Cobalah anda sesekali lakukan survey kecil-kecilan di desa-desa tetangga anda terkait bagaimana kondisi sosial yang terjadi hari ini. Hampir pasti yang akan anda temukan adalah keluhan, baik cerita tentang pemuda atau remaja masjidnya. Karena yang tren saat ini mereka sibuk dengan dunianya sendiri-sendiri di media sosial (facebook, youtube, instagram), game online, hura-hura dan lain sebagainya, sehingga untuk mempersatukan mereka sungguh sangat sulit. Keluhan Ini terjadi di hampir semua desa dan dusun, seperti wabah penyakit yang pelan-pelan membunuh, ironisnya tidak ada orang yang gelisah.
Belum lagi kita membahas tentang kemajuan teknologi di era revolusi industri 4.0. Manusia dimanjakan dengan kecerdasan buatan (artifisial intelegence) segala alat-alat elektronik dapat terhubung dengan internet dan berada dalam satu genggaman. Akibatnya mereka hampir tidak pernah terlintas untuk memikirkan masa depannya sendiri maupun masa depan orang tuanya, apalagi memikirkan masa depan desanya. Yang terlintas adalah apa status hari ini.
Pun demikian halnya dengan kaum tuanya dengan beragam cerita mulai dari benih ketidak percayaan (political efect), saling curiga, tidak memiliki keperdulian sosial dan ketiadaan rasa memiliki  (sense of belonging) tercermin dari ketidak-aktifan mereka ketika musyawarah yang tidak pernah mencapai kesepakatan bersama bahkan banyak yang walk out. Cerita yang terkait keperdulian mereka terhadap generasi muda adalah sebagian orang tua yang berpendidikan biasanya mengkrangkeng anaknya/remaja, membatasi pergaulannya, melarangnya ikut organisasi remaja masjid atau karang taruna, menentukan masa depannya (dengan belajar-belajar dan belajar) hingga berakibat kurang pergaulan, individulistis dan asing di kampung halamannya sendiri serta sulit bersosialisasi ketika dewasa. Sebagiannya lagi ada orang tua yang melepas anaknya/remaja tanpa kontrol sama sekali sehingga berakibat kepada pergaulan bebas, narkoba, pernikahan dini dan berbagai macam penyimpangan lainnya.
Dalam sekup desa, ini adalah problem bersama. Overlaping sebagaimana cerita di atas hanya bisa terjadi karena lingkungan sosial yang sudah benar-benar rusak. Seiring perkembangan zaman yang kian membuat manusia semakin individualistis maka penting untuk kembali mengingat-ngingat bagaimana persatuan dan kesatuan orang tua kita zaman dahulu menyelesaikan problem bersama, bagaimana cara mereka bertetangga, bagaimana para orang tua menasehati yang muda dan kaum muda pun menghormati dan mengikuti arahan orang tua.
Indonesia secara umum dan Desa secara khusus di Tahun 2020 hingga Tahun 2035 akan mengalami bonus demografi dan puncaknya terjadi di Tahun 2030 nanti. Bonus demografi adalah bonus jumlah usia produktif (usia 15-64 tahun) akan lebih banyak dari pada usia tidak produktif (di bawah umur 14 dan di atas umur 65 tahun). Pertanyaanya siapa yang paling berperan mengendalikan negeri dan desa kita di tahun 2030 kelak? Jawabannya adalah anak-anak dan remaja kita yang saat ini berumur belasan (teens).
Karena jumlah umur produktif lebih banyak maka bagaimana desa memanfaatkannya untuk membangun, jika tidak maka mereka bukan akan menjadi solusi, tapi mereka akan menjadi bagian dari masalah untuk Desa dan untuk Negeri tercinta kita. Problemnya bermacam-macam mulai dari kurangnya lapangan kerja, tidak punya skill, kualifikasi pendidikan yang rendah, kesehatan, hidup psimis  dan lain sebagainya.
Jika membangun fisik seperti masjid, jembatan, rabat jalan, irigasi dan lainnya kita punya sketsa gambar yang bisa diikuti, berapa biayanya dan kapan selesainya bisa kita prediksi. Tapi bagaimana membangun generasi kita seolah tidak punya gambaran. Padahal semangat membangun masjid di masyarakat desa bisa kita adopsi ke bagaimana membangun generasi. Belum pernah kita mendengar musyawarah di tingkat desa dan dusun membahas bagaimana masa depan manusia desa, mau dibawa ke mana generasinya.
Pada zaman Nabi dan sahabat di Madinah segala masalah selalu diselesaikan oleh Nabi, ketika Nabi wafat ada sahabat tempat bertumpu segala solusi dengan meniru cara Nabi. Namun setelah Nabi dan sahabat serta tabiq ta biin wafat hingga hari ini 1400 tahun kita kehilangan akses, sketsa gambar sebagaimana di atas.
Padahal kita diwariskan sketsa gambar masyarakat yang ideal, yang menjadi rujukan kita selaku umatnya. Jika menyangkut akidah dan amalan mereka bisa mengakses al-quran dan hadist. Jika belum ketemu solusi maka dengan instrumen "musyawarah"lah segalanya diawali termasuk proyek bagaimana membangun manusia desa.
Hari ini ibarat kita bersama-sama berada di atas kapal yang sedang bocor di tengah laut, menuju pelabuhan yang bernama "masa depan". Semua bersuka ria, sibuk dengan dunianya masing-masing. Jika tidak ada yang bersedia menembel (menutup kebocoran tersebut) maka semua kita akan tenggelam bersama-sama dan desa kita akan punah serta binasa ditelan perubahan. Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya mengundang anda untuk gelisahgelisah membangun desa dengan sekolah perjumpaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H