Di jaman old, yang namanya dapur dalam sebuah restoran itu adalah tempat 'sakral' yang tidak boleh dilihat oleh orang lain, apalagi oleh konsumen. Dapur juga sering dipersepsikan sebagai tempat yang kotor yang tidak layak dilihat oleh orang luar. Dapur sebuah restoran adalah wilayah 'aurat' yang harus ditutupi.
Konsumen restoran hanya diperlihatkan hasil akhirnya saja berupa sajian makanan yang menggoda dan mengundang selera. Urusan bagaimana sang koki dalam proses membuatnya, nanti dulu. Konsumen tidak perlu tahu dan tidak ada relevansinya untuk dilibatkan. Yang penting konsumen mendapatakan produk sebatas dalam wilayah kualitas, manfaat dan fungsi saja.
Cara-cara seperti itu ternyata sudah sangat konvensional dari sisi strategi marketing. Di jaman dimana kompetitor semakin banyak dan konsumen semakin pintar, maka cara seperti di atas tidaklah cukup. Konsumen harus diberikan pelayanan lebih berupa pengalaman unik dan sensasi yang berkesan yang mampu menyentuh hati dan perhatiannya.
Maka, di jaman now kita sudah terbiasa melihat dapur sebuah restoran sengaja terbuka untuk bisa dilihat oleh konsumen. Dibiarkannya konsumen melihat proses pembuatannya dengan suasana dapur serba mengkilap. Â Bahkan untuk restoran tertentu, dilibatkannya konsumen dalam pemilihan bahan yang mau dimasaknya. Intinya, konsumen ikut terlibat dalam sebuah pengalaman unik di dalamnya.
Itulah strategi pemasaran yang kerap disebut sebagai experiential marketing.
***
Dalam urusan birokrasi, Ahok telah menerapkan strategi experiential marketing ini.
Jika sebuah rapat yang biasanya tertutup, maka oleh Ahok rapat justru dibuat transparan dengan diunggahnya ke kanal YouTube. Masyarakat diajak melihat prosesnya, merasakan pengalaman positif sebelum sebuah keputusan dibuat. Ada keterlibatan emosi masyarakat di dalamnya.
Untuk menunjukkan bahwa urusan transparansi rapat yang diunggah ke media digital adalah bukan sekedar gaya-gayaan yang sifatnya sesaat, maka Ahok mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 159 Tahun 2016 tentang Penayangan Rapat Pimpinan dan Rapat Kedinasan Pengambilan Keputusan Terkait Pelaksanaan Kebijakan pada Media Berbagi Video, dimana ada aturan kewajiban untuk menggugah video itu maksimal 3 (tiga) hari setelah tanggal pengambilan gambarnya.
Tampaknya Ahok sangat memahami pendapat dari para pakar komunikasi pemasaran bahwa pendekatan terbaik untuk menyebarkan sebuah nilai produk adalah melalui story telling. Seni bercerita yang melibatkan emosi dan pengalaman-pengalaman unik konsumen (masyarakat). Cerita itu sendiri harus otentik yang dibuktikan dan relate dengan fakta-fakta di lapangan. Sebuah story telling tanpa keotentikan tidak akan berdampak besar dan kurang nendang. Lagi-lagi, konsumen tidak akan terpikat pada produknya.
Sekarang, apa kabarnya dengan gaya story telling dari Mas Anies -- Sandi ini?
Syahdan, diriwayatkan oleh beberapa media nasional bahwa tradisi mengunggah video rapat itu tidak dilakukan lagi karena dinilai banyak mudaratnya dibanding manfaatnya. Setidaknya itu yang diakui Sandi pada awak media, Senin, 11 Desember 2017.
Unggahan video itu dikhawatirkan akan menjadikan olok-olok dan meme sarkas untuk Pemerintah DKI. Karena yang berkomentar di video itu tidak saja pendukung Anies Sandi, tetapi juga pendukung Ahok Jarot, begitu imbuhnya.
Sebuah pernyataan dari Wakil Gubernur yang merasa dirinya masih dalam suasana kampanye Pilkada terus....
Sehingga, tak berlebihan kalau banyak warga yang bertanya retoris, kalau bersih mengapa harus risih? Â Kalau basah mengapa harus mendesah?
Yuk, basahin dulu bibir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H