Tulisan ini mungkin anekdot, mungkin bukan. Namun saya tak ingin mengatakan secara jujur bahwa tulisan ini saya kutip dari kisah nyata. Teman sekantorku yang biasa bepergian ke luar kota karena tugas pokok dan fungsinya (apakah saya harus menjelaskan dia seorang sopir?) adalah tukang “jajan” yang sangat “fanatik”. Dia selalu menjelaskan bahwa di setiap kota yang dia singgahi, dia selalu mendapatkan “citarasa” tertentu yang khas, yang tidak dimiliki oleh kota lain.
“Baik cara mendapatkannya maupun ceweknya.” Ujar dia. Kemudian dia menjelaskan beberapa teknik dan trik di satu kota A. Di hotel mana dan kepada siapa. “Di kota C banyak gratisannya, cukup dengan membelikan minuman, kita sudah bisa menidurinya di losmen.” Tapi yang paling dia sukai adalah kota D, terutama karena di kota itu banyak ABG yang berharga murah.
“Di kota D, kalau sudah mengantar bos dan menunggu agak lama, aku pergi ke sebuah kost-kostan. Cukup dengan SMS, aku menjemputnya, menyikatnya di mobil, selesai.” Katanya sambil tertawa. Dia mengaku salah satu kota favoritnya adalah kota F. “Di kota ini, rata-rata hotel melatinya sangat nyaman, murah, enak untuk bawa segala jenis ayam.”
Teman saya tidak bicara kosong karena dalam beberapa kesempatan dia mempraktekan tips dan triknya itu kepada saya. “Mau coba juga?” tawarnya. “Tidak, trims.” Jawab saya sambil berpikir begitu banyak duit yang dia keluarkan untuk “jajan lendir”, apakah dia tidak dicukupi di rumahnya? Apa tidak sayang duit dibuang-buang untuk sesuatu yang bisa didapatkan di rumah?
“Tidak.” Katanya. “Di rumah saya berhubungan seperti biasa dengan istri.”
“Apakah istrimu tahu? Apakah dia tidak curiga kamu suka jajan?”
“Entahlah.” Jawabnya pendek.
Pada suatu hari, dia menolak mengantar kami ke luar kota karena sedang mengurus surat-surat. Saya heran. Biasanya tidak ada kata tidak baginya untuk pergi ke luar kota.
“Kamu mengurus surat-surat apa?” Tanya saya
“Surat Cerai.” Jawabnya pendek.
Saya heran luarbiasa.
“Memang kenapa? Istrimu mergoki kamu jajan dengan tetangga ya?”
“Bukan.”
“Lantas?”
Dia menarik nafas panjang dan berat. Kemudian dia bercerita, beberapa hari kemarin dia pulang lebih awal ke rumah karena bagian marketing tidak jadi pergi ke kota C. Di rumah, dia melakukan hubungan dengan istrinya.
“Kami jarang berhubungan di siang hari.” Ujarnya. “Dan saya melakukan kesalahan fatal. Kebiasaan saya jajan di waktu senggang itu biasanya pada siang hari… jadi saya… selesai melakukan hubungan itu, mengambil uang dan membayarnya Rp.350.000,-“ katanya.
“Seperti biasa yang kamu lakukan kepada PSK?” tanya saya. Dia mengangguk. Saya sekarang mengerti permasalahannya, “Istrimu pasti marah besar ya?”
Dia memandang saya dengan tajam.
“Ya, dia sangat marah. Apa-apaan ini? Katanya sambil memperlihatkan uang yang saya berikan kepadanya. Biasaya juga Rp.500.000,- itu pun sudah diskon, ngerti engga?” Dia berkata dengan geram.
Aku mencerapkan kata-katanya. Ya, Tuhan!
“Kami bertengkar hebat dan saya memutuskan untuk menceraikannya.” Ujarnya sambil pergi meninggalkan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H