Mohon tunggu...
Agus Geisha
Agus Geisha Mohon Tunggu... -

Penulis pemula

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buat Maria

10 September 2016   00:41 Diperbarui: 10 September 2016   01:01 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seratusan pasang bibir di kampung menyebut Jihan Tua sebagai orang gila dan meninggalkannya, tak mau mendekatinya. Matanya yang kosong dan uban yang memenuhi kepalanya terjuntai menutupi muka. Kulitnya sudah tak kencang dan jarang bicara. Dia tinggal di rumah ujung pesawahan bersama anak tertuanya –Sati. Entah sejak kapan, tapi Sati juga tak terlalu banyak bicara, sama seperti ibunya. Jihan tua selalu terlihat duduk di beranda rumah itu sejak pagi hingga petang. Sampai matahari pulang.

Orang-orang bilang Jihan Tua sedang menunggu sesuatu, sebagian mengatakan bahwa yang ditunggunya adalah awan berwarna perunggu, sebagian lain mengatakan bahwa seseorang telah berjanji akan menemuinya di beranda rumah itu. Dia selalu mengenakan kebaya yang sama setiap hari, mungkin kebaya dengan corak yang sama.

Sati hanya keluar dari pintu rumah tiga kali setiap harinya, pagi ketika mengantar ibunya ke beranda sambil lalu pergi ke warung, siang mengantar makan untuk ibunya, dan sore untuk membawa ibunya ke dalam rumah.  Suami Sati, bekerja sebagai buruh di kota, berangkat setelah adzan shubuh dan pulang setelah adzan isya. Tak seorang pun yang benar-benar akrab dengannya.

Aku harus mendekati beranda rumah itu karena memar di kaki kanan bapak yang terjatuh di dekat parit harus diobati dengan daun dewa yang ada di pekarangan rumah Sati. Aku tak mengendap meski jantung tak benar-benar merasa tenang. Ada khawatir yang begitu keras berada di benak, khawatir jika tak diterima dengan baik oleh keluarga ini.

“Mbak Sati...” Aku memanggil dari luar rumah, sambil mataku tak henti memerhatikan Jihan Tua yang duduh memandang kosong ke depan. Suara beban kaki yang menginjak lanta bambu terdengar berat, Sati membuka pintu. Air mukanya terlihat bingung.

“Iya. Ada apa?”

“Mbak Sati, kaki kanan bapakku memar karena terjatuh di dekat parit dua hari yang lalu. Sampai hari ini belum sembuh memarnya. Mbak Sati, aku ingin minta beberapa helai daun dewa yang ada di pekarangan. Bolehkah?” Hampir dengan satu tarikan nafas, kalimat yang sudah kuhapal sejak berangkat dari rumah tadi kusampaikan pada Sati.

“Ambillah. Mudah-mudahan bapakmu segera sembuh.” Dia menutup lagi pintu rumahnya, menelan punggungnya yang berbalut kaus usang.

Aku menghampiri sekumpulan daun dewa yang tersebar di pekarangan, memetik beberapa helai dan memarukannya ke kantong plastik. Sudut mataku mencuri lihat pada Jihan Tua, masih pada duduknya sejak aku datang tadi. Aku hampir selesai memetiki daun dewa ketika tiba-tiba aku mendengar suara seseorang memanggil namaku. Aku berhenti memetik, memastikan suara tadi, aku bahkan menahan nafas.

“Mas Nur, sini mendekat. Kamu mau dengar aku cerita?” Jihan Tua memanggilku. Aku gemetar dan menjatuhkan daun dewa yang ada di genggamanku. Punggungku berkeringat.

“Tak perlu takut, aku hanya ingin bercerita. Dan aku tahu kau senang mendengar cerita.” Jihan Tua memandangku. Aku beringsut mendekatinya, memandang sekitar. Aku duduk agak jauh dari tempatnya duduk, dia menoleh. Sepasang bibirnya kering, kulitnya kusam, kuku di jari tanganya tak terawat. Dia membenahi rambutnya yang terurai menutupi muka, menarik nafas dan bercerita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun