Setiap pagi beberapa jam sebelum fajar menyingsing, seperti biasa Mak Uti (bukan nama sebenarnya) sudah menyalakan perapian di sudut jalan besar yang berhadapan dengan sebuah jurang. Di jurang itu terdapat air terjun sebuah selokan yang jarang di kunjungi penduduk karena dianggap angker.
Jurang tersebut dulunya adalah tempat pembuangan air danau yang kini dijebol melalui pembangunan sebuah jembatan, danau yang airnya terkuras kini jadi pesawahan yang subur yang ditepinya adalah perkampungan tempat kami bermukim.
Di jurang itu katanya banyak penunggunya yang sering menampakan diri pada orang-orang tertentu yang dipilihnya, saya sendiri sampai saat ini tidak pernah bertemu dengan para penunggu itu kecuali binatang liar yang memang menjadi habitatnya seperti berbagai jenis ular, biawak, dan binatang lainya.
Dibalik keangkerannya di jurang tersebut terdapat air terjun kecil dan sungai jernih yang mengalir, hidup di sekitarnya ikan-ikan liar yang masih alami yang hidup bebas karena pada umumnya masyarakat sekitar tidak berani mendekatinya apalagi terjun untuk mengambilnya.
Mak Uti adalah seorang pedagang serabi yang setiap pagi berjualan di sudut jalan yang menghadap jurang itu, seperti pagi itu disela pekatnya embun dan dinginnya udara pagi yang menusuk kulit dia sudah menyalakan perapian untuk memasak kue serabi jualannya. Saya biasa mengikuti ayah saya sepulang dari surau yang selalu menyempatkan diri mengunjungi tungku perapian Mak Uti untuk menikmati hangatnya perapian dan kue serabi yang nikmat.
Sebagai anak usia SD kebiasaan saya hanya menguping pembicaraan orang tua disela kesibukan mereka termasuk Mak Uti dan para pembeli langganannya. Ada yang menarik perhatian saya kala itu waktu Mak Uti bercerita, ketika dia baru saja menyalakan perapian Mak Uti mengaku melihat tiga orang anak kecil berkulit gelap, kerdil, buncit, dan telanjang.
Mak Uti menyadari bahwa yang dilihatnya adalah salah satu dari mereka yang biasa menghuni jurang di depannya, secara umum mendengar cerita semacam itu kami sudah tidak aneh lagi karena banyak yang mengaku melihat hal serupa. Ayah saya sendiri orangnya tidak pernah menanggapi serius hal semacam itu, dia lebih memilih pura-pura tak mendengarnya atau hanya tersenyum kecil menanggapinya.
Sampai sekarang kadang saya berpikir makhluk apa yang coba Mak Uti gambarkan, kalau dilihat dari ciri-cirinya mungkin makhluk mitos itu yang dinamakan Tuyul atau semacamnya. Lalu apa kaitannya dengan mitos keahlian mereka dalam mencuri uang, dimasyarakat kami dikenal dengan nama Kencit.
Lalu kemana mereka sekarang, mungkin keahliannya dalam mencuri uang sudah kalah oleh para pembobol ATM dan atau hacker hehe... Yah begitulah kehidupan kami di desa, kami akrab dengan cerita-cerita mistis yang berkembang.
Setiap budaya memiliki kepercayaan dan mitos yang unik terkait makhluk halus. Contohnya, di Jepang ada banyak jenis hantu yang disebut Yurei. Di Indonesia ada Kuntilanak atau Pocong, sementara itu di Amerika Serikat kisah hantu seperti Bell Witch atau Amityville berasal dari cerita lokal yang memiliki latar belakang sejarah tertentu.
Di Skotlandia hantu sering kali digambarkan berada di kastil tua atau dataran tinggi yang berkabut, sementara di Thailand hantu seperti Phi sering terkait dengan sungai atau hutan tropis.Â