Rindu akhirnya mengering di daun bambu
mengemas kesia-siaan, merobek mimpi
meremas harapan pada tangan yang gemetaran
sudahlah sayangku
gerhana merubah iklim menjadi perasaan tak bertuan
cinta yang pernah kupuja--menjadi berhala jiwa-- bukan alasan
tetapi air mata lelaki ini
terlanjur telah kau tumpahkan.
Akan kubawa ibu hati menyusuri puing-puing kenangan
lalu berdiri di atas bukit: menjerit dan membentangkan kedua tangan
dan kupanggil seluruh hari-hari indah bersamamu jelita
kusambat dengan seribu mantra pendaran bulan purnama
:berdatanganlah,o, wahai
arwah-arwah penasaran daridunia kepedihan
roh-roh kepiluan dari gulita penyesalan
berkumpullah di sini
melolonglah bersama sunyi
bersama laki-laki yang darahnya dicucurkan
untuk sepotong penghianatan yang dengan tulus kau persembahkan
maka berikanlah aku belati telanjang paling kelimis
dan hujamkan dengan seribu kali tusukan terus menerus tanpa jeda
ke tubuh jahanam ini
biar rasa!
Biar tak bersisa!
Tapi ternyata itu tak sebandingdengan rasa apapun
bahkan bila bumi ini meledak menjadi tepung terigu yang berhamburan
selain galau yang mengembara
berlayarsecara abadisepanjang usia.
Dan rindupun akhirnya mengering di daun bambu
bersama ceritapamungkas yang tak mungkin terkisahkan
bahkan pada riak telaga yang airnya telah kehilangan warna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H