[caption id="attachment_327031" align="aligncenter" width="300" caption="Cover buku goresan tangan putra Flores "Bung Sila" atau Bung Liberius Langsinus yang mengelilingi 33 propinsi demi misi Pancasila Sakti. buku ini merupakan rekaman perjalanan beliau selama mengunjungi 33 propinsi tersebut. (foto : dok pribadi)"]
[/caption]
Ende, Flores NTT, merupakan cikal bakal permenungan lahirnya Pancasila oleh Bung Karno ketika beliau di buang oleh Belanda tahun 1934-1938. Maka tidaklah terlalu berlebihan apabila Ende ditempatkan sebagai titik nol kilometer lahirnya Pancasila. Demikian disampaikan oleh Liberius Langsinus atau di kenal dengan sapaan “Bung Sila”, dalam acara bedah buku “Pancasila Dikhianati, Catatan Napak Tilas Misi Pancasila Sakti Keliling Nusantara”, Minggu (1/6), di Pendopo Balai Kota Yogyakarta.
Acara yang berlangsung bertepatan dengan hari lahirnya Pancasila 1 Juni tersebut sengaja dihadirkan guna memacu daya cinta orang muda terhadap Pancasila di tengah pudarnya nilai dan roh Pancasila. Bung Sila” sengaja dihadirkan pada acara tersebut, karena beliau merupakan sosok orang muda yang dengan gigih berjuang demi tegak berdirinya Pancasila, dengan cara berkeliling ke 33 propinsi guna mengemban misi Pancasila sakti.
Mengapa roh Pancasila?
Ketika masa pembuangan di Ende Flores, Bung Karno berdialog dengan pastor Belanda bernama Boimanz Harlger, SVD. Pastor inilah yang memberikan tempat bagi Bung Karno guna mementaskan drama serta kegiatan lainnya. dalam dialog dengan Pastor Boimanz mengatakan “Soekarno sebelum engkau meninggalkan pulau ini, saya yakin suatu saat engkau akan menjadi pemimpin. Tapi saya mau bertanya dimana kau letakan orang Flores dan NTT, ketika suatu saat kelak engkau menjadi Presiden?” Soekarno terdiam sejenak dan berkata “akan kutempatkan mereka sebagai roh dan spirit nilai-nilai yang telah saya dapatkan dalam permenungan panjang dibawah pohon sukun bercabang lima itu.
Dialog yang sangat sederhana tersebut, telah memperlihatkan pada kita bahwa, Bung Karno, selama masa pembuangannya di Ende, mendapat permenungan yang luar biasa. Dalam permenunganya, Bung Karno, melihat kisah hidup masyarakat Ende yang majemuk, terdiri dari beberapa suku dan agama. Mereka hidup berdampingan secara damai tanpa ada gesekan apapun. Rasa tolong menolong diantara mereka tercipta. Realitas hidup tersebutlah yang menghantarkan Bung Karno pada sebuah kesimpulan bahwa, kerukunan dan kebersamaan hidup menjadi roh dan spirit nilai bagi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, adat-istiadat, agama, ras dan sebagainya.
Roh kebersamaan tersebut, bukanlah import dari negara lain. Akan tetapi, dia hidup dalam diri pribadi dan masyarakat Indonesia. Roh kebersamaan tidak mengenal sekat apapun. Dia tidak mengenal agama, suku maupun bahasa. Itu sebabnya Bung Karno menyampaikan gagasan brilian dimana Pancasila sebagai “way of life”, bagi seluruh komponen berbangsa dan bernegara. Karena Pancasila lahir dari spirit dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai untuk saling menghormati, guyub rukun, tepo-seliro, tolong- menolong, gotong-royong, musyawarah mufakat serta nilai kearifan lokal lainya.
Roh itu semakin pudar
Roh Pancasila itu semakin pudar. Mungkin kata ini yang bisa kita refleksikan bila melihat berbagai kasus kekerasan yang marak terjadi belakangan ini. Roh dan spirit nilai kebersamaan sepertinya mulai pudar dalam kehidupan berbangsa dan berngera. Di Yogyakarta saja, dalam seminggu terakhir ini, roh kebersamaan itu tercoreng oleh ulah segelintir orang yang mengusik suasana hidup ber-toleransi. Penyerangan terhadap sembahyangan Rosario di Dusun Tanjungsari, Sukoharjo, Ngemplak, Sleman (Kamis, 29/5), serta kasus pengrusakan rumah Pendeta yang dijadikan sebagai tempat beribadah (Minggu,1/6), di Dusun Pangukan, Tridadi, Sleman, menjadi bukti bahwa, roh kebersamaan sebagaimana tertuang dalam nilai-nilai Pancasila semakin pudar adanya.
Dua kasus tersebut, hanyalah sebaian dari berbagai rentetan kasus-kasus yang menunjukan bukti pudarnya roh dan nilai kebersamaan di Yogyakarta. Kasus-kasus kekerasan dan intelorensi tersebut, tentu saja mencoreng wajah Yogyakarta yang di kenal sebagai kota budaya, kota multikultural, kota yang damai, aman, nyaman tentrem. Yogyakarta punya semangat “city of tolerance”, kota yang menjunjung tinggi kemajemukan masyarakatnya. Maka, tidak heran ada sebagian orang menyebut kota ini sebagai “kota suci”. Untuk itulah kita berharap dari “kota suci” inilah roh kebersamaan yang tertuang dalam sila Pancasila tetap hidup dan terjaga. Penyatuan Yogyakarta sebagai sebagai “kota suci” dan spirit roh kebersamaan, akan menjadi kekuatan bagi bangsa dan negara ini, di tengah semakin pudarnya roh Pancasila dari kalangan anak muda negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H