Perang Kurawa dan Pandawa nampaknya masih berlanjut di Senayan. Pemikiran Bharatayudha yang digelar pada 9 Juli lalu ternyata belumlah sebuah perang akhir cerita. Namun nampaknya perang 9 juli lalu baru lah perang pemanasan.
Sebagaimana cerita Mahabarata, simpul perang kebenaran dan keadilan melawan kebatilan adalah sebuah cerita epos yang hingga kini masih menjadi acuan. Kita semua mengira, bahwa Pilpres kemarin yang disebut oleh banyak pihak sebuah perang yang besar terjadi namun ternyata barulah pemanasan. Dalam sebuah cerita Mahabarata, ketika Pandawa telah berhasil mendirikan Indraprasta, setelah diusir dari Astina Pura, lagi-lagi kelompok kurawa tidak bisa menerima keberhasilan Pandawa dalam mendirikan sebuah kerajaan.
Singkat cerita, Duryudana melalui penasehat politiknya Raja Sangkuni, membuat sebuah tipu muslihat dalam permainan Dadu dengan mengundang para Pandawa sebagai lawannya. Dalam permainan dadu tersebut kelompok Kurawa menyiapkan sebuah siasat untuk memenangkan permainan tersebut, dan hingga kedudukan sebagai seorang raja Yudistira pun dipertaruhkan. Berkat kelihaian seorang sangkuni dalam mengatur taktik tipu muslihatnya, akhirnya Pandawa kembali menelan kekalahan oleh Kurawa. Dan yang paling menyedihkan adalah Permaisuri Drupadi menjadi taruhan dan dilakukan penelanjangan didepan umum.
Cerita senayan ini bak bermain dadu, antara Pandawa dan Kurawa dan rakyat saya umpamakan sebagai taruhannya. Â Bahkan lebih miris lagi perlambangan seorang Drupadi lebih mirip-mirip dengan kondisi demokrasi di negara ini. Kehormatan demokrasi telah ditelanjangi sedemikian rupa, oleh sebuah nafsu angkara murka. Dan siasat-siasat Kurawa untuk berambisi merebut tahta yang telah secara konstitusional dimenangi oleh Pandawa, justru akan menjadi beban berat perjalanan bangsa kedepan.
Harapannya sekarang adalah, mampukan SBY menjadi prabu Kresna, yang mampu membuat keajaiban untuk demokrasi kita. Jangan sampai pertolongan itu terlambat setelah demokrasi benar-benar telah ditelanjangi dan benar-benar dibawah kendali nafsu keangkara murkaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H