Mohon tunggu...
Agus Amanda
Agus Amanda Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Abdi Bosen Jadi Korban Macet

17 Mei 2017   11:30 Diperbarui: 17 Mei 2017   11:47 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Enam hari dalam seminggu setiap pagi dan petang saya dan ribuan pengguna jalan lainnya berjuang menembus kemacetan di ruas jalan Cibiru-Buahbatu.  Sebuah penderitaan rutin yang menjengkelkan tapi harus kami terima suka atau tidak. Wajah saya di pagi dan petang itu sama dengan wajah-wajah lainnya yang ikut terjebak di kemacetan itu, wajah kesal, gusar dan tidak sabaran. Isi hati saya juga sama dengan isi hati mereka, hati yang cemas dan takut akan terlambat sampai ke tempat kerja atau ke sekolah.

Kami tentu saja senang dengan Bandung Timur yang berkembang hanya saja kami merasa bahwa perkembangan wilayah tersebut belum diimbangi dengan kemampuan jalan rayanya untuk menampung lalu lintas kendaraan bermotor warga Sumedang dan Garut yang berangkat dan pulang kerja dari kota Bandung. Belum lagi ditambah warga seperti kami yang tinggal di area Cibiru, Cileunyi, Jatinangor, Gedebage dan sekitarnya yang beraktivitas pulang dan berangkat kerja atau sekolah. Kemacetan berkilo-kilo meter menjadi pemandangan yang lumrah di setiap pagi dan petang.

Ribuan kendaraan bermotor memacetkan dan menyemburkan asap knalpotnya bukan hanya dijalan-jalan besar, tetapi juga sampai ke jalan-jalan kecil kompleks pemukiman warga yang parallel dengan jalan Sukarno Hatta. Asap knalpot secara massif sudah mulai mencemari kamar tidur dan dapur kami. Tidak ada satupun rumah dan ruangan tetangga kami yang bebas dari semburan asap knalpot di pagi dan petang hari. Pokonamah serasa di poging (fogging) gratis.

Entah berapa biaya dan uang warga yang terbuang percuma karena ribuan kendaraan yang terjebak di wilayah macet terus membakar bahan bakar, sebuah pemborosan yang berlebihan. Entah berapa banyak uang yang telah dihabiskan akibat kualitas buruk udara yang dihasilkan kendaraan-kendaraan tersebut sangat membahayakan kesehatan warga yang tinggal di sekitar jalan tersebut. Tentu juga dengan warga lain yang ikut terjebak dalam kemacetan tersebut.

Saya sebagaimana warga masyarakat lainnya tidak mau berpusing- pusing dengan matematika pemborosan bahan bakar atau produktivitas kerja yang terbuang gara-gara kemacetan rutin tersebut. Biarlah itu menjadi tugas Pemerintah dan ahli-ahli yang jago mengkaji dan berhitung.

Yang saya tahu dan rasakan adalah biaya non material akibat beban psikologis berupa kekesalan dan kejenuhan akibat kemacetan. Seringkali kekesalan dan kejenuhan tersebut saya bawa kekantor, ke sekolah dan ke rumah sehingga efek kemacetan tidak hanya selesai di jalan raya. Tidak jarang kekesalan akibat macet menyebabkan kualitas pekerjaan tidak maksimal dan pertengkaran rumah tangga antara saya yang kesal kena macet pulang dari kantor dan istri yang kena macet pulang dari belanja hehehehehe…..

Sungguh kami sekeluarga dan banyak kawan-kawan saya yang lahir di Bandung sudah tidak megenali Kota ini, sudah mulai tidak menikmati Bandung. Urang Bandung yang terkenal dengan keramahtamahan dan kesantunannya mulai bertransformasi menjadi penduduk metropolitan sebagaimana Jakarta. Seperti perilaku pengendara motor dan mobil yang terjebak kemacetan yang saya saksikan dua kali sehari. Selalu tergesa-gesa, tidak sabaran, mengumpat dan mau menang sendiri. Transformasi perilaku tersebut tidak hanya di perlihatkan di jalan raya. Saya yakin akibat terlalu sering berperilaku demikian di jalan raya, maka perilaku tersebut juga cenderung dipraktikan ditempat lain.

Buat kami warga Bandung timur kemacetan tersebut perlu di cari solusinya segera agar kami tidak harus membayar pemborosan BBM dan biaya kesehatan akibat kemacetan. Tetapi kengerian kami kemacetan mengubah wajah kami menjadi sosok yang mengerikan bagi rekan dan keluarga kami yang menerima kekesalan akibat kemacetan yang kami bawa ke kantor dan ke rumah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun