Mohon tunggu...
Agus Hilman
Agus Hilman Mohon Tunggu... -

@_hilman

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Merobohkan Teologi Langit

8 Maret 2013   01:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:09 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Agus Hilman

(Kandidat Ketum PB HMI)

(Dimuat di Media Indonesia, 8 Agustus 2003)

Beberapa pekan, Media Indonesia kembali menggulirkan wacana yang sangat menggugah penulis untuk turut berpatisipasi. Wacana itu adalah sebuah tawaran agar ada upaya untuk membumikan persepsi teologi ke dalam realitas sosial, sehingga teologi tidak begitu melangit dan seakan enggan menemui umatnya yang kelaparan, miskin, dan tertindas.

That human civilization is largely the product of human religiuosity. Kiranya tidak berlebihan jika penulis memilih adagium ini yang dilontarkan seorang pemikir terkemuka, Muhammad Ayoub, sebagaiungkapan yang tepat untuk mengawali tulisan sederhana ini. Bahwa peradaban yang diulang manusia tidak pernah terlepas dari campuran tangan agama. Agama senantiasa hadir (omnipresent) ke dalam ruang dan jiwa peradaban manusia. Sebab, agama yang senantiasa hadir itu adalah entitas yang sesuai dengan fitrah manusia, yakni hadir di dalam ruang untuk mengembangkan nilai sifat universal manusia yang selalu rindu akan kedamaian, kasih sayang, ketenangan, dan keadilan.

Sejarah telah mendeskripsikan degan jelas baagaimana kerasnya penindasan struktural dan kultural yang dialami masyarakat jahiliyah pra-Islam (sebelum 610 M). Secara struktural, para pemilik modal melakukan pemerasan terhadap kaum lemah-papa (mustadh‘afîn) dengan menguasai sistem politik Mekkah. Dan, dalam skala penindasan kultural,perempuan berada hina di bawah bayang-bayang subordinasi budaya patriarki.Perempuan tidak diberikan ruang maupun peluang untuk bergerak secara bebas. Konteks itulah,Islam sebagai agama lahir dengan visi meluruskan ketidakadilan terhadap kaum lemah dengan memberikan mereka hak sederajat tanpa kecuali, yang membedakan khayalan ketakwaan (QS Al-Hujurât [49]: 13; QS Al-Baqarah [2]: 228).

Dengan demikian, agama sesungguhnya bukanlah sebuah jalan hidup (way of life) manusia yang eksklusif, melangit, dan jauh dari realitas sosial. Sebab, agama terhimpun karena dan untuk kesejahteraan seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘âlamîn). Ia pun tidak akan pernah bertentangan dengan struktur sosial masyarakat. Jika demikian, lantas mengapa dalam sejarah, agama acap berposisi vis-a-vis dengan realitas sosial dan fitrah manusia? Bahkan, agama justru sering menjadi penindas dan sumber malapetaka bagi peradaban manusia (human civilization)? Disinilah keniscayaan gagasan untuk masuk atau membumikan (down to earth) persepsi kemanusiaan (antropologis) dan ketuhanan (teologi) agama ke dalam kehidupan sosial manusia.

Sebagai konsekuensi derevasi agama ke bumi untuk manusia, ia pun niscaya terkena virus sejarah yang selalu bergerak cepat mengalami perubahan di tengah rasionalitas manusia. Sebuah perubahan dari rasio manusia yang acap melakukan deviasi-deviasi terhadap sesuatu yang berbau suci dan transendental. Tak alangkepalang, deviasi itu adalah karakter manusia yang selalu mengotori kesucianagama dengan kepentingan-kepentingan pribadinya. Ketika itulah agama mulai kehilangan fungsi dantujuan utama keterciptaannya, yakni untuk kesejahteraan kehidupan.

Keniscayaan akan adanya campur tangan manusia dalam agama sering kali tidak diakui oleh pemeluknya. Nilai-nilai kemanusiaan malah diposisikan sebagai entitas inferior yang berada jauh dibawah kekuasaan agama (mahasuperior). Padahal, agama bahkan Tuhan sekalipun ‘tercipta’ untuk manusia dan akan kembali untuk manusia pula.

Asumsi dan ungkapan keterciptaan Tuhan di atas membawa kita kepada persepsi bahwa keberadaan Tuhan di muka bumi ini akan benar-benar terasa manakala ia menyejukkan kehidupan manusia, tidak menjajah dan membelenggu, melainkan memberikan semangat pembebasan kepada manusia untuk saling mengasihi dan tolong-menolong. Karena sejatinya, Tuhan yang dipahami manusia tidaklah bertolak belakang dengan suara dan bisikan hati terdalam manusia. Sebab itulah, Tuhan lebih memilih hati terdalam Muhammad sebagai tempat menyemayamkan firman dan pesan-pesan suci-Nya untuk disampaikan kepada semua manusia (QS Al-Syu‘arâ’ [26]: 193-194).

Berteologi dengan memahami agama dan Tuhan seperti itu, mengabdi kepada Tuhan berimplikasi pada ikhtiar untuk menyerahkan seluruh totalitas kehidupan hanya untuk Tuhan yang kemudian dibuktikan dengan bentuk pengabdian kepada manusia. Karenanya, antara manusia dan Tuhan tidak bisa dipisahkan. Tuhan dengan manusia ibarat ruh dan jasad yang apabila salah satu keduanya tiada, tidak bisa dikatakan sebagai entitas yang sempurna. Tujuan untuk mengabdikan ataupun seruan yang diyakini sebagai perintah Tuhan harus pula diselaraskan dengan nilai-nilai kemanusiaan (hati nurani). Tanpa itu, Tuhan dalam kehidupan ibarat ruh yang tidak memiliki jasad. Keberadaannya hanya akan menjadi pengganggu dan penghancur peradaban manusia. Inilah jawaban dari pertanyaan mengapa Tuhan dan agama sering kali bertindak sebagai penghancur peradaban manusia (destroyer of human civilization). Persis, seperti tuduhan Clarkson yang menganggap dosa merupakan fantasi manusia dan kejahatan merupakan wahyu Tuhan.

Atas semua itu, kinilah saatnya membangun kembali serpihan-serpihan kehidupan yang telah hancur akibat keangkuhan kita dengan menyatakan agama lebih suci daripada kehidupan manusia. Seolah, agama merasa hina menghampiri umatnya yang dilanda kemiskinan karena itu, bukan saatnya lagi mempertahankan performansi teologi yang melangit dan enggan meluangkan waktunya untuk sekadar menengok manusia yang tertindas, miskin, dan tak berdaya. Sudah semestinya teologi langit itu dirobohkan dan digantikan dengan teologi yang membumi, yang menghampiri seluruh umat manusia dengan belaian kasih.

Merobohkan teologi langit bukan berarti menegasi sisi sakralitas, mitos, dan transendensi agama, karena semua itu merupakan entitas yang tak terpisahkan dari agama, melainkan mencoba mengikis nalar teologis yang membawa kepada pemikiran/tindakan teosentrisme yang ahistoris. Membunuh sakralitas dari agama sama halnya kita membunuh agama dan Tuhan (mitos) dari kehidupan manusia, persis seperti nada yang dilontarkan Nietzsche bahwa Tuhan telah mati. Sementara, fitrah manusia tidak bisa memisahkan dirinya dari agama (mitos).

Berdasarkan pemikiran itu, dalam upaya merobohkan teosentrisme agama (Islam), ikhtiar utama yang harus dilakukan adalah merombak ajaran-ajaran yang membawa kepada pemikir jumud, melangit, dan teosentrisme, sehingga teologi bertindak sebagai way of life yang memanusiakan (to humanize) kehidupan manusia. Itulah bentuk teologi masa depan, yakni teologi yang tidak melulu membahas Tuhan yang menyebabkan lupa terhadap tujuan utamanya untuk membebaskan manusia dari derita sosial-komunal. Wallâhu A’lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun