Mohon tunggu...
Dr. Agus Hermanto
Dr. Agus Hermanto Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Hukum Keluarga Islam

Dr. Agus Hermanto adalah dosen di salah satu Perguruan Tinggi di Lampung, selain itu juga aktif menulis buku, jurnal, dan opini. Penulis juga aktif di bidang kajian moderasi beragama, gender dan beberapa kajian kontemporer lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sikap Moderasi di Perguruan Tinggi Islam

11 Mei 2022   19:55 Diperbarui: 12 Mei 2022   04:21 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sikap Moderasi di Perguruan Tinggi Islam

Perguruan Tinggi merupakan sarana untuk melakukan perubahan (agen of change), sehingga proses pembelajaran di Perguruan Tinggi pada umumnya, terlebih Perguruan Islam Negeri bersifat otodidak, artinya para mahasiswa diberikan kesempatan untuk melakukan upaya pembaruan dengan cara terbuka dan kritis, baik secara pemikiran maupun tindakan, karena dunia pendidikan adalah sarana untuk memberikan kesempatan kepada para mahasiswa agar mampu berpikir yang maju dan kritis dalam setiap bidang keilmuan, hingga mampu menyerasikan dengan cara mengintegrasikan antara satu bidang keilmuan dengan bidang keilmuan lainnya.

Moderasi dalam konteks Perguruan Tinggi Islam adalah mengajak kepada para dosen dan mahasiswa untuk berpikir yang moderat dalam beragama, bukan hanya dalam konsep memahami bidang ilmu keagamaan, melainkan juga dalam hal tindakan terhadap realita yang terjadi.

Sikap moderasi dalam pembelajaran di Perguruan Tinggi Islam artinya dapat melakukan proses pembelajaran dengan baik, dan memiliki daya saing tinggi, serta mampu menyaring mahasiswa sebagai input Perguruan Tinggi, melakukan proses dengan benar dalam pembelajaran maupun memberikan out put terhadap kampus dengan cara yang aktif, dengan melihat pada visi misi Perguruan Tinggi, termasuk hasil lulusan bagi para mahasiswanya.

Dalam proses integrasi baik antara dosen dan mahasiswa maupun dalam bidang disiplin keilmuan dapat disandingkan antara satu keilmuan dengan keilmuan lainnya, dapatlah disandingkan dan dengan baik, melalui cara berdiskusi, bahkan ketika ingin menyalurkan inspirasi, hingga harus terjadi demonstrasi misalnya oleh para mahasiswa dilakukan dengan cara yang arif dan tidak merusak fasilitas kampus.

Terlebih dalam konteks kemajuan teknologi yang dihadapi oleh masyarakat dengan semakin majunya dan tidak terbendung, maka haruslah disikapi dengan cara yang arif dan bijak, misalnya harus memahami bahwa kemajuan teknologi adalah hasil buah kreasi otak dan pikir manusia, sebagai bukti kemajuan pola pikir masyarakat modern yang harus diimbangi dengan akhlakul karimah, sehingga kemajuan teknologi dapat diterapkan dengan benar agar tidak membawa kemudharatan.

Dalam isu-isu moderasi beragama di lingkungan  Perguruan Tinggi Islam hendaklah dalam menyikapi segala sesuatu dengan cara mementingkan kebutuhan secara seimbang antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi.

Dalam isu-isu Radikalisme dan ekstrimisme di kalangan para dosen maupun mahasiswa, yang kerap kali senter adalah timbulnya pertanyaan yang kadang kerap kali menjadi isu-isu populer terhadap tuduhan tuduhan radikal dan ekstrimisme, misalnya adalah bagaimana konsep moderasi dapat diterapkan pada Perguruan Tinggi? 

Apakah semua mahasiswa yang bercadar dapat dikatakan adanya indikasi Radikal? Apakah setiap dosen yang berjenggot dapat dikatakan Radikal?

