Pendahuluan
Tahun Baru Imlek 2025 beriringan dengan perayaan Isra Mi'raj, memberikan masyarakat Indonesia kesempatan menikmati libur panjang dari Sabtu hingga Kamis. Fenomena ini tak hanya menghadirkan kemacetan di berbagai titik, sebagaimana yang saya saksikan di televisi, tetapi juga memperlihatkan bagaimana masyarakat dari berbagai latar belakang turut merayakan momen ini dengan sukacita.Â
Bagi saya, Imlek tahun ini memiliki beberapa catatan penting yang menarik untuk dibahas, baik dari aspek budaya, sejarah, hingga refleksi pribadi.
Imlek dan Fenomena Cuaca
Bagi sebagian masyarakat, hujan saat perayaan Imlek dianggap sebagai pertanda baik. Malam Imlek kali ini, hujan turun tiada henti membasahi kota, menyebabkan genangan dan banjir di beberapa titik di Jakarta. Dari cerita yang saya dengar, ada kepercayaan bahwa jika Imlek tidak disertai hujan, maka tahun tersebut akan penuh dengan kesulitan atau bencana. Benar atau tidak, kepercayaan ini tetap menjadi bagian dari narasi budaya yang berkembang di masyarakat kita.
Gus Dur dan Imlek: Warisan Toleransi yang Tak Terlupakan
Di Indonesia, perayaan Imlek tidak bisa dilepaskan dari peran Presiden ke-4, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Beliau adalah sosok yang mengembalikan hak masyarakat Tionghoa untuk merayakan Imlek secara terbuka.Â
Sebelum era reformasi, perayaan ini sempat mengalami pembatasan yang cukup ketat. Namun, dengan kebijakan Gus Dur, Imlek akhirnya diakui sebagai hari libur nasional dan masyarakat Tionghoa dapat kembali menjalankan tradisi mereka secara bebas.
Bagi saya pribadi, Gus Dur adalah salah satu tokoh yang saya idolakan. Pemikirannya tentang keberagaman dan kebebasan beragama menjadikannya sosok yang dihormati oleh berbagai lapisan masyarakat.Â
Kebetulan, malam Imlek kali ini saya bertemu dengan salah satu orang dekat Gus Dur, Syeikh Umam Wiranu, di kediamannya di Beji, Depok. Dalam pertemuan ini, kami berbincang panjang lebar mengenai berbagai hal, termasuk makna Tahun Baru Imlek 2025 yang merupakan Tahun Naga Kayu.