Post Power Syndrome umumnya terjadi pada seorang yang terbiasa dengan kekuasaan pada masa jabatannya, kerap dialami seorang pejabat instansi atau pejabat lain pemegang kebijakan pada kepurnabaktiannya.
Saya tidak menemukan kasus Post Power Syndome terjadi pada profesi teknis seperti dokter kesehatan, kenapa? Pengamatan yang saya lihat mereka para dokter tambah usia maka tambah pengalaman menangani pasien. Bahkan kepensiunan mereka menambah kepercayaan masyarakat dan instansi swasta untuk merekrutnya karena pengalamannya tersebut.
Kenapa ini tidak terjadi pada profesi lain seperti guru? Jawabnya ada beberapa alasan diantaranya:
1. Para pemegang kebijakan hanya menggunakan power formal dalam menjalankan tugasnya, kurang sadar dalam mengupgrade kompetensi karena merasa sudah diposisi klimaks, kurang teguh dalam menjaga nama baik (good will) sehingga ditinggalkan anak buahnya begitu saja saat pensiun, dan hanya mengandalkan bawahan. Sebagai refleksi lihatlah generasi orang tua kita dahulu para guru dan alim ulama seiring tambah usia maka mereka tambah terkenal dan tambah disegani. Masa tua mereka pun jauh dari kata Post Power Syndrome.
2. Mereka tidak terlibat literasi, khususnya dengan menulis karena dengan menulis mereka dapat menorehkan track record dan membukukan pengalamannya sehingga menjadi referensi buat yuniornya yang kelak akan menggantikannya. Disamping itu menulis dapat mengurangi tingkat stres seseorang. Dan tidak menutup kemungkinan hal ini bisa mendapatkan penghasilan yang bisa diandalkan.
3. Gaya hidup yang berlebihan biasanya mengakibatkan stres ketika pensiun yang dengan terpaksa harus kembali hidup sederhana. Diperparah buat yang suka bereksperimen dengan mengikuti bisnis yang memerlukan modal besar sehingga harus mengagunkan salarinya bahkan sampai melewati batas pensiun. Hal ini bagi yang bisnisnya tidak berjalan lancar mengakibatkan kejatuhan finansial yang signifikan dan memicu stres.
4. Tidak berfikir realistis, mengorbankan yang sudah jelas sebagai bekal dihari tua malah dihabiskan untuk hal yang belum jelas keberhasilannya ( spekulasi ).Â
5. Pengaplikasian norma agama dan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Dengan berpegang teguh pada norma-norma tersebut dalam setiap langkah maka akan terhindar dari stres baik selama menjabat mau pun setelah pensiun.Â
6. Menjadi seorang motivator, trainer, guru besar, literator, dan atau sekedar penikmat alam pedesaan yang damai nan asri dengan kehidupan didalamnya dengan memiliki rumah sederhana di tengah hamparan sawah dan pegunungan adalah pilihan yang perlu dipertimbangkan sambil kita memperkaya khasanah literasi yang bisa kita wariskan kegenerasi berikutnya.Â
7. Kesimpulan, perencanaan yang matang, kesederhanaan, dan investasi jangka panjang yang pasti dan rasional kita bisa menikmati hari tua kita bersama gelak tawa anak cucu yang lucu dan menggemaskan. Investasi disini tidak hanya berupa investasi keuangan, nama baik (good wiil) dan atau tulisan-tulisan seorang mantan pejabat berdasarkan pengalamannya adalah asset literasi yang tidak terhingga nilainya.