ABSTRAK
Geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena-fenomena permukaan bumi. Apabila dikemas dalam sebuah pendidikan dan pengajaran, maka pendidikan geografi mencoba untuk menanamkan konsep-konsep keilmuan geografi kepada peserta didik. Konsep-konsep keilmuan geografi penting diketahui oleh peserta didik, dengan harapan peserta didik tumbuh sebagai generasi yang memahami bumi sebagai rumah atau tempat tinggal nya sehingga tergerak untuk menjaga kelestarian. Dalam hal ini penting untuk memahami konsep-konsep keilmuan geografi sehingga, keilmuan geografi dapat disampaikan secara tepat sesuai dengan tujuan keilmuan geografi yang sebenarnya. Pada makalah ini akan dibahas kajian filsafat tentang keilmuan geografi serta pendidikan geografi. Kajian ilmu pengetahuan hendaknya dilakukan secara luas dan mendalam. Kajian ilmu pengetahuan dapat dilakukan melalui filsafat dengan menelusuri aspek-aspek ontologis, epistimologis, dan aspek aksiologis. Kajian aspek-aspek tersebut akan membawa pada ideologi ilmu pengetahuan. Sedangkan paradigma ilmu pengetahuan akan membawa pada eksistensi dan kebermanfaatan ilmu pengetahuan dalam menunjang kehidupan manusia.
Kata Kunci: Geografi, Pendidikan Geografi, Filsafat Ilmu, Ideologi, Paradigma
PENDAHULUAN
Segala macam bidang ilmu yang selama ini kita pelajari di sekolah muncul dari sebuah ilmu yang dinamakan 'filsafat'. Ilmu-ilmu tersebut muncul karena buah pikiran manusia yang senantiasa bertanya-tanya mengenai suatu keadaan.
Apa itu?, mengapa begitu?, bagaimana jika?,
itu semua merupakan salah sedikit dari banyak pertanyaan-pertanyaan dalam benak dan pikiran kita yang dapat menuntun pada suatu penyelidikan untuk menemukan jawaban. Apabila ditarik kembali dalam sebuah makna filsafat, filsafat adalah ilmu yang mencoba untuk menemukan hakikat sebenarnya dari segala sesuatu (Oneil, 1981). Melalui proses penyelidikan itulah maka muncul apa yang disebut konsep. Serta dari proses penyelidikan itulah maka muncul apa itu yang disebut sebagai teori. Perbedaan keduanya terletak pada sifat empiris nya, dimana konsep merupakan ide abstrak yang muncul dari akumulasi pengalaman-pengalaman, sedangkan teori merupakan ekspresi pengetahuan yang dipercaya yang mana merupakan hasil dari proses kajian sistematis (systematic view) (Chinn & Kramer, 1999).
Sejarah munculnya berbagai macam bidang ilmu pengetahuan dapat diselidiki melalui filsafat. Seperti hal nya penemuan-penemuan brilian bidang sains dan teknologi melalui inovasi, munculnya ilmu pengetahuan kontemporer seperti yang banyak kita pelajari saat ini juga muncul sebagai hasil akal budi manusia yang tidak pernah berhenti untuk berpikir dan menanyakan segala hal yang ada disekitarnya. Selama manusia masih ada dan senantiasa berpikir, maka suatu ilmu akan selalu terus berkembang sehingga mendukung peradaban umat manusia itu sendiri.
Secara ringkas filsafat adalah cara berpikir (Buckingham, 2011). Yaitu cara berpikir terhadap segala sesuatu mengenai etika, akal, keberadaan, waktu, nilai beserta arti (Buckingham, 2011). Sebenarnya-benarnya filsafat adalah filsafat para ahli atau filsuf. Sehingga sebenar-benarnya cara berpikir adalah cara berpikir para filsuf. Namun sebagaimana sifat manusia yang senantiasa berpikir, pada hakikatnya setiap manusia pasti berfilsafat meskipun mungkin terkadang tidak disadari. Melalui proses berpikir, maka timbulah pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang mengantarkan manusia kepada sebuah jawaban akan persoalan-persoalan yang dihadapi.
Pertanyaan mengenai asal-usul alam semesta melahirkan ilmu fisika. Pertanyaan tentang cara menjalankan negara yang baik melahirkan ideologi negara. Pertanyaan tentang cara menjalankan pertandingan yang adil menghasilkan peraturan-peraturan olahraga. Serta-pertanyaan-pertanyan tentang cara hidup yang baik melahirkan keyakinan dan pemahaman (Kok Bisa Youtube, 2019). Dari apa yang telah dijabarkan, filsafat memiliki peran yang cukup penting dalam kehidupan manusia.
Filsafat mengantarkan manusia pada kehidupan yang lebih baik. Mengembangkan ilmu pengetahuan, inovasi teknologi, serta berpikir tersistematis dalam menghadapi segala sesuatu yang ada disekitar. Filsafat juga mengantarkan manusia menjadi manusia yang bijaksana (Pitoyo, 2006). Anggapan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia terjadi karena hubungan sebab akibat. Maka yang terjadi sekarang adalah produk dari apa yang terjadi di masa lampau. Dan masa sekarang adalah proyeksi diri kita di masa depan, sehingga menuntun kita untuk selalu berhati-hati dalam bertindak.
Akal pikiran manusia selalu mengalami perkembangan sehingga memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap eksistensi dan peradaban manusia itu sendiri. Sejarah menunjukkan, bukti-bukti peninggalan manusia masa lampau menandakan bahwa pada saat itu manusia telah memiliki cara berpikir keilmuan yang logis dan tersistematis.
Candi Prambanan dibangun oleh raja Rakai Pikatan pada Wangsa Syailendra atau sekitar 856 M (Pramumijoyo, et al, 2009). Struktur bangunan Candi Prambanan dibangun diatas tanah urugan yang terdiri dari pasir, tatal-tatal andesit, dan batu putih (tuff) yang berfungsi untuk meredam getaran sehingga struktur bangunan candi akan lebih kuat saat terjadi gempa (Pramumijoyo et al., 2009). Tinjauan geologis tersebut menunjukkan bahwa pembangunan Candi Prambanan pada masanya dilaksanakan dengan perencanaan yang sangat matang.
Lebih jauh lagi, peradaban mesir kuno membangun struktur piramida mesir menggunakan prinsip matematika trigonometri, geometri, dan aljabar serta mengamati pergerakan matahari, bintang, dan bulan untuk memprediksi gerhana yang mana pada saat ini ilmu tersebut disebut astronomi (Suaedi, 2016). Bukti-bukti tersebut menandakan bahwa mengikuti sejarah nya manusia telah memiliki cara berpikir keilmuan dalam merespon dan menghadapi masalah dan kondisi lingkungan sekitarnya.
Perkembangan filsafat tidak dapat terlepas dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Seperti yang telah dijabarkan pada sejarah peninggalan manusia masa lampu sebelumnya, menunjukan bahwa pada saat itu manusia telah memiliki cara berpikir tingkat tinggi. Terbukti bahwa pada masa itu manusia telah mengenal berbagai macam konsep-konsep keilmuan seperti hal yang kita gunakan pada saat ini.
Meskipun pada saat itu pengistilahan dan penamaan konsep-konsep bidang ilmu masih belum kompleks seperti hal nya pada saat ini. Manusia hanya mengandalkan logika berpikir tersistematis untuk merespon kondisi lingkungan nya, serta mempelajari pola nya untuk menyelesaikan masalah serta mendukung penghidupan nya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan cara berpikir manusia pada masanya telah banyak menghasilkan berbagai macam bidang-bidang keilmuan yang dapat dipelajari oleh manusia-manusia pada era ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa di masa depan akan muncul bidang-bidang ilmu baru yang secara spesifik mengkaji permasalahan-permasalahan kehidupan manusia yang juga juga akan semakin kompleks.
Filsafat dan juga ilmu pengetahuan memiliki hubungan yang saling berkesinambungan. Bahwa filsafat merupakan cara berpikir, dimana melalui proses berpikir tersebut maka akan menghasilkan pemahaman dan ilmu pengetahuan. Hal ini sejalan dengan pandangan rasionalisme pengetahuan menurut Rene Descartes (1650), bahwa ilmu pengetahuan berawal dari rasio atau berpikir, dan manusia yang berpikirlah yang akan memperoleh pengetahuan (Suaedi, 2016).
Selain daripada rasio, ilmu pengetahuan juga bersumber dari pengalaman (empiris) seperti yang dikemukakan oleh pandangan empirisme menurut David Hume (1776). Menurut pandangan empirisme, pengetahuan bersumber dari pengalaman yang merupakan penggabungan informasi atau data-data indrawi (Suaedi, 2016). Perbedaan pandangan tersebut sebenarnya menunjukkan keterkaitan bahwa pengetahuan sesungguhnya dapat berasal dari dua sumber baik rasio maupun pengalaman. Rasio tidak dapat berdiri sendiri, sehingga membutuhkan dunia sebagai sumber pengalaman empiris untuk memperoleh pengetahuan.
Kajian mengenai filsafat serta ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Mengingat bahwa filsafat merupakan cara berpikir dan mencoba untuk menyelidiki hakikat segala sesuatu, maka kajian filsafat tentang ilmu pengetahuan mencoba untuk menyelidiki bagaimana hakikat sebenarnya dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Hakikat ilmu pengetahuan menurut kajian filsafat dapat ditinjau berdasarkan epistemologi ilmu, ontologi ilmu, dan aksiologi ilmu. Hubungan diantaranya dapat dilihat berdasarkan gambar dibawah ini.
EPISTEMOLOGI ILMU
Epistemologi merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat. Dalam kaitannya dengan pembahasan mengenai pengetahuan, epistemologi mencoba untuk mengklarifikasi konsep-konsep pengetahuan, bagaimana menggunakan pengetahuan, serta menjelaskan mengapa pengetahuan memiliki unsur-unsur tertentu (Rescher, 2013). Lebih lanjut lagi epistemologi disebut juga sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge), yang mencoba untuk menyelidiki bagaimana asal-usul, asumsi, sifat, serta cara bagaimana pengetahuan diperoleh (Moon & Blackman, 2014).
Berdasarkan hal tersebut, apabila disederhanakan, epistemologi dapat dipahami dengan menjawab pertanyaan 'bagaimana suatu pengetahuan diperoleh?'. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka perlu untuk diketahui terlebih dahulu objek atau entitas apa yang ingin diketahui. Untuk menyelidiki asal muasal dari objek atau suatu entitas, dalam hal ini ilmu pengetahuan, maka dapat dilakukan melalui epistemologi.
Epistemologi menekankan pada pencarian mengenai apa-apa saja entitas yang menjadi sumber dan pemantik telaah sehingga bermuara pada suatu pengetahuan. Pengetahuan-pengetahuan terhadap entitas-entitas inilah yang pada akhirnya berkembang menjadi disiplin khusus mengenai entitas tersebut atau yang disebut sebagai ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh, dalam ilmu geografi, yang menjadi entitas adalah bumi dan segala isinya. Berdasarkan hal tersebut, epistemologi mencoba untuk menyelidiki, bagaimana pengetahuan mengenai 'bumi dan segala isinya' itu diperoleh?, apa saja elemen-elemen yang mendasari ter konstruksinya pengetahuan mengenai 'bumi dan segala isinya' tersebut?, serta bagaimana metode atau cara memperoleh pengetahuan tentang 'bumi dan segala isinya' tersebut?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan epistemologis yang mencoba untuk menyelidiki hakekat ilmu pengetahuan ditinjau dari asal-usul nya. Apabila pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab maka dapat diperoleh lah pengetahuan mengenai 'bumi dan segala isinya' tersebut.
Ilustrasi yang dijadikan contoh seperti diatas hanya salah satu dari sekian banyak pertanyaan tentang entitas yang dapat diajukan sebagai upaya penyelidikan asal-usul pengetahuan. Entitas yang tak terhingga jumlahnya menciptakan batasan-batasan tertentu berdasarkan kriteria nya masing-masing. Selain hal tersebut epistemologi juga menjawab pertanyaan mengenai cara suatu pengetahuan diperoleh, sehingga penyelidikan yang dimaksud dalam hal ini adalah proses observasi atau pengamatan informasi mengenai faktor pemicu suatu entitas sehingga diperoleh pengetahuan mengenai entitas tersebut. Jawaban atas pertanyaan tentang entitas tersebut akan menciptakan pengetahuan-pengetahuan menurut ciri atau bidang nya masing-masing. Secara umum persoalan dalam menjawab asal-usul atau penyelidikan suatu entitas dalam epistemologi adalah sebagai berikut (Suaedi, 2016).
Apakah sumber-sumber pengetahuan?
Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang?
Apakah watak dari pengetahuan?
Adakah dunia yang real di luar akal dan kalau ada dapatkah kita mengatahui?
Apakah pengetahuan kita itu benar atau valid?
Bagaimana kita membedakan kebenaran dan kekeliruan?
ONTOLOGI ILMU
Pengetahuan terhadap suatu realitas yang terakumulasi menurut karakteristik dan juga konsep-konsep yang relevan satu sama lain akan menghasilkan sebuah ilmu pengetahuan bidang. Oleh karena itulah setiap ilmu umumnya terkategorisasi menurut objek kajian masing-masing. Kajian mengenai objek-objek bidang ilmu dipelajari dalam ontologi. Secara umum ontologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat sebuah eksistensi, baik itu bersifat konkret maupun abstrak (Moon & Blackman, 2014).
Suatu eksistensi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari akal pikiran manusia. Pikiran manusia akan menghasilkan apa yang disebut sebagai pengetahuan, ketika akal atau pikiran rasional bertemu dengan segala sesuatu yang disebut eksistensi melalui proses penginderaan. Berdasarkan hal tersebut, disimpulkan bahwa sebuah eksistensi merupakan bagian daripada ilmu, dimana hakikat dari eksistensi diselidiki melalui ontologi untuk diketahui konstruksi nya terhadap suatu bidang ilmu pengetahuan.
Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa ontologi merupakan ilmu yang mempelajari eksistensi. Eksistensi dalam hal ini adalah 'sesuatu yang ada', yang mana sesuatu yang ada tersebut merupakan sebuah kenyataan atau realitas baik itu yang jasmani maupun rohani (Bakhtiar, 2012). Ontologi itu sendiri berfokus pada kajian mengenai sifat dan struktur dari sebuah realitas, yang mana terlepas dari pertimbangan prospektif (apakah realitas tersebut masih akan tetap ada) serta terlepas dari keberadaan yang sebenarnya dari eksistensi tersebut (Guarino & Oberle, 2009).
Dalam hal ini keberadaan suatu realitas dalam struktur ilmu pengetahuan adalah mengenai sifat-sifat realitas dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Secara sederhana, ontologi mencoba untuk menjawab pertanyaan berkaitan dengan ilmu pengetahuan, yaitu 'apa yang diketahui dari sebuah ilmu pengetahuan?'. Berdasarkan pertanyaan tersebut, jawaban yang dihasilkan adalah berupa objek. Kata tanya 'apa' merujuk pada suatu realitas dan keberadaan dari suatu entitas. Seperti contoh 'apa yang sedang kamu makan?' jawabannya 'nasi' misal. 'Apa yang sedang kamu pelajari?' Jawabannya 'geografi' misal. 'Nasi' dan 'Geografi' adalah sebuah realitas. Dimana 'nasi' diwujudkan oleh suatu benda yang disebut sebagai nasi secara konkret. Sedangkan jawaban 'geografi' diwujudkan dalam bentuk abstraksi dari suatu konsep dalam pengetahuan.
Apabila dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, maka ontologi mencoba untuk untuk menjawab 'apa yang diketahui' atau 'apa yang ingin diketahui' dari sebuah ilmu pengetahuan. Ontologi berusaha menemukan sifat, struktur, dan sifat dari suatu realitas, dimana metode atau cara penyelidikannya dilakukan oleh epistemologi. Setiap ilmu pengetahuan umumnya memiliki ciri khas nya masing yang dapat membedakan satu ilmu pengetahuan dengan ilmu pengetahuan yang lainnya.
Oleh karena itu, dalam ontologi juga memberikan definisi definisi khusus mengenai suatu realitas, yang mana tujuannya adalah untuk mengkategorikan masing-masing realitas menurut sifat nya masing-masing (Suaedi, 2016). Sifat dari masing-masing realitas inilah yang selanjutnya menjadi fokus utama kajian dalam suatu bidang ilmu. Suatu realitas berkembang menjadi konsep-konsep keilmuan baik abstrak maupun konkret. Baik konsep abstrak maupun konkret keduanya merupakan bagian dari suatu konsep keilmuan bidang apabila telah rekategorisasi menunjukkan sifat-sifat yang sama. Konsep-konsep inilah yang secara khusus dikaji oleh ontologi. Konsep-konsep yang telah terkategorisasi secara definitif inilah yang memuat identitas, yang mana apabila dilabel dalam suatu kajian bidang ilmu maka hal tersebut akan menunjukkan ciri yang khas dari masing-masing bidang ilmu.
Sebagai ilustrasi ontologi pada bidang keilmuan geografi, objek kajian geografi adalah bumi dan segala isinya. Realitas yang disebut sebagai 'bumi dan segala isinya' masih mengandung definisi yang cukup kompleks dan luas. Oleh karena itu ontologi berusaha untuk menjabarkan kembali konsep yang masih kompleks tersebut menjadi suatu atribut khusus mengenai 'bumi dan segala isinya'. Atribut tersebut masih menjadi bagian dari suatu entitas, hanya saja dijabarkan secara terperinci untuk mengetahui bagaimana struktur dan sifat-sifat seperti apa yang membangun suatu entitas 'bumi dan segala isinya tersebut'. Atribut yang membangun entitas 'bumi dan segala isinya' tersebut diantaranya, 'sungai', 'gunung', 'bukit', 'tumbuhan', 'hewan', 'manusia', 'lokasi', 'wilayah', dan sebagainya. Konsep-konsep tersebutlah yang membangun bidang keilmuan geografi, yang mana pengetahuan terhadap konsep-konsep tersebut akan membawa seseorang untuk memahami dan menguasai keilmuan geografi sehingga dapat disebut sebagai seorang geograf.
Penyelidikan entitas dalam ontologi tidak dapat dipisahkan dari epistemologi. Dimana ontologi berusaha menyelidiki sifat-sifat dari sebuah entitas, sedangkan epistemologi menjelaskan bagaimana proses penyelidikan berjalan sehingga pengetahuan mengenai suatu entitas didapatkan (Ejnavarzala, 2019).
AKSIOLOGI ILMU
Ilmu pengetahuan sejatinya muncul karena respon manusia terhadap kondisi di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan sebelumnya bahwa sumber dari pengetahuan adalah akal atau rasional, dan juga empiris (Suaedi, 2016). Namun dalam perkembangan ilmu pengetahuan, cukup banyak konsep-konsep ilmu pengetahuan yang bersinggungan langsung dengan etika-etika yang berkembang di kehidupan sosial. Etika itu sendiri sebenarnya merupakan hasil akal budi pikiran manusia dalam merefleksikan apa yang dilihatnya dengan apa yang dialami nya (Dewantara, 2017).
Refleksi manusia terhadap apa yang dilihat dengan apa yang dialami akan mempengaruhi tindakan. Oleh karena itulah etika merupakan segala hal yang berkaitan dengan tingkah laku manusia, yang berurusan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Etika secara umum mengantarkan seseorang untuk melakukan perbuatan yang baik (Dewantara, 2017). Kaitannya dengan ilmu pengetahuan, perkembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan hendaknya sejalan dengan nilai-nilai etis kemanusiaan. Linearitas antara etika dengan ilmu haruslah tetap terjaga demi menjamin kebermanfaatan ilmu dan perkembangan peradaban selanjutnya.
Aksiologi ilmu pengetahuan sangat erat kaitannya dengan masalah etika manusia. Etika dalam hal ini adalah tindakan manusia dalam memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki. Apakah ilmu pengetahuan itu akan membawa manusia ke arah yang lebih baik, atau malah sebaliknya membawa manusia ke lubang kehancuran. Ilmu pengetahuan sejatinya berkembang untuk memudahkan kehidupan manusia (Ngafifi, 2014).
Manfaat teknologi sebagai hasil penerapan ilmu pengetahuan cukup banyak telah membuat manusia mengalami perkembangan yang cukup pesat mengalahkan peradaban manusia di generas-generasi sebelumnya. Namun menjadi pertanyaan besar kemudian, apakah benar bahwasannya ilmu pengetahuan membantu dan membangun kehidupan manusia secara hakiki? Apakah ada pada titik tertentu ilmu pengetahuan akan berbalik meruntuhkan peradaban manusia? Pertanyaan tersebut akan kembali pada sebuah ungkapan kerisauan 'manusia sedang menggali lubang kubur nya sendiri', yang secara istilah diartikan dengan 'melalui ilmu pengetahuan manusia membangun penghidupan nya, namun melalui ilmu pengetahuan pula manusia menghancurkan penghidupannya"
Aksiologi ilmu membahas mengenai bagaimana suatu ilmu pengetahuan digunakan. Apakah ilmu pengetahuan tersebut sejalan dengan nilai dan etika sosial yang berkembang, atau apakah ilmu tersebut dalam perkembangan nya tetap terjaga dari tujuan awal nya. Ketidaksesuaian antara masing-masing elemen tersebut akan membuat kebermanfaatan dan esensi dari suatu ilmu menjadi dipertanyakan. Pada bagian yang paling ekstrim, suatu ilmu malah menjadi berbahaya bagi eksistensi kehidupan manusia apabila ilmu tersebut membawa terbukti juga membawa dampak yang tidak baik. Oleh karena itulah dalam pengkajian ilmu pengetahuan, penting pula untuk disertai etika keilmuan.
Etika keilmuan merujuk pada sikap dan tanggungjawab manusia terhadap ilmu yang dikembangkan agar dapat menjaga dan menuntun manusia kepada keselamatan dan kelestariannya sendiri (Sya'roni, 2016). Pada dewasa ini cukup banyak ditemukan penerapan ilmu pengetahuan yang dapat mengancam eksistensi keberadaan umat manusia. Sebagai contoh peperangan dengan memanfaatkan teknologi militer, bom atom, dan bom nuklir atau senjata biologis. Hal tersebut selain menentang nilai kemanusiaan juga, mereduksi kaidah-kaidah etika keilmuan. Dimana ilmu pengetahuan yang seharusnya mampu membawa kemajuan manusia, malah digunakan sebagai alat untuk saling menghancurkan.
Ilmu pengetahuan hendaknya membawa nilai positif dengan melihat kebermanfaatan nya. Cukup banyak kemudahan-kemudahan kehidupan manusia yang dibawa oleh ilmu pengetahuan, seperti obat, alat transportasi, alat komunikasi, internet, dan sebagainya. Aksiologi ilmu pengetahuan berlaku untuk semua bidang. Hal ini menyangkut ranah kehidupan manusia yang cukup kompleks sehingga nilai dan etika moral yang mengikutinya dapat diintegrasikan dengan setiap keilmuan bidang yang ada.
Sebagai contoh, salah satu kajian geografi membahas mengenai lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Bagaimana lingkungan mendukung penghidupan manusia, sehingga pembangunan dapat dilaksanakan secara terus menerus.
Dalam hal ini aksiologi nya yaitu kebermanfaatan geografi dalam menunjang pengkajian tentang lingkungan seperti kerusakan lingkungan, masalah lingkungan, pencemaran lingkungan, yang mana hal tersebut dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Selain itu geografi juga melihat bagaimana daya dukung lingkungan dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Geografi berperan untuk memetakan wilayah-wilayah yang masih layak untuk dikembang, mengkaji bagaimana upaya dan sikap yang tepat agar pembangunan yang mendukung masa depan kehidupan manusia dapat dilaksanakan terus menerus.
Ideologi dapat dikatakan sebagai gagasan atau pemikiran manusia terhadap sesuatu. Ideologi memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, karena ideologi akan menentukan aksi dan interaksi terhadap lingkungan di sekitar manusia (Cole, 2019).
Kaitannya dengan ilmu pengetahuan maka ideologi keilmuan mencoba untuk menanamkan nilai dan cita-cita ilmu pengetahuan bidang berdasarkan objek formal dan objek material nya. Apa yang harus diketahui dari ilmu pengetahuan tersebut, bagaimana asal usul ilmu pengetahuan tersebut, serta nilai-nilai apa yang menjadi tujuan dari suatu ilmu pengetahuan.
Terkait dengan hal ini, maka menjadi penting untuk ilmu pengetahuan dalam menentukan objek formal dan objek material yang terarah. Hal ini bertujuan agar eksistensi keilmuan terjaga serta memberikan kebermanfaatan dan sejalan dengan nilai-nilai kebaikan yang dijunjung oleh suatu ideologi. Dengan kata lain ideologi dan ilmu pengetahuan hendaknya diintegrasikan. Keduanya memiliki prinsip yang berbeda meskipun sama-sama menjunjung tinggi kebenaran. Ilmu pengetahuan berorientasi pada kebenaran ilmiah, sedangkan ideologi berorientasi pada kebenaran yang ditentukan oleh pandangan hidup atau dunia (Widisuseno, 2017).
Setiap bidang keilmuan memiliki objek material dan objek formal nya masing-masing. Yang mana hal tersebut akan mengarahkan pada pengembangan pandangan-pandangan tentang tata cara bagaimana objek formal dan material tersebut ditempuh. Seperti hal nya pada bidang ilmu Pendidikan Geografi. Secara etimologi 'Pendidikan Geografi' terdiri dari dua kata yaitu keilmuan 'pendidikan' dan 'geografi'. Keduanya merupakan dua bidang keilmuan yang berbeda, dimana terintegrasi menjadi satu tanpa menghilangkan esensi dan ideologi dari masing-masing bidang keilmuan.
Dominasi keilmuan geografi dirasa lebih besar dibandingkan keilmuan pendidikan nya. Yang mana apabila apabila ditelaah lebih jauh, maka Pendidikan Geografi mencoba untuk menerapkan konsep konsep ilmu geografi dalam pengajaran. Artinya siswa sebagai subjek belajar, menerima konsep-konsep ilmu geografi, sedangkan sebagai sumber belajar atau yang mentransfer konsep-konsep ilmu geografi. Konsep-konsep keilmuan geografi menjadi dasar pendidikan dan pengajaran. Sehingga siswa sebagai subjek yang menerima konsep-konsep keilmuan geografi diharapkan dapat membangun pemahaman konsep-konsep keilmuan geografi sehingga dapat memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Geografi menempatkan bumi 'earth' sebagai objek material yang perlu dikaji. Lebih lanjut geografi merupakan studi tentang fenomena-fenomena permukaan bumi (Suharsono & Budi, 2016). Sedangkan pendidikan merupakan usaha untuk membuat manusia mampu mengembangkan potensi yang dimiliki, sehingga memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, akhlak, kecerdasan atau keterampilan (Rini, 2013).
Implementasi keilmuan geografi untuk diterapkan dalam pendidikan dan pengajaran mencoba untuk mengarahkan agar siswa mampu membangun pemahaman mengenai konsep keilmuan geografi, yaitu fenomena-fenomena permukaan bumi, sesuai dengan prinsip-prinsip keilmuan geografi itu sendiri. Dalam hal ini, keilmuan pendidikan memiliki peran yang cukup krusial agar upaya dalam menciptakan siswa sebagai generasi penerus peradaban manusia menjadi terwujud. Sedangkan pendidikan berperan dalam upaya internalisasi pemahaman konsep-konsep keilmuan geografi, yang mana dalam penerapannya keilmuan pendidikan memberikan sumbangan tentang bagaimana seharusnya pembelajaran dan pendidikan dapat terselenggara, seperti penggunaan model pembelajaran, metode pembelajaran, media, berdasarkan bidang keilmuan masing-masing.
Penerapan ideologi pendidikan dalam internalisasi konsep-konsep keilmuan geografi disajikan berdasarkan ilustrasi berikut ini.

Gambar diatas menunjukkan aktivitas vulkanisme gunungapi. Fenomena erupsi gunungapi merupakan salah satu objek kajian dari geografi. Dalam hal ini penerapan keilmuan geografi mencoba untuk menyelidiki bagaimana perbedaan karakteristik erupsi gunungapi di tempat tersebut dengan erupsi gunungapi di tempat lain. Misal nya dengan meninjau karakteristik letusan, material yang dikeluarkan. Atau dengan mengkaji bagaimana dampak erupsi gunung merapi tersebut terhadap kehidupan masyarakat yang ada di kawasan rawan bencana.
Dalam pendidikan geografi konsep-konsep keilmuan dalam kajian geografi, seperti pada ilustrasi yang disebutkan, diharapkan dapat dipahami oleh siswa. Dengan harapan bahwa pemahaman mengenai konsep-konsep geografi, seperti erupsi gunungapi, dapat terkonstruksi dalam diri siswa. Hal ini akan memunculkan berbagai macam nilai positif, seperti hal nya siswa mampu mengaplikasi konsep-konsep erupsi gunungapi dalam kehidupan nyata; seperti mitigasi bencana, pengurangan risiko bencana, pengkajian bencana, dan sebagainya. Yang mana hal tersebut akan menempatkan diri siswa menjadi lebih sigap saat menghadapi bencana erupsi gunungapi yang sesungguhnya.
Ideologi Yang Sesuai
Pada contoh kasus diatas, bidang keilmuan pendidikan berperan mewujudkan cita-cita dan tujuan internalisasi konsep-konsep keilmuan geografi dalam pembelajaran. Ideologi pendidikan yang dirasa sesuai dalam mewujudkan tujuan tersebut adalah demokrasi dan progresif. Ideologi demokrasi pendidikan menekankan pada kesetaraan peserta didik dalam mengakses sumber-sumber belajar, menghidupkan dialog, serta memberikan bantuan kepada peserta didik dalam memahami tujuan dan mencapai sasaran.
Sedangkan pandangan progresivisme pendidikan menekankan pada kebebasan peserta didik baik secara fisik maupun cara berpikir untuk untuk mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam (Reese, 2001).
Hal tersebut berdasarkan anggapan bahwa sejatinya adalah manusia yang selalu berproses sehingga melalui pendidikan harapannya siswa dapat membangun secara mandiri pemahaman nya. Implementasi ideologi pendidikan dalam dalam pembelajaran konsep-konsep geografi dapat direalisasikan dalam kurikulum pendidikan. Pada bidang keilmuan geografi, pembelajaran dapat dilakukan melalui Project Based Learning (PJBL), Problem Based Learning (PBL), atau dengan memanfaatkan media-media yang dapat menunjang pemahaman-pemahaman terhadap keilmuan geografi.
Model yang Sesuai
Pembelajaran melalui project based learning (PJBL) atau pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang menuntut siswa untuk melakukan aktivitas memproduksi sesuatu atau project. Sedangkan problem based learning (PBL) atau pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran dengan memanfaatkan topik-topik permasalahan yang ada di lingkungan siswa (Sudarma, 2015). Kedua model pembelajaran tersebut dirasa paling sesuai untuk diterapkan dalam pembelajaran geografi dalam rangka membangun pemahaman siswa mengenai konsep-konsep keilmuan geografi.
