Mohon tunggu...
Agus Purwadi UMM
Agus Purwadi UMM Mohon Tunggu... lainnya -

Pemerhati Kebudayaan, Sosial, Agama, & Filsafat Sains

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Karut-Marut Bahasa, Miskinkan Karakter Anak Bangsa

21 Desember 2014   15:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:48 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Karut-Marut Bahasa, Miskinkan Karakter Anak Bangsa

Oleh Agus Purwadi *)

Ketika suatu waktu tidak berselang lama, di sudut kantin kampus, seorang mahasiswa secara nyaring memuji tulisan Prof. Dr. Syamsul Arifin di sebuah harian nasional yang terbit di Jawa Timur, sekonyong-konyong terdengar celoteh beberapa kawan mahasiswa lainnya, yang tengah asyik menikmati kopi seraya menyulut sebatang rokok; “Iya, bagus sih bagus, tapi bahasanya susah dipahami.” Lalu kata yang lainnya, “gue nggak pernah baca esai opini di koran mana pun. Habis, rata-rata bahasanya itu lho! Lagian, isinya berat-berat.” Mahasiswi dalam satu meja menimpali, “Kalau aku sih mendingan baca info selebritis atau produk-produk baru yang gaul.”

Mendengar celotehan mereka, mengantarkan daya nalar saya pada suatu hipotesa. Kalau begitu, bisa jadi, masalah lemahnya kemampuan berpikir kritis yang tercermin pada karya tulis mahasiswa, serta lemahnya tradisi membaca di kalangan masyarakat luas selama ini bermula dari miskinnya kemampuan “berbahasa” yang mereka kuasai.

Kepenasaran akan hipotesa itu, dan fakta amburadulnya bahasa dan struktur logis dari karya skripsi mahasiswa yang saya jumpai ketika mengujinya, mendorong saya untuk membuka kembali beberapa literatur tentang teori linguistik. Tersebutlah seorang yang bernama Charles Hurst. Terilhami oleh teori Linguistic Relativity –yang menyatakan bahwa pikiran seseorang akan menentukan bahasa, dan yang pada gilirannya bahasa pun akan mengatur pikiran seseorang-, lantas Hurst mengadakan penelitian eksperimental di sebuah perguruan tinggi di Amerika, tentang pengaruh Speech Courses terhadap prestasi akademis mahasiswa. Penelitian selama tiga tahun, memberikan hasil bahwa kedua hal itu pengaruhnya cukup signifikan.

Lalu Hurst menyimpulkan, bahwa penguasaan bahasa yang baik dan benar melalui Speech Courses –berfungsi sebagai agen sintesis-, memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap fenomena yang membentuk kepribadian.

Tentu, penelitian Hurst itu memberikan celah bagi kita untuk melihat lebih jauh hubungan antara kemampuan berbahasa dengan kesanggupan berpikir logis dan kritis.

* * *

Mendukung argumen tulisan ini, dirasa perlu menengok hipotesis Edward Sapir dan Benyamin Whorf mengenai bahasa, makna, dan gagasan, yang dimulai dengan pertanyaan: “Apakah konsep kita tentang ‘waktu’, ‘ruang’, dan ‘materi’ diberikan dalam suatu bentuk yang pada dasarnya sama oleh pengalaman semua orang; atau, sebagian dikondisikan oleh struktur bahasa tertentu?” Jawabannya, “tidak” pada pertanyaan awal, dan “ya” untuk pertanyaan lanjutannya.

Selanjutnya hipotesis ini menyatakan bahwa bahasa tidak sekadar menyajikan alat untuk menyatakan gagasan, tetapi lebih dari itu, kata-kata yang digunakan orang itu membentuk gagasan-gagasan darinya. Artinya, berpikir ditentukan (dan dibatasi) oleh bahasa yang tersedia bagi orang-orang di dalam suatu komunitas bahasa. Apalagi, bahasa menguasai persepsi atas segala sesuatu, dengan demikian memengaruhi pula apa yang dilihat orang maupun bagaimana orang mengkonseptualisasikan realitas itu.

Jika demikian, pantaslah kalau kemudian para sastrawan, wartawan, lisanawan (orator), dan para cedekiawan di tanah air ini, yang banyak bergumul dengan perkara ‘utak-atik’ bahasa, mempunyai tradisi menguat untuk tetap bertengger di garda depan khazanah intelektual Indonesia selama ini. Tengoklah bagaimana kuatnya pengaruh mereka pada bangunan ‘karakter’ dari komunitas tertentu anak bangsa ini, seperti Abdul Muis, Marah Rusli, Khairil Anwar, Rosihan Anwar, HB. Yasin, Buya Hamka, Sukarno, Roeslan Abdulgani, Nurcholish Madjid, Syafi’i Ma’arif, dan terakhir, novelis fenomenal Andrea Herata.

Hingga di sini, saya menerawang kembali pada sekawanan mahasiswa yang dengan nyaman nyruput kopi seraya menghisap sebatang rokok, yang tidak sanggup membaca artikel opini di koran, atau orang-orang kaya yang “tidak sanggup” membeli koran apalagi buku, serta kritik pedas tentang lemahnya kemampuan berpikir logis-kritis mahasiswa. Saya hanya bergumam –sesaat setelah menguji skripsi-, tidakkah semua ini sebagian bermula dari miskinnya kemampuan “bahasa” mereka?

Mungkin saja begitu. Sebab, seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa kemampuan berbahasa bisa melahirkan kemampuan berpikir kritis, yang pada gilirannya, kemampuan berpikir kritis ini merupakan predisposisi yang kondusif ke arah bacaan. Siklus selanjutnya, semakin orang banyak membaca, makin kaya penguasaan makna realitas, juga makin kritis pikirannya, serta makin kaya kemampuan bahasanya, untuk kemudian semakin tajam dalam mengartikulasikan fakta-fakta realitas ke dalam suatu gagasan yang relatif utuh. Pada intinya, berbahasa dengan rangkaian siklus di atas, akan menentukan tingkat kematangan kebudayaan suatu komunitas masyarakat. Secara representatif, hal demikian telah ditunjukkan contohnya dalam suatu program acara televisi swasta, “Becak” (Berita Kocak), sebagai penggambaran parodi adanya kemiskinan bahasa yang menggejala di masyarakat, juga sebagai cermin belum matangnya kebudayaan di masyarakat kita.

Sekarang masalahnya, mengapa mahasiswa, kalangan anak-anak muda,  dan masyarakat pada umumnya saat ini banyak yang mengalami krisis kemiskinan “bahasa”?

Bahasa dalam Fase Kebudayaan

Kalau kita mendasarkan perkembangan kebudayaan Indonesia melalui fase mitis, ontologis, lalu fungsional –seperti diisyaratkan oleh pakar Sosiologi Ilmu Pengetahuan, Van Peursen-, maka kita akan memergoki bahwa pada fase mitis, bahasa yang banyak dikembangkan di lingkungan masyarakat bukanlah bahasa-bahasa analitis-investigatif, melainkan lebih merupakan bahasa-bahasa magis-harmonis. Tengoklah bahasa yang digunakan para pemimpin negeri ini, lebih banyak cenderung bersifat magis-harmonis, dan karenanya “menghipnotis” warga masyarakat untuk tidak melampaui ke arah munculnya gagasan analitis-investigatif. Tengok pula tutur dialog dan setting cerita sinetron-sinetron di televisi; lebih banyak dikuasai oleh bahasa dan cerita yang bernuansa magis-harmonis itu.

Dalam eksistensinya yang demikian (bahasa dalam fase mitis), bahasa menjadi kehilangan fungsinya sebagai area makna-makna dan media komunikasi yang memanusiakan manusia. Dan karenanya, lenyap pula fungsi ikutannya sebagai alat kontrol sosial yang berkemampuan untuk terus-menerus melakukan subversi terhadap makna dan realitas yang tidak memanusiakan manusia. Bahasa akhirnya lebih berfungsi sebagai alat legitimasi status-quo, yang bertugas menjaga keselarasan, keserasian, dan kesimbangan di dataran “mikrokosmos” dan “makrokosmos” kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Alih-alih mengembangkan karakter bangsa dengan bahasa, warga masyarakat justru tengah dininabobokan dengan penggunaan bahasa yang “mengamankan” posisi siapa yang lebih berkuasa. Kondisi bahasa masyarakat demikian lantas merembet ke lingkungan keluarga.

Bahasa yang disosialisasikan para orangtua kepada anaknya nampak lebih bercorak imperatif yang bersifat instruktif, tinimbang bercorak kategoris yang memungkinkan terilhami dan terbinanya konstruksi berpikir anak-anak untuk senantiasa menilai dan memilih sesuatu secara kritis. Ini membawa dampak pada perkembangan anak, yang kemudian mudah gamang untuk membuat gagasan dan bertindak atas gagasannya itu, dan lebih parah lagi, anak terkondisikan untuk tidak berani berpendapat dan berargumen, karena miskinnya bahasa untuk mengungkap makna dan fenomena. Anak menjadi gagu berbahasa.

Celakanya, iklim kebahasaan serupa itu, ternyata tidak berhasil ditransformasikan ketika masyarakat kita memasuki fase ontologis. Sistem pengajaran bahasa di sekolah-sekolah, misalnya, terlalu menitikberatkan pada aspek-aspek gramatika kebahasaan dengan mengabaikan segi-segi fungsionalnya.

Sementara infrastruktur bahasa pada fase ontologis masih rapuh dan semrawut, tiba-tiba gebyar-gebyar kehadiran teknologi dan birokrasi raksasa yang menandai atmosfir peradaban fungsional menyergap kita begitu cepat. Akibatnya, masyarakat kita menghadapi dan menyikapi keberadaan fase fungsional (teknologi-birokrasi) dengan bahasa magis lengkap dengan credo harmoni-penyelarasan, serta menyeruaknya bahasa “pseudo science” yang tak karuan; ‘wanita tuna susila’ diganti ‘pekerja seks komersial’; ‘penangkapan’ diganti ‘pengamanan’; orang miskin diganti ‘prasejahtera’; ‘tersangka’ diganti ‘terperiksa’; “penggusuran” diganti “penertiban”. Kata pertama dan kedua, secara ontologis-sosiologis, jelas memiliki makna yang berbeda. Tapi nyatanya, itulah yang dijejalkan kepada kita setiap hari.

Selebihnya, apa gerangan yang terjadi? Tengoklah penggunaan bahasa di facebook dan SMS seperti ini, “Go ahead bro!”; “Halo fren, sorry ya, kemrn q kgak bisa ikut pesta. Habis, bokap q kgak ngasih doku tuk beli spokat.”; “Waduh gawat, kayakx nyokap qtau kalo IP q anjlok smtr ini. Jadix qt g bs camping. So, kgak da ijin deh.”

Nah, di langit-langit kerentanan alias vulnerabilitas dan kerapuhan eksistensi bahasa seperti itulah masyarakat (termasuk siswa, dan mahasiswa) hidup dan berkembang. Mereka tumbuh menjadi manusia-manusia “miskin bahasa”, lantas menjelma menjadi makhluk-makhluk ateoritis, ahistoris, asosial, anti berpikir-dalam, anti bacaan serius, anti wacana kebudayaan, cenderung pragmatis-hedonis, dan ujungnya anti ilmu pengetahuan. Pada kondisi ini, tengok pula gejala Vikiisme dalam berbahasa, sungguh gambaran berbahasa yang karut-marut.

Secara tidak sadar, cara mereka berbahasa telah mencoreng dan mencakar muka bangsanya sendiri. Ya, mereka mempermalukan bangsanya sendiri justru di fase fungsional dari kebudayaan negeri ini. Lantas bagaimana peribahasa yang mengatakan, bahasa itu menunjukkan jati diri bangsa? Atau, karena menguatnya fase mitis dan pemaknaan modernitas yang absurd, peribahasa itu malah dijungkirbalik menjadi; bahasa menunjukkan kebingungan bangsa?[]

Penulis, Dosen FAI dan Tim Lembaga Kebudayaan Universitas Muhammadiyah Malang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun