Dalam kehidupan saat ini manusia dapat dikatakan tidak bisa lepas dari media massa, kebutuhan manusia akan informasilah yang menjadikan media sebagai alat yang penting saat ini. Media massa adalah media atau sarana penyebaran informasi secara massa dan dapat diakses oleh masyarakat secara masal (Bungin, 2006:7), maksudnya media massa adalah sarana yang digunakan untuk menyebarkan informasi secara luas. Film merupakan sebuah media yang sangat mudah menyebarkan informasi kepada khalayak. Menurut UU Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman menjelaskan bahwa film adalah karya seni budaya yang merupakan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video dengan suara ataupun tanpa suara. Dalam artikel saat ini saya bermaksud menuliskan film yang fenomenal saat ini yaitu Senyap (The Look of Silence)
Senyap “Look of The Silence” merupakan sebuah film dokumenter yang mengangkat kejadian genosida di Indonesia pada tahun 1965. Film ini merupakan lanjutan setelah Jagal “The Act of Killing” yang juga dibuat oleh Joshua Oppenheimer. Pertama kali ditayangkan di Venice International Film Festival, Joshua Oppenheimer selaku pembuat film Jagal dan Senyap berhasil mendapatkan penghargaan MacArthur sebagai “Genius Grant” atas pendekatan yang spektakuler dalam kedua dokumenternya tersebut. Namun di Indonesia film ini sempat beberapa kali dihentikan pemutarannya oleh organisasi masyarakat untuk beberapa alasan tertentu. Berbeda dengan film terdahulunya yaitu Jagal “Act of Killing” dalam film ini Joshua Oppenheimer mengambil dari sudut pandang keluarga korban dalam alur ceritanya.
Film ini mengisahkan tentang seorang Adi Rukun yang berlatar belakang keluarga sederhana wilayah Sumatra Utara. Disini Adi berperan sebagai penjual kaca mata keliling dan bermaksud bertanya-tanya atas kematian saudaranya pada tragedi September 1965. Saudaranya bernama Ramli yang dituduh sebagai simpatisan partai komunis dan dibunuh dengan keji oleh para tersangka pelanggaran HAM yang hanya tinggal sekitar rumah Adi. Terlihat benar kegelisahan wajah Adi ketika beberapa orang yang menjadi pembunuh simpatisan PKI menceritakan bagaimana prosesi pembunuhan yang dahulu mereka lakukan. Dengan setting tempat yang berbeda terlihat juga wajah trauma kedua orang tua Adi yang semakin renta ketika membicarakan kisah tragis Ramli.
Tidak hanya mendapatkan kesaksian dari para pembunuh kakaknya, Adi juga mendapatkan kesaksian dari seorang lelaki paruh baya yang lolos atas pembantaian massal disungai ular. Lelaki tersebut menunjukan tempat dan menceritakan kisahnya lolos dari maut serta juga menceritakan kisah Ramli yang dahulu disiksa sebelum dibunuh. Sungai ular merupakan tempat pembunuhan skala besar di wilayah Deli Serdang, diceritakan juga bagaimana tubuh tubuh hanyut tanpa kepala selama kurun waktu 1965 hingga 1966. Selanjutnya Adi terus mencari kesaksian lain tentang tragedi tersebut hingga dia merasa tercengang ketika bertemu dengan salah seorang pembunuh tingkat desa yang begitu ditakuti. Lelaki tersebut menceritakan deretan pembunuhan yang dilakukannya beserta kewajiban untuk meminum darah korban agar tidak menjadi gila setelah melakukan pembunuhan.
Film ini diakhiri dengan datangnya Adi kerumah salah seorang komandan pembunuh tingkat kecamatan yang telah wafat. Adi menceritakan tentang terbunuhnya saudaranya kepada istri serta anak komandan tersebut. Dalam film berdurasi 99 menit ini diperlihatkan bagaimana kesaksian para pembunuh saat tragedi 65 yang terlihat tanpa penyesalan bahkan bangga dengan tindakannya dahulu. Dengan iringan suara yang senyap, film ini berhasil menjelaskan bagaimana kondisi keluarga korban pelanggaran HAM tahun 1965 yang sebelumnya terus bungkam atas tragedi itu.
Situasi Politik Pada tahun 1965
Pada tahun 1965 merupakan berakhirnya masa pemerintahan Soekarno dan digantikan oleh Jendral Soeharto. Akhir kepemimpinan Soekarno berawal dari penculikan enam Jendral Angkatan Darat dalam sebuah operasi bernama Gerakan 30 September. Pihak militer menuduh PKI, seluruh anggota organisasi sebagai otak dan penggerak G30S (Giebels, 2005:126). Jendral Soeharto mengambil tindakan dengan memberantas pasukan G30S di Jakarta. Serangan berlanjut hingga tahun 1966 dan mengakibatkan terjadinya pembunuhan massal dan menewaskan lebih dari 2 juta jiwa warga yang tertuduh sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Stigma masyarakat tentang pemberontakan partai komunis melekat hingga saat ini.
Apakah Senyap (The Look of Silence) pantas ditonton?
Dengan mengangkat tragedi pelanggaran HAM terbesar pada sejarah Indonesia, film Senyap karya Joshua Oppenheimer menjadi sangat sensitif untuk masyarakat kita. Pada 10 Desember 2014 film Senyap (The Look of Silence) ini diputar secara serempak oleh berbagai lembaga untuk memperingati hari HAM sedunia. Dalam penayangan yang lain, sempat beberapa kali film ini dibubarkan oleh beberapa organisasi masyarakat maupun aparat untuk menghindarinya hal yang tidak diinginkan. Selang dua hari pemutaran film Senyap, organisasi negara Komnas HAM Indonesia memberikan surat dukungan pemutaran Senyap karena menganggap film ini sebagai “bagian dari pendidikan HAM” seperti yang mereka lakukan. Institusi institusi lain juga mendukung penayangan film ini, seperti Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta, komunitas Kamisinema yang menganggap film ini patut diapresiasi secara akademis terkait proses penciptaannya. Film ini dianggap tabu oleh beberapa elemen masyarakat karna kekhawatiran mereka atas efek yang tidak diinginkan setelah menontonnya. Mungkin jika kita menerapkan teori Kemungkinan Elaborasi (Elaboration Likehood Model) dengan tepat akan berdampak baik untuk kita selaku penonton.
Teori Kemungkinan Elaborasi (Elaboration Likehood Model) merupakan sebuah teori yang menekankan bagaimana seseorang memaknai informasi yang didapat. Teori ini dikemukakan oleh ahli psikologi sosial Richard Petty dan John Cacioppo dengan asumsi bahwa pada dasarnya setiap orang memiliki sikap yang tepat atas kondisi yang dihadapi, tetapi setiap orang sesungguhnya selalu berusaha untuk merasionalisasi situasi yang dihadapinya.