Pendahuluan
Malam itu langit mulai gelap, angin membawa dingin yang menusuk tulang. Di rumah nenekku di sebuah kampung kecil di Jawa Barat, suara jangkrik memecah keheningan.Â
Kami semua berkerumun di dekat tungku kayu, mendengarkan cerita nenek. "Hati-hati kalau keluar rumah waktu magrib," katanya, suara tuanya penuh peringatan. "Kelong suka berkeliaran waktu-waktu begini."
Sebagai anak kecil, aku hanya membayangkannya sesosok makhluk dengan mata terbelalak. Imajinasi tentang perempuan bersayap besar yang terbang dan menculik anak-anak, mulai mengisi pikiranku. Itu cerita pertama yang kudengar tentang Kelong Wewe, makhluk menyeramkan yang diyakini masyarakat kampungku.
Ketika Kelong Wewe Muncul di Tengah Mitos
Kelong Wewe, begitu orang-orang menyebutnya, adalah makhluk halus yang konon suka berkeliaran menjelang malam. Katanya, ia menyerupai perempuan dengan wajah mengerikan, memiliki sayap besar seperti kalong kelelawar raksasa yang sering menggantung di pohon tinggi di kampungku. "Jangan sampai dirawu Kelong," begitu pesan orang tua kepada anak-anak mereka.
Aku masih ingat cerita Pak Sudra tetangga kami, tentang anaknya yang hilang ketika bermain di sawah saat senja. Pencarian pun dilakukan, melibatkan seluruh warga kampung. Akhirnya anak itu ditemukan duduk di atas pohon besar, matanya kosong seperti kehilangan jiwa. "Itu kerjaannya Kelong," ujar Pak Aca sambil berkunyam do'a.
Sebagai anak kecil, cerita-cerita ini cukup untuk membuatku patuh pulang sebelum magrib. Tapi, semakin aku dewasa, aku mulai bertanya-tanya: apakah Kelong benar-benar ada, atau ini hanya cerita untuk menakut-nakuti?
Kisah Wewe Gombel: Versi Lain yang Mengejutkan
Baru-baru ini, aku menonton film The Story of Wewe Gombel. Film itu membawaku ke kisah yang terasa akrab namun juga berbeda. Dalam film ini, Wewe Gombel adalah arwah penasaran seorang wanita bernama Marni. Dia bukan sekadar sosok menakutkan; dia adalah korban. Marni diceritakan sebagai seorang ibu yang kehilangan segalanya: kehormatan, anak, dan hidupnya.
Marni difitnah dan dihukum oleh masyarakat tanpa pembelaan, setelah dia dilecehkan oleh penguasa kampung. Dalam dendam dan keputusasaannya, ia menjadi Wewe Gombel, menculik anak-anak bukan untuk menyakiti, tetapi untuk melindungi mereka dari dunia yang kejam.
Ketika Mitos Bertemu Realitas
Cerita Kelong Wewe di kampungku dan kisah Wewe Gombel dalam film terasa seperti dua sisi dari koin yang sama. Kelong Wewe adalah bayangan gelap yang digunakan untuk mengatur kehidupan anak-anak di kampung, sementara Wewe Gombel adalah teriakan sunyi dari seorang ibu yang kehilangan keadilan.
Namun, ada kesamaan yang tak bisa disangkal: keduanya adalah refleksi masyarakat yang menciptakan mereka. Kelong Wewe lahir dari ketakutan kolektif terhadap malam, terhadap kehilangan, dan terhadap hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Wewe Gombel, di sisi lain, adalah cermin trauma sosial yang menggambarkan perlakuan tidak adil terhadap perempuan dan lemahnya sistem keadilan.
Pelajaran dari Kisah Lama
Kini, saat aku kembali merenungkan cerita-cerita ini, aku melihatnya dengan sudut pandang yang berbeda. Mungkin, Kelong Wewe dan Wewe Gombel bukan hanya mitos atau cerita horor. Mereka adalah alat masyarakat untuk mengajarkan nilai, menanamkan rasa disiplin, dan dalam kasus Wewe Gombel mengingatkan kita akan pentingnya keadilan dan empati.
Kelong mengingatkan kita untuk menjaga anak-anak, terutama dalam transisi senja ke malam yang penuh bahaya. Sementara Wewe Gombel dari film The Story of Wewe Gombel mengajak kita merenungkan bagaimana masyarakat kita memperlakukan perempuan dan menghadapi trauma.
Penutup
Di antara mitos dan kenyataan, selalu ada pelajaran yang bisa kita ambil. Cerita Kelong Wewe dan Wewe Gombel menjadi catatan bahwa masyarakat kita punya cara unik untuk memahami dunia, baik melalui kisah-kisah menyeramkan maupun melalui cerita yang menyayat hati.
Malam kembali datang. Anak-anak tetap pulang sebelum gelap, meski tak lagi takut dirawu Kelong Wewe. Sementara itu, kisah Wewe Gombel tetap hidup dalam imajinasiku, membawa pesan yang tak pernah usang: bahwa keadilan adalah hak setiap orang, dan rasa takut kadang hanyalah cara untuk menyuarakan hal-hal yang tak terungkap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H