Mohon tunggu...
Agus Indy.
Agus Indy. Mohon Tunggu... Dosen - Antropolog Blajaran

Saya seorang pendongeng yang suka menulis cerita-cerita etnografi yang ringan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gus

19 Desember 2024   17:09 Diperbarui: 19 Desember 2024   17:09 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

GUS

Sebutan 'Gus' itu bagiku paradoks. Di satu sisi ada nuansa penghormatan, yang diderivasi dari sebutan keluarga Kiai. Mungkin ini ada bau-baunya juga, mengingat mbah moyangku itu berasal dari Tremas. Ini adalah pesantren level senior dalam silsilah metodologis pengajaran pesantren. Belum lagi, memang aku ini kan tampilannya rada relijiyes: suka pakai baju koko, jenggoten sithik, dan ndilalahnya di bathuk saya itu ada benjolan lipoma jadi kayak orang kebanyakan sujud. Belum lagi bapakku itu juga petinggi NU, meskipun di tingkat bawah wehehehe. Jadi kalo dipanggil Gus ki ya rada wangun.

Di sisi lain, itu juga ada nuansa tidak sopannya. Lha mosok di tanah Jawa yang penuh tata krama ini memanggil orang secara njangkar?! Manggil aku Gus gitu itu kan njangkar, meskipun yang manggil njangkar itu sebenarnya sangat jarang. Orang yang seleting (seangkatan) dan akrab biasanya punya panggilan lain: Sinyo dan turunannya (kang Sinyo, pakdhenyo, ominyo) dan mas Indy.

Nah, kegelisahan saya itu, kenapa ya sebutan Gus ini begitu gampang disematkan ke semua orang terkenal? Tentu saja itu bukan untuk saya lho. Saya itu di kalangan dosen mendapatkan sebutan Gus Indy itu dari grup dosen, yang isinya para senior, propesor, dan pejabat kampus. Lha padahal saya itu kepetung paling kecil saat itu, jadilah ketika semua manggil saya Gus ya tidak masalah kayak dijangkar gitu.

Kalau sebutan Gus itu melekat pada publikasi yang baik, dakwah, kebaikan, gitu-gitu, ya sebenarnya sih Oke saja. Lha nek sebaliknya piye? Banyak orang yang konon bukan keturunan kiai, atau sekedar pernah nyantri di pondok lalu jadi terkenal, lalu disebut Gus. Ceramah lancar dengan bahasa arab, atau menyebut hadist, dan ndilalahnya cocok dengan selera publik njuk disebut Gus. Ada orang kaya, lalu rajin ngaji, sponsor pondok, lalu diberi sebutan Gus?!!

Rasanya lama-lama kok jadi pulitis ya sebutan itu. Gak ada sih yang melarang pakai sebutan itu. Gak ada sih yang melarang untuk berdakwah dengan cara masing-masing. Tapi mbokyao sing elok, seumpama menyampaikan berita kebaikan itu mbok gak usah pakai term-term yang nyrempet saru, kasar, misuh, dan sebagainya. Mungkin kalian akan merespons, 'lho mas, kan itu bahasa target sasaran dakwah?'... Lha nek ngono, ya jangan gunakan bahasa itu ketika ceramah di masyarakat umum.

Saya itu terus terang saja rada sensi baca berita Gus ini menuntut Gus itu, Gus ini terindikasi korupsi, Gus ini terima suap, hadeuuh. Ini framing media atau apa saya tidak begitu paham, tetapi mbokyao sing dha ketempelan sebutan Gus itu jadi lebih bijak dalam bertindak dan berbicara, khususon di ranah publik. Nek gak gur dadi guyon, bahan ejekan.

Saya tidak mau begitu.

Jogjakarta, 15 September 2022

*** ini saya tulis jauh sebelum rame ttg Gus-gus, tak taruh di FB 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun