Modus politik! Dua kata ini sungguh mengganggu benak saya akhir-akhir ini. Rasa itu makin ke sini bukannya menciut, tapi justeru kian bergejolak, membuncah, dan melahirkan sebentuk kegelisahaan. Saya ingin sedikit melepas energi negatif kegelisahan itu dengan mengubahnya menjadi serangkaian kata-kata curahan hati.
Izinkan saya mengawali curhat ini dengan sebuah pertanyaan kepada warga Solo, warga DKI Jakarta, dan juga kepada anda yang non-warga kedua kota tersebut. Pertanyaannya sebetulnya sangat mendasar dan sederhana. Jawabannya pun mungkin sederhana juga, tapi implikasinya saya pastikan tidak sesederhana yang anda bayangkan.
Bagi warga Solo yang dulu sepenuh hati memilih dan menitip amanah kepada pasangan Jokowi-Rudi sebagai pemimpin, pertanyaannya adalah: “Seandainya dulu yang maju itu bukan pasangan Jokowi-Rudi, tetapi Rudi-Jokowi, apakah anda akan tetap memilihnya?” Pertanyaan senada saya lontarkan juga kepada warga DKI Jakarta. “Seandainya dulu yang disodorkan ke anda itu pasangan Ahok-Jokowi, bukan Jokowi-Ahok, apakah anda akan tetap memilihnya juga?”
Jika anda bukan warga Solo maupun Jakarta, anda dapat mengajukan pertanyaan serupa, dengan sedikit modifikasi. Yang perlu anda lakukan sederhana saja: ganti kedua pasangan itu dengan pasangan pemimpin petahana di daerah anda masing-masing, lalu putarbalik susunan pasangannya (orang nomor 2 jadi nomor 1). Gampang, bukan?
Sebelum anda lanjutkan membaca, tolong pastikan dulu bahwa anda sudah menjawab pertanyaan di atas. Jawablah dengan jujur, sejujur-jujurnya. Dengarkan suarahati anda! Sudah?
Baiklah. Meski bukan paranormal, rasa-rasanya saya bisa menebak kemungkinan jawaban anda. Bila disimpulkan, secara umum anda akan memberikan salah satu dari ketiga opsi jawaban berikut ini: “Ya, saya akan tetap memilihnya.” Atau, “Tidak, pasti saya tidak akan memilihnya.” Atau jawaban mengambang, “Saya tidak tahu (pikir-pikir dulu).”
Menurut anda, kira-kira jawaban mana yang paling banyak jumlahnya. Opsi 1, 2, atau 3? Saya tahu jawaban anda bisa benar, bisa juga salah. Sebagaimana saya juga tahu bahwa jawaban saya juga bisa salah atau benar. Jangankan jawaban anda dan jawaban saya, hasil lembaga survei saja tidak jarang salah atau sengaja dibuat salah demi maksud-maksud tertentu. Yang ingin saya kemukakan sebetulnya adalah ini: jika ingin mendapatkan jawaban yang sebenarnya terhadap pertanyaan di atas, tidak ada mekanisme lain kecuali bertanya langsung kepada semua pemilih yang dulu memberikan suaranya kepada pasangan itu.
Masalahnya, kita tidak akan pernah tahu jawaban yang sebenarnya itu sebab rakyat yang dulu memberi suara dan amanahnya tidak pernah ditanya (lagi). Yang pasti, di Solo kini Rudi sudah menjadi orang nomor 1. Pasangan awal Jokowi-Rudi telah berubah di tengah jalan menjadi Rudi-mister X. Ironisnya, rakyat Solo sama sekali tak pernah ditanya apakah setuju atau tidak dengan pasangan baru itu. Rakyat hanya di-fait accompli, disuruh menerima apa adanya tanpa diberi kesempatan untuk menyuarakan keberatan, protes, kejengkelan, atau sikap semacamnya. Sebab, katanya itu ketentuan undang-undang, kitab suci negara. Ibaratnya, ketika bangun dari tidur rakyat Solo langsung disuguhi kenyataan bahwa pemimpin mereka sudah berganti, dan mereka harus menerima apa adanya, atau balik lagi ke dalam buaian mimpi. Sungguh tidak adil. Ini pembohongan publik yang berlindung di balik kepongahan aturan. Modus!
Skenario yang sama bisa jadi akan terulang kembali di DKI Jakarta. Benihnya sudah terkuak. Baru-baru ini Jokowi telah dinobatkan menjadi capres salah satu parpol dan dia menyatakan bersedia.
Seadainya Jokowi benar-benar terpilih menjadi Presiden 2014-2019, maka suka tidak suka, percaya tidak percaya, semua warga DKI harus menerima Ahok sebagai gubernur tanpa ada mekanisme hukum positif untuk menolaknya. Warga DKI juga harus menerima siapa pun wakil gubernurnya nanti. Boleh protes, boleh demo, ini negara demokratis koq. Yang penting demonya tertib, damai dan tidak anarkis, dan itu hanya sebatas unjuk rasa biasa yang tidak bakal mengubah apapun. Sebab, katanya semuanya sudah sesuai aturan undang-undang, kitab suci negara. Lagi-lagi, sungguh tidak adil buat rakyat. Ini wujud pembohongan publik yang bersembunyi di balik kebisuan dan dinginnya aturan. Modus lagi!
Satu lagi yang masih mengganjal di benak saya. Waktu kampanye dulu Jokowi menebar setumpuk janji kepada warga. Makanya rakyat memilihnya dengan segunung asa bahwa janji itu bakal diwujudkan dan dituntaskan sebagaimana mestinya. Namun, apa lacur, sebelum benar-benar menuntaskan janji dan sumpahnya Jokowi berhenti. Ya….berhenti begitu saja, tanpa kulo nuwon, tanpa permisi, tanpa kata maaf, dan –yang paling penting- tanpa persetujuan rakyat yang memberi amanah kepadanya.
Padahal, untuk daerah yang ditinggalkan tidak ada sesuatu yang luar biasa yang diwariskan.Jika menggunakan indeks pembangunan misalnya, harus jujur dikatakan bahwa prestasi Jokowi di Solo itu tergolong biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Rakyat Solo sama sekali masih jauh dari kategori makmur dan maju. Bahkan, katanya tingkat pengangguran dan kemiskinan di sana masih relatif tinggi.
Nah…apalagi di Jakarta: untuk tidak mengatakan tambah parah, ya…tetap saja banjir, macet, dan kumuh sebagaimana sebelumnya. Memang masa pemerintahannya belum genap 1,5 tahun di Jakarta dan perubahan itu perlu waktu dan proses. Betul sekali. Namun, menjadi kontradiktif manakala Jokowi beralibi dengan keterbatasan waktu sementara pada saat yang sama secara sadar dia bersiap-siaga untuk meninggalkan tugas, tanggung jawab dan amanahnya sebagai Gubernur Jakarta, dengan melupakan janji kampanye dan janji/sumpah saat pelantikan yang diikrarkan di bawah kitab suci dan didengar oleh Tuhan tentunya.
Seadainya Jokowi berhenti di tengah jalan dan digantikan oleh wakilnya setelah menjadikan warganya makmur dan kotanya maju, mungkin rakyat lebih bisa menerimanya. Atau sebaliknya, seandainya Jokowi berhenti karena berhalangan sementara atau tetap (misalnya maaf-maaf, karena sakit berat, wafat atau melakukan tindakan yang melanggar hukum), mungkin rakyat lebih ridho jika wakilnya kemudian mengambilalih kursi nomor satu, seperti kasus Rano Karno di Banten misalnya. Faktanya, apa yang dilakukan Jokowi saat ini berbeda jauh dari semua itu.
Menutup curhatini, saya ingin membuatnya jadi lebih sederhana. Jika ada orang yang berjanji kepada anda, dan belakangan dia gagal menepati janji itu, entah sebagian atau seluruhnya, maka orang itu anda sebut apa? Kemudian, jika ada orang yang jungkir balik berusaha meminta suara dan dukungan anda, dan anda memberikan dukungan dan menitipkan amanah anda kepadanya, tetapi belakangan di tengah jalan orang itu ternyata tidak memegang amanah itu baik sebagian maupun seluruhnya, anda akan menyebut orang itu sebagai apa? Setelah semua kejadian itu, orang itu lantas datang lagi kepada anda, meminta dukungan anda dan berjanji lagi, apakah anda masih bisa mempercayainya? Jujurlah.
Saya merasa pertanyaan dan logika ini amat sangat sederhana. Hanya saja, bombardir media dari segala penjuru selama ini seperti telah mematikan akal sehat kita, menumpulkan matabatin kita, dan lalu tiba-tiba pandangan kita sebagai sebuah bangsa jadi begitu kabur dan tak bisa lagi secara jernih melihat mana yang salah dan mana yang benar.
Anehnya, tidak ada yang mengkritisi. Lebih tepatnya, saya tidak tahu ada yang melakukannya dan dimuat di media mainstream. Hmm…padahal jika tidak diluruskan, saya amat khawatir nilai-nilai, sikap dan perilaku ini secara perlahan-lahan tapi pasti akan tertanam dalam ketidaksadaran kolektif kita sebagai bangsa. Akibatnya apa? Perilaku politik yang tidak menepati janji dan khianat ini akan menjadi sesuatu yang lazim. Bahkan, bisa jadi akan ditiru dan dipraktekkan dalam semua aspek kehidupan kita sehari-hari, oleh banyak orang, bahkan oleh anak SD juga. Sebab, toh pemimpinnya sendiri telah mencontohkan secara vulgar, gamblang dan terang-benderang, dan rakyat membiarkannnya saja. Wallahualam…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H