Kasus Gus Miftah yang kepleset saat ngeguyon soal pedagang es teh jadi viral dan memantik perdebatan. Ada yang bilang itu cuma candaan, ada yang nganggap nggak pantes. Gus Miftah udah minta maaf, tapi netizen kayaknya belum mau berhenti bahas soal ini. Masalah ini nggak cuma soal siapa salah, tapi juga soal moralitas, etika, dan gimana kita sebagai manusia---terutama public figure---harus jaga ucapan.
Tapi gimana ya kalau para filsuf macam Socrates, Plato, dan Ibnu Rusyd ngasih pandangan soal ini? Bayangin mereka duduk di sebuah kafe sambil bahas apa yang sebenarnya bisa kita pelajari dari drama ini.
Respon Socrates: "lNgaca Dulu Sebelum Ngegas"
Socrates, filsuf yang terkenal suka nanya-nanya orang sampai pusing, mungkin bakal bilang, "Hidup yang nggak pernah di-review itu kayak buku kosong." Kalau dia ngeliat netizen rame nge-judge Gus Miftah, dia pasti nyentil, "Kenali dirimu sendiri dulu sebelum menghakimi orang lain." Menurutnya, kebanyakan dari kita terlalu sibuk nunjuk kesalahan orang lain tanpa sadar kalau kita sendiri punya kekurangan.
Dia juga mungkin bakal bilang, "Orang bijak bicara karena mereka punya sesuatu untuk dikatakan, sementara yang bodoh bicara hanya karena mereka ingin didengar." Dalam konteks ini, Socrates nggak cuma nyindir Gus Miftah yang asal lempar candaan, tapi juga netizen yang kadang terlalu nyinyir tanpa kontribusi positif.
Respon Plato: "Candaan yang Nggak Adil Itu Problematis"
Plato, murid setia Socrates, bakal bawa diskusi ini ke ranah keadilan. Dia pasti bilang, "Keadilan itu soal menempatkan sesuatu pada tempatnya, termasuk candaan." Dalam pandangannya, candaan yang bikin orang lain merasa direndahkan udah nggak adil, apalagi kalau itu datang dari figur publik.
Plato percaya bahwa harmoni adalah inti dari kehidupan sosial. "Apa yang benar-benar penting adalah menjaga keseimbangan," katanya. Kalau guyonan sampai bikin ribut atau melukai hati orang lain, berarti itu bukan humor yang sehat. Buat Plato, humor nggak salah, tapi harus ada batasnya---dan batas itu adalah keadilan.
Respon Ibnu Rusyd: "Empati Itu Inti dari Etika"
Ibnu Rusyd, filsuf muslim yang terkenal dengan sintesisnya antara filsafat dan agama, pasti bakal bawa perspektif yang lebih reflektif. Dia mungkin akan bilang, "Hikmah itu memahami sesuatu dalam konteksnya." Buat Gus Miftah, candaan itu mungkin terlihat ringan, tapi di mata audiens, konteksnya jadi berbeda. Ini pelajaran buat semua orang: kata-kata punya makna yang bisa berubah tergantung siapa yang mendengarnya.
Selain itu, dia mungkin akan mengingatkan kita dengan kata-katanya, "Kebenaran tidak akan merusak persahabatan sejati." Kalau ada kritik, seharusnya disampaikan dengan niat memperbaiki, bukan menghancurkan. Ibnu Rusyd bakal mendorong netizen buat nggak sekadar cancel-cancel orang, tapi juga ngajak dialog yang membangun.
Dari diskusi imajiner ini, kita belajar bahwa kasus Gus Miftah bukan cuma soal olok-olok yang kepleset. Socrates ngajarin kita buat introspeksi sebelum ngehakimi. Plato bilang bahwa candaan harus adil dan menjaga harmoni. Sementara Ibnu Rusyd mengingatkan kita soal pentingnya empati dan hikmah dalam bicara. Jadi, sebelum kita ngetik komentar pedas atau ngelempar candaan, mungkin kita harus tanya dulu: apa yang keluar dari mulut (atau jari) kita ini bikin dunia lebih baik, atau malah bikin chaos?