Pak Suryo tak pernah absen membawa teh, meski cuaca sedang tak bersahabat. Pernah suatu malam, hujan deras turun mengguyur perumahan kami. Meski basah kuyup, ia tetap muncul di pos ronda dengan poci yang terbungkus kain agar tetap hangat. "Teh panas nggih paling pas kados niki," ucapnya sambil tersenyum.
Ada sesuatu yang unik tentang teh tubruk ini. Rasanya sederhana, namun menyentuh. Pak Suryo mengatakan ia menggunakan daun teh dari pasar tradisional yang ia racik sendiri.Â
Cara menyeduhnya pun mengikuti tradisi Semarang yang diwariskan dari keluarganya. Air panas dituangkan langsung ke dalam poci berisi daun teh, lalu dibiarkan beberapa menit hingga sarinya keluar. Gula disajikan terpisah, sehingga kami bebas memilih apakah ingin menikmati teh manis atau tawar.
Di malam-malam ronda, teh tubruk Pak Suryo adalah pengikat kami. Secangkir teh menjadi alasan untuk melupakan dinginnya malam, menghangatkan hati, dan mempererat hubungan di antara kami.Â
Tak ada yang tahu persis apa yang membuat Pak Suryo begitu bersemangat menyeduhkan teh untuk kami setiap malam. Ketika ditanya, ia hanya menjawab dengan santai, "Rasa teh niku saged nggandengke dulur."
Pak Suryo mengajarkan kami bahwa kepedulian tak harus diwujudkan dengan hal besar. Sesederhana secangkir teh yang dihidangkan dengan tulus pun cukup untuk menciptakan kenangan manis. Hingga hari ini, tradisi teh tubruk itu masih melekat di pos ronda kami, menjadi warisan sederhana yang terus kami nikmati bersama.
Dan setiap kali saya menyeruput teh di malam ronda, aroma dan rasanya selalu mengingatkan saya pada satu hal: Betapa hangatnya kebersamaan, bahkan di tengah dinginnya malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H