Mungkin sedikit yang sadar bahwa antara Bundaran Air Mancur BI - Tugu Monas - Masjid Istiqlal - dan Gereja Katedral dapat ditarik garis sumbu yang relatif lurus. Tatanan ini bukanlah ketidaksengajaan. Kita tahu bahwa konseptor Jakarta modern dengan pendekatan art-landmark yang monumental adalah Presiden Sukarno yang kebetulan adalah seorang insinyur sekaligus penikmat seni.Â
Jika kita bisa tarik makna. Sumbu 4 landmark ini adalah simbol historis perjalanan Peradaban Nusantara. Air Mancur adalah simbol kehidupan dan asali peradaban. Setelah itu waktu bergulir hingga masyarakat Nusantara mengenal pemikiran Hindu-Buddha. Tidak salah, Monumen Nasional memang simbol lingga-yoni. Sejarah pun bergulir hingga peradaban Islam (Masjid Istiqlal) dan dilanjutkan dengan masuknya Kristianitas (Gereja Katedral).
Uniknya, sumbu ini jika kita tarik garis lurus ke arah timur laut ternyata mengarah ke Pulau Kalimantan. Apakah kebetulan? sepertinya tidak. Sejak akhir tahun 50-an Bung Karno memang sudah berencana memindahkan Ibu Kota Indonesia ke Borneo. Bung Karno sudah punya visi lompatan kedepan bahwa simbol Peradaban Nusantara Modern akan di re-build di Kalimantan. Setelah lama menentukan lokasi, akhirnya pada ditemukanlah Titik Nol calon ibukota baru di Kampung Pahandut tepi Sungai Kahayan. Sayang, karena "hiruk-pikuk" di Jakarta seperti penyelenggaraan Asia Games, Ganefo, hingga huru-hara '65, Kota Palangkaraya sampai saat ini tidak jadi Ibukota Indonesia.Â
Maka kembalilah kita pada hari ini dan di sumbu ini, Jumat 2 Desember 2016, saat jutaan saudara2 Umat Muslim menyelenggarakan Aksi Damai 212 yang berjalan sukses dan elegan. Luapan manusia berbaju putih mengisi penuh Bundaran BI, Monas, hingga Istiqlal dan muka katedral. Ketika energi selesai diluapkan dan momentum perlahan mengalir, yang tersisa adalah makna besar. Makna bahwa masa depan Peradaban Indonesia memang ada ditangan Umat Islam.Â
Seperti kata Panglima TNI Gatot Nurmantyo: "Umat Islam adalah benteng terakhir demokrasi Indonesia, khususnya dalam mengadapi kerawanan dan ancaman global". Pendek kata, lurusnya sumbu gerak maju anak panah Indonesia ditentukan oleh sejauh mana kesiapan Umat Islam dalam menghadapi tantangan ke depan. Yang jelas, semua pasti ingin Indonesia yang akbar dan jaya serta menjadi pemain dunia, bukan sekedar jadi penonton dan pasar empuk belaka.
Akhir kata, tongkat estafet ini adalah tanggung jawab kita semua.
Salam Ke-Bhinneka-an.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H