Penerapan moderasi di lingkungan Perguruan tinggi adalah menjalin hubungan antar dosen dan para dosen lainnya ataupun antara mahasiswa dengan mahasiswa lainnya.

Cadar sejatinya merupakan tradisi bagi masyarakat tertentu guna menutup aurat, sedangkan aurat perempuan adalah hal yang harus ditutup, yaitu seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Bagi mahasiswa tertentu, konsep cadar sering kali adanya dua indikasi, indikasi pertama adalah ingin merubah dirinya menjadi muslimah yang benar dengan berupaya menutup aurat, hingga akhirnya memilih menggunakan cadar, sedangkan indikasi kedua adalah sebuah upaya untuk mengikuti trend pada saat ini, sehingga mereka menggunakan gaya dan model baru dalam hal bergaul dan berbusana pada saat ini, yang sejatinya bukan bertujuan untuk menutup.

Adapun isu-isu berkaitan dengan sebagian mahasiswi yang memanfaatkan cadar sebagai sarana melakukan pemikiran dan gerakan ekstrim hingga mengarah pada paham Radikal, mungkin saja terjadi, namun juga tidak dapat digeneralisasi, hingga menuduh setiap yang bercadar adalah paham radikal, meskipun terdapat beberapa isu-isu bahwa adanya oknum cadar di lingkungan Perguruan Tinggi yang mengusung paham radikal. Karena sikap kita ketika menjustifikasi seseorang dengan paham tertentu, kemudian ternyata tidak terindikasi justru kita akan dianggap sebagai orang yang berpaham radikal, karena telah melebih-lebihkan sikap dan pemikiran kita. 

Jenggot merupakan sebuah kodrat bagi sebagian tertentu, sehingga akan tumbuh secara fitrah, hingga akhirnya fitrah itu harus dijaga dan dirawat dengan baik. Dalam konteks jenggot sejatinya yang harus disoroti adalah kebersihan, karena jenggot merupakan sesuatu fitrah yang dimiliki oleh sebagian orang laki-laki dan harus dirawat dengan baik, namun jika sebagian lain tidak memilikinya tidaklah kemudian harus memaksakan diri untuk memilikinya, tindakan atau aktivitas merawat jengot adalah sunnah, karena kebersihan adalah bagian dari Iman, artinya bahwa orang yang secara fitrah ditumbuhi jenggot lantas ia berupaya untuk menjaga dan merawatnya dengan baik, berarti telah merawat kebersihan.

Hal-hal tersebut di atas kerap kali menjadi diskusi pro dan kontra, hingga terkadang juga kerap menimbulkan problem. Namun yang paling urgen dari segala perkara di lingkungan  Perguruan Tinggi Islam, yaitu adalah isu-isu tentang konsep Khilafah, yaitu sistem negara Islam yang berasumsi bahwa konsep NKRI adalah taghut dan bukan konsep Islam, karena konsep tersebut taghut maka hanya layak dimiliki oleh orang-orang kafir hingga harus dirubah menjadi konsep Khilafah.

Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah konsep yang berlandaskan pada dasar negara yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, serta menjaga nilai Bhineka Tunggal Ika. Maka dalam proses pembelajaran maupun visi misi Perguruan Tinggi haruslah bersifat moderat, artinya tidak Radikal maupun ekstrim, hingga mempelopori para mahasiswa dengan cara yang tidak arif, baik melalui organisasi maupun pengajian-pengajian, atau halaqah-halaqah tertentu. 

Sikap toleransi di lingkungan Perguruan Tinggi juga dalam hal menjaga komunikasi antara dosen dan mahasiswa, kepegawaian dan bahkan pimpinan Perguruan Tinggi, hingga mampu mewujudkan nilai-nilai wasathiyah dengan satu frekuensi, sehingga Perguruan Tinggi Islam akan mampu bersaing dengan baik. Wallahu alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun