Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sepoci Kehangatan di Malam Ronda

9 Desember 2024   07:00 Diperbarui: 9 Desember 2024   12:59 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teh tubruk dibiarkan beberapa menit hingga sarinya keluar (Sumber: Dokumen Pribadi)

Malam itu dingin. Angin lembut menyapu jalan perumahan, membelai dedaunan dan menyelinap di sela-sela pos ronda kami. Jarum jam mendekati pukul sebelas malam ketika kami mulai berkumpul, bersiap menjalankan tugas ronda. 

Di antara semua persiapan ada satu momen yang selalu kami tunggu-tunggu kedatangan Pak Suryo (bukan nama sebenarnya), pria sederhana asal Semarang dengan sepoci teh tubruk panas di tangannya.

Pak Suryo adalah sosok sederhana yang ramah teman ronda setiap giliran group ronda kami tiba, tetapi ada yang spesial yang membuatnya selalu kami pertanyakan keberadaannya adalah karena beliau begitu peduli dengan selalu menyediakan kehangatan di tengah malam yang dingin. 

Tradisi ini saya ketahui semenjak pertama kali saya bergabung dalam jadwal ronda. Dengan senyum ramah dan logat Jawa yang khas, ia akan datang membawa poci langganan yang kami lihat, gula pasir, gelas kaca, dan sendok. 

Sepaket teh tubruk Pak Suryo (Sumber: Dokumen Pribadi)
Sepaket teh tubruk Pak Suryo (Sumber: Dokumen Pribadi)

Teh yang ia seduh begitu istimewa. Bukan karena bahan-bahannya yang mewah, melainkan karena cita rasa yang sulit dijelaskan: Hangat, kaya aroma, dan seolah mampu menghapus lelah seketika.

"Kulo nggih nggak nate ngrayu teh Semarang niku, Mas. Sedep," katanya suatu malam, sembari menuang teh ke gelas saya.

Teh tubruk panas Pak Suryo dituang (Sumber: Dokumen Pribadi)
Teh tubruk panas Pak Suryo dituang (Sumber: Dokumen Pribadi)

Kami semua tahu betapa berharganya kehadiran teh ini. Dalam kesederhanaannya, teh tubruk buatan Pak Suryo menjadi simbol kebersamaan. 

Kami yang sebelumnya terdiam mulai larut dalam obrolan ringan membahas topik-topik sepele hingga serius, dari mulai rutinitaas kami di pekerjaan hingga isu politik lokal. Ada kalanya gelak tawa pecah, ada pula diskusi hangat yang berujung perdebatan kecil. Semua terasa lebih hidup dengan secangkir teh di tangan.

Pak Suryo tak pernah absen membawa teh, meski cuaca sedang tak bersahabat. Pernah suatu malam, hujan deras turun mengguyur perumahan kami. Meski basah kuyup, ia tetap muncul di pos ronda dengan poci yang terbungkus kain agar tetap hangat. "Teh panas nggih paling pas kados niki," ucapnya sambil tersenyum.

Ada sesuatu yang unik tentang teh tubruk ini. Rasanya sederhana, namun menyentuh. Pak Suryo mengatakan ia menggunakan daun teh dari pasar tradisional yang ia racik sendiri. 

Teh tubruk dibiarkan beberapa menit hingga sarinya keluar (Sumber: Dokumen Pribadi)
Teh tubruk dibiarkan beberapa menit hingga sarinya keluar (Sumber: Dokumen Pribadi)

Cara menyeduhnya pun mengikuti tradisi Semarang yang diwariskan dari keluarganya. Air panas dituangkan langsung ke dalam poci berisi daun teh, lalu dibiarkan beberapa menit hingga sarinya keluar. Gula disajikan terpisah, sehingga kami bebas memilih apakah ingin menikmati teh manis atau tawar.

Di malam-malam ronda, teh tubruk Pak Suryo adalah pengikat kami. Secangkir teh menjadi alasan untuk melupakan dinginnya malam, menghangatkan hati, dan mempererat hubungan di antara kami. 

Tak ada yang tahu persis apa yang membuat Pak Suryo begitu bersemangat menyeduhkan teh untuk kami setiap malam. Ketika ditanya, ia hanya menjawab dengan santai, "Rasa teh niku saged nggandengke dulur."

Pak Suryo mengajarkan kami bahwa kepedulian tak harus diwujudkan dengan hal besar. Sesederhana secangkir teh yang dihidangkan dengan tulus pun cukup untuk menciptakan kenangan manis. Hingga hari ini, tradisi teh tubruk itu masih melekat di pos ronda kami, menjadi warisan sederhana yang terus kami nikmati bersama.

Dan setiap kali saya menyeruput teh di malam ronda, aroma dan rasanya selalu mengingatkan saya pada satu hal: Betapa hangatnya kebersamaan, bahkan di tengah dinginnya malam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun