Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Untuk Pendidikan Karakter Membangun Bangsa, dibutuhkan Jiwa “SENI”

11 Juli 2010   05:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:57 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering


“Seni” kata itulah yang harus kita masukkan dalam Dunia Pendidikan saat ini. Dalam dunia pendidikan kita saat ini yang harus berorientasi pada Ketuntasan Materi menuntut Guru atau Tenaga Pendidik untuk memasukkan unsur “Seni” dalam mengajar, karena Seni itu pada mulanya adalah hasil dari Proses Manusia, sinonim dari kata “Ilmu”. Seni itu sendiri bisa dilihat sebagai hasil dari ekspresi dan kreatifitas manusia itu sendiri. Lalu bagaimana implementasinya terhadap Pendidikan Nasional kita saat ini yang bertujuan untuk “Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa”? Melihat perkembangan Teknologi dalam menunjang Dunia Pendidikan, memang jiwa “Seni” seorang Guru sangat dituntut untuk membuat Materi atau Bahan Pelajaran yang akan diajarkan kepada Murid atau Peserta Didik, dimana Guru berperan sebagai Perantara yang baik dengan menggunakan Media Pembelajaran yang tepat. Seni Memimpin yang baik tentunya akan menghasilkan Generasi yang mapan dengan bekal Iptek dan Imtaq yang bagus. Seperti Pak Habibie pernah mengatakan di akhir kepemimpinan beliau yang cukup singkat, dimana beliau mengatakan bahwa Beliau hanya mau berkecimpung dalam Dunia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta ber Iman dan Taqwa Terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, beliau tidak mau masuk ke dalam dunia politik, khususnya dunia politik pasca Reformasi yang tidak ada benarnya lagi. Oleh karena itulah beliau hanya memimpin negeri ini sekejap saja, menggantikan Pak Harto, beliau sukses membuat sebuah PEMILU yang demokratis setelah Tahun 1952, dimana Pemilu tahun 1999 yang diikuti oleh Multi Partai, namun Pak Habibie tidak mau mengambil keuntungan dengan memilih mundur dari Pencalonan Presiden kala itu. Pak Habibie memang akhirnya digelari menjadi Bapak Teknologi Indonesia dengan segala penghargaan yang diperolehnya, dengan segala kerja kerasnya mulai menjadi Vice President di Messerschmitt-bolkow-blohm (MBB Hamburg 1965-1978) Industri Pesawat Terbang Jerman setelah tamat dari ITB, menjadi Menristek sekaligus merangkap sebagai ketua BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), mendirikan IPTN, PINDAD dan PAL, sampai dengan menjadi Wappres dan puncaknya menjadi Presiden RI yang ke-3. Pak Habibie telah mendedikasikan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dikuasainya untuk membangun Negeri ini. Cara dan kemampuan beliau memiliki Seni Kepemimpinan sejati, yang artinya Suportif. Pemimpin sejati memimpin orang, bukan mendorong-dorong mereka. Melibatkan orang, bukan memaksa mereka, dan yang paling utama, prinsip seorang Pemimpin adalah melaksanakan pekerjaan yang melibatkan manusia, yang berarti lebih mementingkan orang daripada benda-benda mati.

