Ini fakta! Jokowi effects ternyata tidak ngefek dalam Pemilu Legislatif 2014 yang baru saja berlalu. Hasil quick count mengungkapkan perolehan suara PDIP 'hanya' sekitar 19%, jauh di bawah target. Hasil ini tentu amat berbanding terbalik dengan apa yang selama ini secara masif dan hiperbolik digembar-gemborkan oleh media kapitalis, pengamat, akademisi dan berbagai lembaga survei 'panggilan'.
Sebagaimana ramai diberitakan sebelumnya dan juga selalu diulang-ulang dalam setiap perhelatan kampanye PDIP, Mega mengingatkan simpatisannya bahwa Jokowi akan secara resmi dicapreskan jikalau partai berlambang banteng itu sukses meraup suara minimal 25%. Jokowi pun dalam pemilu kemarin telah ‘dilempar’ sebagai umpan untuk mengumpulkan suara, sekaligus untuk mengetes respons rakyat. Namun, hasilnya ternyata jauh dari harapan. Apakah dengan fakta seperti ini Mega dan PDIP akan tetap mengusung Jokowi sebagai capres definitif?
Saya tidak akan terkejut jika pada akhirnya nanti Mega berubah pikiran dan membatalkan wacana pencapresan Jokowi. Puteri sang proklamator itu bisa saja menyodorkan opsi lain yang lebih baik demi kepentingan bangsa dan negara berdaulat, misalnya duet Mega-Jokowi. Perubahan ini bukan sesuatu yang mustahil, sebab pencalonan Jokowi itu memang belum harga mati dan masih dapat berubah sewaktu-waktu tergantung perkembangan.
Dengan kata lain, adalah sangat gampang dan masuk akal buat Mega dan PDIP untuk tidak melanjutkan pencapresan Jokowi. Alasannya setidaknya ada tiga butir.
Pertama, persyaratan utama untuk pencapresan Jokowi -yaitu perolehan suara PDIP minimal 25%- tidak terpenuhi, meskipun Mega telah berbesar hati menuruti apa yang dikesankan sebagai ‘kehendak rakyat’ yaitu mencalonkan Jokowi sebagai bakal capres. Faktanya, faktor Jokowi itu gagal memberikan dampak signifikan terhadap perolehan suara PDIP sebagaimana yang diharapkan dan dipersepsikan.
Kedua, setidaknya sejauh yang saya tahu, tidak ada aturan, kesepakatan, janji atau sumpah yang dilanggar oleh Mega jika membatalkan pencapresan Jokowi itu. Dalam kampanye, Mega juga sudah mempermaklumkan kepada simpatisannya soal persyaratan 25% itu. Kalau pun ada janji internal yang tidak kita tahu, tentu itu bukan sesuatu yang serius. Toh, janji kampanye Jokowi kepada rakyat Solo dan rakyat Jakarta, dan janji serta sumpah kepada Tuhan di bawah kitab suci saja tidak bermakna apa-apa dan diingkari tanpa perasaan bersalah dan berdosa sedikitpun. Begitu pula halnya dengan Perjanjian Batutulis yang ditandatangani di atas materai oleh Mega dan Prabowo, dianggap tidak lebih dari sekadar pepesan kosong.
Terakhir, hasrat politik Mega untuk menjadi presiden masih menyala-nyala. Berdasarkan hasil survey, Mega juga selalu masuk tiga besar dan masih diinginkan oleh rakyat untuk memimpin negeri ini. Berpasangan dengan Jokowi, yang konon diidam-idamkan oleh rakyat itu, tentu Mega punya kans besar untuk menang 1 putaran dan terpilih sebagai presiden untuk kedua kalinya.
Bagaimana akhirnya, apakah Jokowi tetap diusung atau justru muncul duet Mega-Jokowi? Kita tunggu saja. Yang jelas, dengan perolehan suara yang relatif menyebar ini, mau tidak mau, suka tidak suka akan terjadi lagi politik dagang sapi di antara partai-partai dan tokoh-tokoh politik. Dengan begitu, banyak kemungkinan bisa terjadi. Boleh jadi, itu adalah sesuatu yang mungkin sama sekali tak terpikirkan sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H