Melalui pembelajaran berbasis proyek, maka diharapkan pemahaman siswa diharapkan akan terbangun sejalan dengan pengerjaan atau atau pelaksanaan proyek. Sedangkan melalui pembelajaran berbasis masalah, maka diharapkan siswa lebih mengenali kondisi lingkungan dan masalah-masalah yang ada di sekitarnya serta mampu menyelesaikannya sesuai dengan prinsip atau pendekatan keilmuan geografi.
Tentunya dalam pelaksanaannya pembelajaran dalam rangka internalisasi konsep-konsep keilmuan geografi juga penting untuk menggunakan alat pendukung. Atau dalam hal ini yang dimaksud adalah penggunaan media pembelajaran. Pembelajaran geografi dapat diimplementasikan dengan menggunakan media berupa gambar, video, animasi, atau peta. Penggunaan gambar, video, atau animasi berfungsi untuk membantu siswa dalam memahami konsep-konsep absolut pada keilmuan geografi yang tidak dapat didefinisikan seperti sungai, gunung, danau, dan sebagainya. Sedangkan penggunaan media peta berfungsi untuk memberikan gambaran secara spasial atau keruangan mengenai fenomena-fenomena geosfer yang menjadi objek utama pengkajian keilmuan geografi.
Penilaian Yang Sesuai
Pembelajaran geografi sangat menjunjung tinggi kontekstualitas. Hal ini dikarenakan objek material keilmuan geografi adalah lingkungan yang ada di sekitar yang dapat dilihat oleh peserta didik. Sehingga metode pembelajaran yang kontekstual dapat mendorong peserta didik memahami hakekat, makna dan manfaat belajar, sehingga meningkatkan motivasi belajar (Suparmini, 2008).
Hal tersebut akan berimplikasi pada proses penilaian yang dilakukan, apakah peserta didik benar-benar memahami hakikat keilmuan geografi, manfaat belajar geografi, yang mana hal tersebut dapat dilihat berdasarkan skor hasil belajar.
Objek material geografi, yakni fenomena fenomena permukaan bumi, sejatinya dapat ditemui setiap saat. Sehingga sejatinya pembelajaran geografi merupakan long-life learning atau pembelajaran sepanjang hayat.
Kurang bijak apabila kajian keilmuan geografi oleh siswa hanya siswa didasarkan skor ujian saja karena sejatinya apabila disadari sejatinya siswa belajar geografi setiap saat melalui pemahaman terhadap kondisi di lingkungan sekitarnya.
Penilaian yang lebih adil adalah dengan melaksanakan penilaian proses, yakni dengan merekam setiap tahapan capaian pemahaman siswa terhadap keilmuan geografi. Sehingga dalam hal ini didapatkan gambaran secara menyeluruh mengenai penguasaan konsep-konsep keilmuan geografi. Penilaian dapat dilaksanakan setiap saat saat untuk memberikan jaminan bahwa selain paham, siswa juga mampu menerapkan konsep-konsep keilmuan geografi dalam menyelesaikan permasalahan sehari-hari yang dihadapi.
PARADIGMA PENDIDIKAN GEOGRAFI
Paradigma dapat dikatakan sebagai kacamata atau cara pandang terhadap sesuatu. Perbedaan nya dengan ideologi yaitu, apabila ideologi menekankan pada gagasan konsep atau pemikiran dengan tendensi untuk mewujudkan gagasan konsep tersebut untuk tujuan tertentu, sedangkan paradigma merupakan lebih kepada acuan atau cara pandang tentang bagaimana menjalankan sesuatu agar suatu tujuan tertentu dapat diwujudkan (Diamastuti, 2015).
Kaitannya dengan ilmu pengetahuan yaitu, paradigma menuntun pencapain tujuan dan mewujudkan makna esensial dari ilmu pengetahuan tersebut. Tentunya cara pandang dalam menerapkan suatu tujuan ilmu pengetahuan dapat berbeda-beda.
Seperti hal nya bagaimana cara kita melihat 'Gunung', konsep 'Gunung' tetaplah pada realitas dan hakikat 'gunung' itu sendiri meskipun dilihat dari arah timur, barat, selatan, maupun utara. Gunung tetap pada eksistensi atau keberadaannya sebagai gunung, yaitu bagian tak terpisah dari fitur permukaan bumi. Hal ini berlaku juga dengan konsep-konsep pada bidang keilmuan bidang keilmuan lainnya. Bidang keilmuan seharusnya tidak bergeser dari esensi sesungguhnya dari bidang ilmu itu sendiri meskipun dilihat dari berbagai macam sudut pandang atau paradigma.
Pendidikan geografi terdiri dari dua fokus utama bidang keilmuan, yaitu keilmuan geografi dan keilmuan pendidikan. Oleh karena itulah mengapa, dalam perkembangannya pendidikan geografi mengalami perkembangan paradigma yang cukup kompleks, yang mana melibatkan dua rumpun ilmu yang sama-sama berkembang.
Paradigma tersebut dapat berupa paradigma keilmuan geografi (murni), serta paradigma pendidikan atau pengajaran. Untuk paradigma pendidikan atau pengajaran perkembangan, paradigma lebih berfokus kepada paradigma pendidikan atau pengajaran bidang studi geografi kaitannya dengan konsep-konsep keilmuan geografi yang harus dipahami dan dikuasai oleh siswa
. Paradigma keilmuan geografi dapat berupa paradigma eksplorasi, environmentalisme, regionalisme, dan spasial (Aliman, 2022). Sedangkan paradigma pendidikan atau pengajaran dapat berupa paradigma behavioristik, konstruktivistik, kognitivistik, dan sebagainya (Ertmer & Newby, 2013). Paradigma pendidikan tersebut dalam penerapannya dapat sesuai dengan bidang keilmuan yang dijadikan sebagai landasan pelaksanaan pendidikan itu sendiri, seperti hal nya 'paradigma pendidikan geografi'. Paradigma pendidikan geografi menekankan pada pandangan tentang pencapaian hasil belajar sesuai dengan konsep-konsep keilmuan geografi.
Konstruktivistik dalam Pendidikan Geografi
Paradigma konstruktivisme menganggap bahwa pembelajaran merupakan suatu proses yang aktif, kontekstual dan membangun. Peserta didik (learners) membangung sendiri pengetahuan dan pemahaman berdasarkan pengalaman dan hipotesis mereka terhadap lingkungan sekitar (Shah, 2019). Pengalaman-pengalaman yang dimiliki siswa merupakan pengetahuan dasar,yang mana dibawa ke dalam kelas untuk diuji coba dan dikonfirmasi kebenarannya oleh guru sebagai instruktur atau fasilitator dalam pembelajaran. Penerapan paradigma konstruktivistik seperti yang telah digambarkan berdasarkan konsep nya sangat relevan dengan prinsip-prinsip pengajaran pada bidang keilmuan geografi.
Objek material geografi merupakan fenomena geosfer, yang mana pada implementasinya di pendidikan dan pengajaran merupakan bagian dari sumber belajar siswa. Dalam hal ini, sumber belajar siswa sangatlah melimpah. Apa saja yang berada di lingkungan sekitar siswa dapat menjadi sumber belajar kontekstual untuk dibawa di dalam kelas.
Seperti pada saat siswa kehujanan ketika berangkat sekolah, kedinginan saat mendaki gunung, atau merasa air laut aman saat mandi di laut karena ombak yang tenang, semua pengalaman-penggalan tersebut merupakan pengalaman apriori yang dapat dikaji teori teori nya berdasarkan konsep-konsep keilmuan geografi.
Dalam pengajaran geografi berdasarkan pendekatan konstruktivistik, guru hanya dituntut mengarahkan peserta didik agar peka terhadap lingkungan nya. Dimana kepekaan inilah yang menjadi dasar peserta didik dalam mengenali fenomena-fenomena yang ada disekitarnya, untuk kemudian dikaji secara lebih lanjut pada pembelajaran di dalam kelas. Seperti pada ilustrasi antara guru dengan siswa berikut ini.

Guru : Apakah diantara kalian ada yang pernah mendaki gunung? Untuk camping atau hanya sekedar piknik
Murid : Saya, Pak.
Guru : Apa yang kamu rasakan ketika mendaki gunung? Bagaimana reaksi tubuh mu?
Murid 1 : Rasanya lebih dingin, telinga menjadi berdengung. Kenapa bisa begitu ya, Pak? Logika nya, ketika kita berada di posisi yang tinggi seharusnya kita lebih merasakan panas karena semakin dekat dengan matahari. Mengapa malah terasa dingin ketika naik ke gunung?
Guru : Nah, benar. Saya juga. Apakah kalian merasakan sebaliknya juga ketika sedang berwisata ke laut?
Murid 2 : Benar, Pak. Kalau begitu seharusnya di laut rasanya akan terasa lebih dingin, karena posisi kita berada di elevasi yang rendah karena dekat dengan laut. Tapi kenapa malah rasanya di laut tuh lebih panas ya?
Guru : Nah, itu semua karena ada kaitannya dengan hubungan tekanan udara dengan suhu udara menurut Hukum Gradien Termis. Untuk lebih lengkap nya, kalian bisa buka modul pada halaman 10 materi Atmosfer
Berdasarkan ilustrasi percakapan diatas, perlu dipahami bahwa siswa bukanlah sekadar gelas kosong. Berdasarkan pengalaman-pengalaman siswa yang terjadi diluar kelas, siswa dapat mengeksplorasi pengalaman-pengalaman mereka tersebut berdasarkan konsep konsep keilmuan. Dalam kasus diatas konsep keilmuan yang dimaksud adalah keilmuan geografi. Tugas guru adalah mengisi sisa kekosongan gelas yang telah terisi sebelumnya. Guru mengkonfirmasi pengalaman-pengalaman siswa tersebut. Merangkai nya dalam satu kesatuan pembelajaran yang tersistematis. Untuk kemudian dimaknai secara khusus dalam rangka pemberian pemberian penguatan, agar siswa merasa bahwa pengalaman-pengalaman yang dilalui siswa adalah pengalaman berharga yang dapat membawa mereka memahami dan memaknai konsep-konsep keilmuan yang sedang dipelajari.
Behavioristik dalam Pendidikan Geografi
Paradigma behavioristik menekankan pada perubahan tingkah laku. Tingkah laku muncul sebagai hasil dari pemberian stimulus, respon dan tindakan (Hardianto, 2022). Berdasarkan hal tersebut tingkah laku merupakan reaksi yang timbul dari adanya aksi. Kaitannya dengan pendidikan dan pengajaran, paradigma behavioristik menganggap bahwa pendidikan dan pembelajaran hendaknya dapat merubah tingkah laku peserta didik.
Dari yang sebelumnya tidak peduli, menjadi peduli. Dari yang sebelumnya tak acuh, menjadi berempati, dan sebagainya. Berdasarkan paradigma behavioristik, tidak ada yang dapat dilakukan hanya dari pikiran, dimana pikiran tidak dapat mendukung manusia untuk memperoleh pengetahuan (Faryadi, 2007). Penekanan tingkah laku yang terukur menjadi indikator yang penting dalam paradigma behavioristik.
Bahwa seharusnya pendidikan mampu merubah manusia untuk bertingkah laku sebagaimana etika-etika keilmuan. Berbeda dengan paradigma konstruktivistik, pada paradigma behavioristik guru memiliki peran yang lebih dominan dalam pendidikan. Menurut paradigma behavioristik guru berperan membangun lingkungan belajar, menyediakan sumber belajar, bahkan yang penting guru adalah pengubah perilaku (Faryadi, 2007). Perubahan perilaku yang dimaksud itu sendiri dapat dikaitkan dengan bidang studi keilmuan yang dipelajari siswa.
Pada bidang pendidikan geografi, pengajaran menurut paradigma geografi dapat perubahan perubahan tingkah laku menurut etika-etika keilmuan geografi. Etika keilmuan geografi dapat disesuaikan dengan paradigma nya seperti paradigma ekologi, paradigma regionalisme, atau paradigma spasial (Aliman, 2022). Sebagai contoh, dapat dilihat berdasarkan ilustrasi berikut ini.

Etika keilmuan geografi berkaitan dengan paradigma ekologi, yaitu menekankan pada bentuk interaksi antara manusia dengan lingkungan. Berdasarkan konteks, tersebut paradigma behavioristik mencoba untuk mempengaruhi pola interaksi antara manusia dengan lingkungan. Fakta bahwa terdapat perubahan tingkah laku selama menempuh pendidikan, maka perubahan tingkah laku tersebut dapat dikatakan sebagai capaian pembelajaran.
Gambar diatas merupakan contoh aktivitas membuang sampah di sungai. Aktivitas tersebut dirasakan tidak sesuai dengan paradigma ekologi dalam geografi, sehingga melalui pendidikan behavioristik diharapkan tingkat laku orang tersebut dapat berubah.
Pada pembelajaran geografi, guru menyajikan materi hingga sedemikian rupa menggunakan model dan metode yang telah ditentukan. Hasil nya dapat diamati melalui proses penilaian dan pengukuran. Sebagai contoh apabila diketahui siswa memiliki kecenderungan perilaku membuang sampah sembarangan, maka pendidikan geografi mencoba untuk merubah perilaku tersebut agar perilaku membuang sampah sembarangan tersebut dapat dikurangi.
Pada praktiknya dalam pembelajaran geografi juga banyak menekankan pada etika bertingkah laku. Hal ini dicerminkan berdasarkan paradigma keilmuan geografi, yaitu paradigma ekologi, yang mana fenomena-fenomena geosfer sebagai objek kajian yang selalu memiliki hubungan yang erat dengan aktivitas manusia. Oleh karena itu paradigma pendidikan behavioristik sangat sesuai apabila dapat diwujudkan dalam pendidikan geografi.
Objek kajian geografi cukup bervariasi, meliputi atmosfer, hidrosfer, biosfer, litosfer, dan antroposfer. Sehingga diharapkan dengan menerapkan pendidikan behavioristik dalam pembelajaran geografi, maka tingkah laku siswa peserta didik yang didasarkan pada etika lingkungan menurut paradigma keilmuan geografi dapat diterapkan dalam konteks yang lebih luas.
PRAKSIS GEOGRAFI DAN PENDIDIKAN GEOGRAFI
Ilmu pengetahuan muncul sebagai buah hasil pemikiran manusia. Manusia secara alami memikirkan bagaimana kondisi yang ada disekitarnya, sehingga gagasan atau ide hasil pemikiran manusia terhadap suatu realitas dapat memunculkan ilmu pengetahuan.
Sejatinya, ilmu pengetahuan muncul untuk membantu kehidupan manusia (Suaedi, 2016). Ketika manusia dihadapkan oleh permasalahan berkaitan dengan realitas sekitarnya, maka manusia akan secara naluriah berfikir untuk menyelesaikan permasalah tersebut.
Proses dan cara berpikir problem solving inilah yang menjadi semangat peradaban manusia untuk selalu terus mengembangkan cara berpikir dalam rangka memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Permasalahan yang semakin kompleks menuntut manusia untuk tidak pernah berhenti berpikir. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kompleksitas permasalahan kehidupan manusia akan sejalan dan membantu membawa ilmu pengetahuan untuk semakin berkembang baik secara konsep maupun implementasi nya.
Teknologi merupakan produk besar ilmu pengetahuan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa filsafat memiliki peranan penting dalam kemajuan teknologi. Melalui filsafat, muncul pemikiran-pemikiran revolusioner, melalui pemikiran tersebut maka akan muncul ilmu pengetahuan.
Dan dengan adanya ilmu pengetahuan maka muncul teknologi. Pemanfaatan teknologi telah banyak membantu perkembangan peradaban manusia dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi (Suaedi, 2016).
Sebagai contoh 'kapak batu' yang banyak digunakan oleh manusia pada masa praaksara. Kapak batu merupakan bentuk dari teknologi yang membantu pekerjaan dan menyelesaikan masalah pekerjaan manusia pada saat itu, seperti memotong bahan-bahan makanan, menebang pohon, dan sebagainya.
Dengan semakin berkembang nya ilmu pengetahuan, maka ditemukan bahan-bahan lain yang dapat digunakan untuk membuat kapak, sehingga penggunaan kapak pada saat ini menjadi lebih maksimal. Hal tersebut juga berlaku untuk jenis-jenis teknologi yang lainnya, seperti teknologi transportasi untuk membantu perjalanan manusia dari satu tempat ke tempat lain, teknologi komunikasi untuk membantu manusia melakukan interaksi, dan sebagainya.

Praksis Bidang Keilmuan Geografi
Merencanakan tata guna lahan, ilmu geografi mendukung usaha perencanaan tata guna lahan. Tujuannya agar tanah atau lahan-lahan di bumi dapat digunakan sebagaimana peruntukannya sehingga mendukung kehidupan manusia
Menyusun rencana pengurangan risiko bencana, dengan ilmu geografi dapat merencanakan upaya pengurangan risiko bencana, dengan mengidentifikasi kondisi ancaman bencana, kondisi kerentanan, dan kondisi kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana
Pemodelan kejadian bencana, dengan ilmu geografi dapat dilakukan pemodelan kejadian bencana yaitu memprediksi ancaman-ancaman yang mungkin terjadi dan dampak nya terhadap manusia
Pemodelan pembangunan berkelanjutan, dengan ilmu geografi dapat mendukung strategi pembangunan berkelanjutan. Yaitu dengan merumuskan mekanisme pembangunan dengan prinsip yang bijak agar pembangunan dapat dilaksanakan secara terus menerus dari generasi ke generasi
Pengelolaan sumberdaya alam dan potensi wilayah, melalui ilmu geografi dapat dilakukan identifikasi sumberdaya alam dan potensi wilayah. Yaitu dengan upaya eksplorasi dan eksploitasi, serta pemanfaatan yang bijak agar sumberdaya alam dan potensi wilayah dapat mendukung penghidupan manusia
Penguatan etika lingkungan melalui pembelajaran, berdasarkan ilmu geografi dapat ditanamkan konsep-konsep keilmuan geografi, terutama terkait etika lingkungan, melalui proses pembelajaran. Etika lingkungan terutama dalam konteks 'menjaga kelestarian lingkungan dan bumi' perlu ditanamkan sedini mungkin sehingga manusia tumbuh menjadi generasi yang menjaga lingkungan dan bumi nya. Harapan nya agar bumi tetap lestari sehingga layak secara berkelanjutan untuk mendukung kehidupan manusia.
Model-model Bidang Keilmuan Geografi
Geografi Fisik, yaitu cabang ilmu geografi yang secara spesifik mengkaji tentang fitur atau bentuk fisik permukaan bumi, seperti gunung, danau, laut, bukit, dan sebagainya. Kajian mengenai geografi fisik dilakukan dengan bantuan ilmu-ilmu bantu seperti; klimatologi atau ilmu yang mempelajari iklim, geologi atau ilmu yang mempelajari batuan, geomorfologi atau ilmu yang mempelajari bentuk lahan, hidrologi atau ilmu yang mempelajari perairan, dan sebagainya.
Geografi Sosial,yaitu cabang ilmu geografi yang secara spesifik mengkaji tentang kondisi sosial atau manusia dengan bumi sebagai ruang. Bidang kajian geografi sosial juga dikelompokkan sesuai dengan jenis-jenis aktivitas manusia itu sendiri. Seperti bidang kajian geografi sosial yang fokus pada aktivitas ekonomi manusia maka dilakukan melalui Geografi Ekonomi. Kajian geografi sosial yang fokus mengenai aktivitas pariwisata maka dilakukan melalui Geografi Pariwisata. Kemudian, Geografi yang mempelajari tentang hubungan antara negara dipelajari dalam Geografi Politik serta Geografi Regional Dunia, dan sebagainya.
Geografi Teknik, yaitu cabang ilmu geografi yang menekankan pada aspek-aspek teknis seperti analisis data spasial dan visualisasi data spasial dalam berbagai bentuk seperti peta, citra, diagram, dan lain-lain. Ilmu bantu yang mendukung kajian geografi teknik diantaranya Kartografi atau ilmu tentang peta, Sistem Informasi Geografi atau ilmu yang mempelajari data-data spasial, dan Penginderaan Jauh atau ilmu yang mempelajari sumber-sumber data spasial (vektor atau raster).
PENUTUP
Pemikiran manusia sangatlah kompleks. Melalui pemikiran-pemikiran manusia, baik manusia pada saat ini maupun manusia pada masa lampau, dapat dihasilkan disiplin ilmu yang menyelesaikan permasalahan manusia setiap hari. Berbagai macam ilmu pengetahuan tersebut, tak lain pasti memiliki bidang kajian nya masing-masing. Hal tersebutlah yang membedakan masing-masing ilmu pengetahuan.
Filsafat ilmu pengetahuan mencoba untuk menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari ilmu pengetahuan. Adapun tinjauan filsafat mengenai ilmu pengetahuan dapat dilihat berdasarkan epistemologi, ontologis, dan aksiologis nya.
Epistemologis menekankan pada bagaimana suatu ilmu pengetahuan diperoleh, seperti bagaimana cara memperoleh suatu pengetahuan, bagaimana metode nya, serta apa dasar konstruksi elemen-elemen yang mewujudkan pengetahuan tersebut. Ontologis menekankan pada pencarian objek-objek kajian dari masing-masing bidang ilmu.
Secara spesifik, ontologis mengkaji mengenai 'sesuatu yang ada' sehingga tinjauan ontologis terhadap ilmu pengetahuan akan mencoba menyelidiki 'apa' yang dikaji dalam suatu bidang keilmuan. Terakhir yaitu aksiologi, dimana tinjauan ontologis didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dari suatu ilmu pengetahuan tersebut, seperti mengapa ilmu pengetahuan tersebut, dan bagaimana etika dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sejatinya muncul demi membantu kehidupan manusia, sehingga tinjauan aksiologis akan mengkaji seberapa jauh kebermanfaatan suatu ilmu pengetahuan serta tidak melenceng dari tujuan awal bagaimana ilmu pengetahuan tersebut dirumuskan.
Tinjauan filsafat mengenai ilmu pengetahuan mencoba untuk menyelidiki sedalam dalam nya tentang ilmu pengetahuan. Selain daripada hanya sekedar untuk memahami atau mengenali konsep-konsep keilmuan, tinjauan filsafat juga memberikan gambaran mengenai bagaimana praksis ilmu pengetahuan tersebut dalam menunjang segala bentuk aktivitas atau kehidupan manusia.
Seperti hal ilmu geografi dan pendidikan geografi. Tinjauan filsafat mengenai ilmu geografi dan pendidikan geografi bermanfaat untuk menggali sedalam-dalam nya terkait ilmu geografi dan pendidikan geografi. Hal ini bermanfaat untuk semakin memperdalam konsep dan bidang keilmuan geografi sehingga dalam pengaplikasin nya dalam realitas kehidupan menjadi semakin maksimal.
Penelusuran tentang ideologi serta paradigma keilmuan akan membawa pada keterbaruan (novelty) ilmu pengetahuan, bagaimana ilmu pengetahuan tersebut dapat berkembang sehingga dapat melayani dan menyelesaikan permasalahan manusia yang semakin kompleks hari demi hari. Ideologi ilmu pengetahuan dibangun berdasarkan landasan ilmu epistemologis, ontologis, dan aksiologis,. Sedangkan paradigma ilmu pengetahuan dibangun berdasarkan landasan nilai sosial sehingga menunjang kebermanfaatan keilmuan untuk mendukung kehidupan manusia.
Ilmu pengetahuan hendaknya dibangun berdasarkan kajian filsafat yang ekstensif dan intensif. Intensif maksudnya adalah dalam sedalam-dalamnya sampai tidak ada yang lebih dalam. Ekstensif artinya luas seluas-luasnya (Marsigit, 2013).
Seperti hal nya dalam mengkaji keilmuan geografi dan pendidikan geografi. Dalam hal ini konsep-konsep keilmuan geografi harus dikaji secara tuntas, sedalam-dalam nya, dan seluas-luas nya. Hal ini mendorong agar kajian keilmuan geografi lebih jelas dan komprehensif dan dapat menunjukkan kebermanfaatan.
Problematika yang terjadi terkait ilmu geografi dan pembelajaran geografi, menunjukkan bahwa kemungkinan kajian mengenai geografi belum dibahas secara tuntas oleh praktisi-praktisi dan ahli-ahli geografi. Banyak guru yang masih salah memahami konsep-konsep keilmuan geografi sehingga hal ini akan berdampak pula pada kesalahan siswa dalam mempelajari konsep-konsep keilmuan geografi (Purwanto, 2010). Para ahli juga memiliki definisi konsep yang cukup kompleks mengikuti sifat dasar keilmuan geografi. Ketika hal tersebut sampai pada tahap praktis dan penerapan bidang keilmuan, maka geografi tidak dapat menunjukkan ciri khas nya sebagai bidang keilmuan khusus sehingga dapat mengancam eksistensi keilmuan geografi, karena dianggap geografi tidak memiliki kebermanfaatan yang jelas dalam kehidupan manusia.
DAFTAR RUJUKAN
Aliman, M. (2022). Tantangan Filsafat Ilmu dalam Perkembangan Geografi (Pada Aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi). Retrieved from https://www.academia.edu/34017808/Tantangan_filsafat_ilmu_dalam_perkembangan_geografi_pada_pptx?source=swp_share
Bakhtiar, A. (2012). Filsafat Ilmu. PT. Raja Grafindo Persada.
Buckingham, W. (2011). The Philosophy Book. In The philosophy book. Retrieved from http://books.google.co.jp/books?id=nfDnngEACAAJ&dq=intitle:philosophy+inpublisher:DK+books&hl=&cd=6&source=gbs_api%5Cnpapers3://publication/uuid/9FE45B65-570E-4906-B5D9-00733D79E3B2
Chinn, P., & Kramer, M. (1999). Theory and Nursing: A Systematic Approach. 5th Edition. Mosby Publishing.
Cole, N. L. (2019). Theories of Ideology: The Concept and Its Relationship to Marxist Theory. Retrieved November 27, 2022, from https://www.thoughtco.com/ideology-definition-3026356#:~:text=Updated on July 03%2C 2019,within groups%2C and between people
Dewantara, A. (2017). Filsafat Moral: Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia. Yogyakarta: PT KANISIUS. https://doi.org/10.31227/osf.io/5cmby
Diamastuti, E. (2015). Paradigma Ilmu Pengetahuan Sebuah Telaah Kritis. Jurnal Akuntansi Universitas Jember, 10(1), 61. https://doi.org/10.19184/jauj.v10i1.1246
Ejnavarzala, H. (2019). Epistemology--Ontology Relations in Social Research: A Review. Sociological Bulletin, 68(1), 94--104. https://doi.org/10.1177/0038022918819369
Ertmer, P. A., & Newby, T. J. (2013). Behaviorism, cognitivism, constructivism: Comparing critical features from an instructional design perspective. Performance Improvement Quarterly, 26(2), 43--71. https://doi.org/10.1002/piq.21143
Faryadi, Q. (2007). Behaviorism and the Construction of Knowledge. (UiTM Malaysia). UiTM Malaysia. Retrieved from https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED495301.pdf
Guarino, N., & Oberle, D. (2009). What Is an Ontology? In Handbook on Ontologies (pp. 1--17). https://doi.org/10.1007/978-3-540-92673-3
Hardianto, D. (2022). Paradigma Teori Behavioristik dalam Pengembangan Multimedia Pembelajaran. Retrieved from https://journal.uny.ac.id/index.php/mip/article/viewFile/2807/2333
KokBisa Youtube. (2019). FILSAFAT: Sebuah Ilmu Yang Melahirkan Ilmu. Indonesia. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=oWnwhCDzv7E
Marsigit. (2013). Pergulatan memperebutkan filsafat, ideologi dan paradigma: Seminar Dan Workshop Dengan Tema Membangun Karakter Bangsa Dengan Pendidikan Melalui Kurikulum 2013 Yang Diselenggarakan Oleh Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, Universitas Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, pp. 1--30.
Moon, K., & Blackman, D. (2014). A Guide to Understanding Social Science Research for Natural Scientists. Conservation Biology, 28(5), 1167--1177. https://doi.org/10.1111/cobi.12326
Ngafifi, M. (2014). Kemajuan Teknologi Dan Pola Hidup Manusia Dalam Perspektif Sosial Budaya. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi Dan Aplikasi, 2(1), 33--47. https://doi.org/10.21831/jppfa.v2i1.2616
Oneil, W. F. (1981). Educational Ideologies: Contemporary Expression of Educational Philosophies. California, USA: Goodyear Publishing Company.
Pitoyo, D. (2006). Manusia Bijaksana Menurut Taoisme. Jurnal Filsafat, 16(3), 250--276.
Pramumijoyo, S., Rifa'i, A., Siswosukarto, S., & Suryaningsih, H. (2009). Membangun Kembali Prambanan. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Y Ogyakarta, 133.
Purwanto, E. (2010). Problematika Pembelajaran Geografi. Malang. Retrieved from https://www.academia.edu/11351678/Problematika_Pembelajaran_Geografi_Prof_Dr_Edy_Purwanto_M_Pd
Reese, W. J. (2001). The Origins of Progressive Education. In History of Education Quarterly (Vol. 41, pp. 1--24). https://doi.org/10.1111/j.1748-5959.2001.tb00072.x
Rescher, N. (2013). Epistemology: An Introduction to the Theory of Knowledge (G. R. Lucas, Ed.). Albany: State University of New York Press. Retrieved from https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results
Rini, Y. S. (2013). Pendidikan: Hakekat, Tujuan, dan Proses. In SEMBADA: Jurnal Kebudayaan Kabupaten Sleman (pp. 31--39). Yogyakarta. Retrieved from http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dra. Yuli Sectio Rini, M.Hum./PENDIDIKAN HAKEKAT, TUJUAN, DAN PROSES Makalah.pdf
Shah, R. K. (2019). Effective Constructivist Teaching Learning in the Classroom. Shanlax International Journal of Education, 7(4), 1--13. https://doi.org/10.34293/education.v7i4.600
Suaedi. (2016). Pengantar Filsafat Ilm.
Sudarma, M. (2015). Model-model Pembelajaran Geografi (1st ed.). Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Suharsono, & Budi, T. P. (2016). Penajaman Dan Kejelasan Objek Kajian Dalam Disiplin Ilmu Geografi. Majalah Geografi Indonesia, 20(2), 187--201.
Suparmini, S. (2008). Metode Pembelajaran Geografi. Geomedia: Majalah Ilmiah Dan Informasi Kegeografian, 6(2). https://doi.org/10.21831/gm.v6i2.15387
Sya'roni, M. (2016). Etika Keilmuan: Sebuah Kajian Filsafat Ilmu. Jurnal THEOLOGIA, 25(1), 245--270. https://doi.org/10.21580/teo.2014.25.1.346
Widisuseno, I. (2017). Dialog Ilmu Dan Ideologi: Pencarian Titik Temu Ilmu dan Ideologi. HUMANIKA, 24(1). https://doi.org/https://doi.org/10.14710/parole.v%vi%i.17362
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI