Malam itu dingin. Angin lembut menyapu jalan perumahan, membelai dedaunan dan menyelinap di sela-sela pos ronda kami. Jarum jam mendekati pukul sebelas malam ketika kami mulai berkumpul, bersiap menjalankan tugas ronda.Â
Di antara semua persiapan ada satu momen yang selalu kami tunggu-tunggu kedatangan Pak Suryo (bukan nama sebenarnya), pria sederhana asal Semarang dengan sepoci teh tubruk panas di tangannya.
Pak Suryo adalah sosok sederhana yang ramah teman ronda setiap giliran group ronda kami tiba, tetapi ada yang spesial yang membuatnya selalu kami pertanyakan keberadaannya adalah karena beliau begitu peduli dengan selalu menyediakan kehangatan di tengah malam yang dingin.Â
Tradisi ini saya ketahui semenjak pertama kali saya bergabung dalam jadwal ronda. Dengan senyum ramah dan logat Jawa yang khas, ia akan datang membawa poci langganan yang kami lihat, gula pasir, gelas kaca, dan sendok.Â
Teh yang ia seduh begitu istimewa. Bukan karena bahan-bahannya yang mewah, melainkan karena cita rasa yang sulit dijelaskan: Hangat, kaya aroma, dan seolah mampu menghapus lelah seketika.
"Kulo nggih nggak nate ngrayu teh Semarang niku, Mas. Sedep," katanya suatu malam, sembari menuang teh ke gelas saya.
Kami semua tahu betapa berharganya kehadiran teh ini. Dalam kesederhanaannya, teh tubruk buatan Pak Suryo menjadi simbol kebersamaan.Â
Kami yang sebelumnya terdiam mulai larut dalam obrolan ringan membahas topik-topik sepele hingga serius, dari mulai rutinitaas kami di pekerjaan hingga isu politik lokal. Ada kalanya gelak tawa pecah, ada pula diskusi hangat yang berujung perdebatan kecil. Semua terasa lebih hidup dengan secangkir teh di tangan.