Berniat mencari pasangan dan menikah sudah saya canangkan dari usia dua puluhan, tapi yang terjadi malah sebaliknya saya menikah diusia tiga puluh enam tahun dan punya anak di usia saya tiga puluh sembilan tahun.
Sematang apa pun rencana saya untuk menikah, kegagalan beberapa kali menghampiri. Poin penyebabnya sih kalau saya boleh jujur ada beberapa poin, diantaranya:
1. Tidak dewasa dalam menyikapi perbedaan: Sikap saya yang banyak dinilai kekanak-kanakan dalam menjalin hubungan sering kali mnyebabkan rencana menikah batal dan berantakan.
2. Menikah adalah menyatukan persepsi berbagai pihak: Espekstasi untuk seorang pasangan tidak hanya datang dari pribadi calon suami dan istri, melainkan melibatkan banyak pihak diantaranya pihak keluarga laki-laki dan juga perempuan. Ada kalanya hubungan kami retak karena pihak ketiga. Dalam hal ini adalah restu orang tua.
3. Kehadiraan pihak ketiga: Selain pihak keluarga, ada juga pengalaman saya hubungan retak karena pihak ketiga yang bikin runyam, ditambah sikap saya yang pencemburu sering dibutakan oleh rasa cemburu yang akhirnya mengambil keputusan untuk berpisah.
4. Belum merasa siap menikah: Faktor penghasilan sering kali menghantui perasaan saya untuk menikah, walau pun teman-teman dan lingkungan selalu mendorong untuk segera menikah karena rejeki akan mengikuti seiring jalan dan usaha.
5. Analogi sebuah gir dalam sebuah hubungan: Tidak ada manusia yang sempurna semua dibekali Sang Maha Pencipta dengan kekurangan dan kelebihan, apabila kita bisa memadukan keduanya antara diri kita dan pasangan akan tercipta sebuah kolaborasi dan sinergi. Ibarat sebuah mesin kendaraan yang akan melaju dengan kekuatan luar biasa berkat tautan antara dua gir yang berbeda yang terangkai dalam sebuah mesin.
Memang jodoh tidak ada yang tahu selain Yang Maha Kuasa. Akhirnya saya menikah dengan wanita yang usianya di atas saya dan bersikap dewasa, sehingga bisa mengimbangi sifat kekanak-kanakan saya.
Semua terjawab sudah, saya belajar dari kegagalan-kegagalan yang saya jabarkan di atas. Akhirnya berhasil menikah dengan menyiasati semuanya, dengan tekad saya harus berubah demi anak dan istri.
Mungkin benar adanya kalau ada mitos bahwa anak bungsu itu cocoknya mendapatkan anak cikal. Itulah yang terjadi sebagai anak bungsu laki-laki saya menikah dengan anak cikal perempuan yang sikapnya lebih dewasa dan bisa mengimbangi sikap saya yang kekanak-kanakan.
Hikmah dari perjalanan hidup:
1. Menikah diusia hampir kepala empat kondisi finansial saya boleh dikatakan sudah mendekati kematangan, tinggal seorang manager keuangan yang mendampingi dan memotivasi.
2. Sama-sama sering mengalami kegagalan dalam menjalin hubungan membuat kami melupakan yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Yang ada pada benak kami adalah menjalin sebuah hidup rumah tangga yang sakinah, mawahdah, warohmah. Apalagi dengan kehadiran anak, ternyata kasih sayang itu timbul karena biasa, saling mengerti seperti analogi gir mesin kendaraan yang diutarakan di atas.
3. Walau pun usia pernikahan kami tidak selama teman-teman yang menikah muda. Tapi secara kesiapan lahir bathin dan finansial akhirnya kami bisa mengejar ketinggalan dalam segi kesiapan hidup, seperti rencana hari tua, pendidikan anak dll.
Kami beriman bahwa semuanya sudah ada yang mengatur, kami tidak ambisi dalam mencapai suatu target. Biarlah semua mengalir seperti air.
Tapi yang penting usaha tetap dilakukan untuk mencapai titik yang terbaik disertai do'a. Ada pun hasilnya itulah yang terbaik dari Sang Maha Pencipta, dan kami harus ikhlas menjalaninya. Tidak boleh ada kesempatan yang disia-siakan karena itu adalah jalan untuk sukses.
Semua dijalani atas dasar tugas utama hidup manusia di dunia adalah untuk beribadah, tujuan akhir kami adalah meninggal dalam keadaan husnul khotimah.Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI