Selasa, 25 Desember 2012 saya bersama keluarga menyempatkan diri untuk "plesiran" ke Ancol. Kami tiba di Ancol pukul 10:30. Dalam perjalanan, saya dan istri membincangkan wacana Wagub DKI, Ahok, yang ingin tiket masuk Ancol gratis. Jadi, pengunjung hanya akan membayar ketika masuk wahana seperti Dufan, sea world dan lain - lain.
Tapi wacana tersebut nampaknya hanya wacana. Masuk Ancol, kita dikenai tarif 15 ribu per orang dan 20 ribu untuk mobil. Jadi, saat itu saya membayar 110 ribu karena 6 orang dewasa dalam mobil saya. Dua anak belum dihitung tarif.
Begitu melewati loket pembayaran saya semakin yakin wacana Ahok akan menjadi sekedar wacana lalu. Saya begitu kesulitan mendapati tempat parkir. Bahkan, bahu jalan yang diberi plang dilarang parkir pun digunakan untuk parkir. Tentu karena saking banyaknya pengunjung. Masuk Ancol, seperti macet dalam kota Jakarta. Sebenarnya, bukan macetnya yang saya pikirkan, tapi berapa duit yang didapatkan pengelola Ancol. Sunnguh potensi yang luar biasa. Apakah mungkin Ahok berani menghapuskan bea masuk Ancol sedangkan diberi tarif 15 ribu saja orang berlomba untuk masuk?
Wisata dan Sejahtera
Yang kemudian muncul dalam benak saya adalah kesejahteraan. Ketika liburan tiba, saya mendapati banyak info yang mengatakan mobil - mobil Jakarta menyerbu daerah seperti Jogja, Solo, dan kota - kota lain. Jadi, saya pikir orang - orang Jakarta sedang menikmati liburan di daerah. Dan seharusnya Jakarta "sepi". Dengan membludaknya pengunjung di Ancol, inikah indikasi kesejahteraan masyarakat Jakarta? Atau kesejahteraan warga Indonesia secara umum?
Saya kira, perlu ada riset mendalam mengenai hal ini. Penuhnya tempat wisata dan korelasinya dengan kesejahteraan. Logika sederhana, sebuah keluarga akan berwisata manakala kebutuhan sandang dan papan sudah terpenuhi. Jadi, membludaknya pengunjung patut dicermati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H