Salah satu kalimat yang sering diulang-ulang zaman mondok dulu (kadang hari ini pun masih mendengarnya) yaitu, "Segala sesuatu ada zakatnya, dan zakatnya ilmu adalah mengajarkannya kepada yang belum tahu."
Ilmu di sini, kalau boleh berkomentar, mencangkup segala jenis. Namun, mungkin karena kalimat di atas seringnya beredar di lingkungan masyarakat yang belajar agama, seolah-olah ilmu yang dimaksud fokus kepada ilmu agama. Dan karena itu, banyak penyiar agama (pendakwah) yang sering meminjam kalimat ini dalam misi dakwahnya.
Yang ingin saya soroti adalah, terkadang, atau malah sering, praktiknya di lapangan tidak selaras dengan ungkapan tadi. Zakat ilmu adalah mengajar (begitu bunyinya). Jadi sejatinya, mereka yang mengajarkan ilmu (apalagi agama), atau yang berdakwah kepada masyarakat, tidak lain sedang menunaikan "wajib zakat"nya.
Zakat itu memberikan sesuatu kepada yang berhak dan membutuhkan. Lalu mengapa kok ada yang "berzakat" sekaligus "menerima upah"? Ini menurut saya sangat bertentangan dan lucu. Apalagi bahkan, semoga kita dijauhkan Allah dari ini, sampai mematok harga. Zakat macam apa itu?
Maka rasanya tidak etis mencari nafkah dari agama. Maka ustaz dan pendakwah seharusnya bukan jadi profesi utama (dalam artian pekerjaan untuk mencari uang). Itu bukan semata-mata profesi, melainkan khidmah; pengabdian kepada umat.Â
Dan menjadi abdi berarti melayani, dan melayani umat sesungguhnya tak butuh imbalan dari mereka. Para pelayan umat ini tidak bekerja pada masyarakat, namun bekerja pada Tuhan. Yang paling pantas dan berhak memberi upah hanya Dia. Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H