Seni Memunculkan Pola Pikir Industri

BJ Habibie lebih lanjut memegang peranan penting dalam perkembangan Teknologi di Indonesia, bukti nyatanya adalah Industri-Industri strategis hasil pemikiran beliau sekarang telah memberikan hasil yang luar biasa (IPTN, PINDAD dan PAL) telah memberikan hasil yang luar biasa, seperti pesawat, helikopter, senjata, thank, kemampuan memberikan pelatihan dan jasa pemeliharaan (maintenence service) untuk mesin-mesin pesawat, amunisi, kapal, thank, panser, senapan kaliber, water cannon, dan sebagainya yang diperlukan baik itu untuk kalangan sipil maupun militer. Seni dalam diri beliau yang mampu mendesain dan konstruksi pesawat membuat beliau dilibatkan dalam skala internasional, misalnya mendesain pesawat Fokker F 28, Transall C-130 (Militer Transport), Hansa Jet 320 (jet eksekutif), Air Bush A-300, pesawat transport DO-31(pesawat dengan teknologi mendarat dan lepas landas secara vertikal), CN-235 dan CN-250(pesawat dengan teknologi fly-by-wire). Pemikiran-pemikiran beliau sungguh mengagumkan dan diakui oleh dunia internasional. Seni beliau dalam perancangan pesawat serta implementasinya dalam bentuk industri pesawat yang “high-tech” mendapat “hati” dikala itu, sehingga Pak Harto tidak segan-segan mengucurkan dana “ekstra” dari APBN untuk mengembangkan Teknologi tersebut, walaupun baru sekarang hasilnya dapat dinikmati, itu wajar karena “ibarat menanam durian, butuh 10 tahun juga untuk menua hasilnya”, demikian juga dengan buah pemikiran Habibie, sekarang kita bisa lihat hasilnya. Jika kita berbicara tentang “Seni”, dalam semua Ilmu terapan membutuhkan Seni, tidak terkecuali seperti Bela diri, dan bahkan Perang sekalipun membutuhkan “Seni”, seperti yang diutarakan oleh seorang Sun Tzu dalam bukunya The Art of War yang terkenal itu, dimana seni berperang yang klasik itu diaplikasikan dari mulai dunia pendidikan sampai dengan dunia bisnis hingga pemasaran. Pemimpin seperti Sun Tzu, Habibie dan masih banyak lagi yang telah memberikan sejarah panjang, pasti memiliki pola pikir yang dibentuk mulai dari masa kecil sampai dengan menjadi pemimpin, tidak mungkin mereka langsung menjadi Pemimpin yang kesohor dalam waktu sekejap, namun pasti pola pikir, mental, IQ dan EQ mereka dibentuk mulai dari hal-hal yang kecil sampai ke hal-hal yang lebih besar, kepribadian mereka ditempa dan dibentuk oleh visi, prinsip, tanggung jawab, etos kerja dan yang paling utama adalah pemimpin menyadari bahwa akan lebih banyak kesuksesan diraih dengan bekerja bersama orang lain daripada mempekerjakan orang lain. Oleh karena itu Guru atau Tenaga Pendidik sudah seharusnya menerapkan dalam Kegiatan Belajar Mengajar itu tidak lagi hanya memberikan materi, tugas dan kembali ke kantor setelah habis Less, tetapi Guru harus dapat menjadi “teman” atau “sahabat” Ilmu, dimana dapat menciptakan komunikasi yang baik saat Proses Belajar, dimana Guru harus mengetahui sampai dimana kedalaman materi yang diberikan, dan mempunyai tolak ukur atau indikator daripada keberhasilan materi yang disampaikan, Guru harus dapat menciptakan kesadaran Siswa bahwa belajar itu nantinya akan menghasilkan Orientasi kepada Manusia (People-Oriented), bukan hanya sekedar berorientasi kepada pekerjaan (job-oriented). Jadi, layakkah seorang “Guru” atau “Tenaga Pendidik” itu dikatakan sebagai “Pemimpin Kelas” ? Membangun Karakter Bangsa Indonesia, tidaklah mudah, harus diawali oleh Karakter daripada Pemimpinnya, harus diawali dari pembangunan karakter dari pada para penerus bangsanya nantinya, karakter yang ber IPTEK dan IMTAQ harus diawali dari Pendidikan yang baik dan tepat, jika penerapan pendidikan salah, maka salah satu sasaran dan tujuan dari pembangunan karakter bangsa yang memiliki IPTEK dan IMTAQ yang kuat akan gagal total. Sehingga hal-hal yang ingin saya sampaikan berkenaan dengan Guru sebagai “Tiang” penyangga atau “Pemimpin Kelas” dalam Pendidikan Karakter Bangsa ini adalah:

1.Kepemimpinan Guru dalam Mengajar bukanlah sebuah Ego. Egosentrisitas sering kali menjadi pembunuhan diri sendiri. Selain hanya mencari kepuasan sendiri, sikap ini menutup jalan menuju pemenuhan yang sebenarnya: pengembangan diri, kemajuan dan kreativitas. Pendidik harus dapat menempatkan dirinya menjadi perantara antara Ilmu Pengetahuan yang dia kuasai dengan Peserta Didik yang dia bina, oleh karena itu perlu suatu Seni dan kemauan untuk merubah strategi dalam memberikan Bahan Ajar yang dia kuasai. Seni ini meliputi pemberian visi dalam hal mengajar, pemberian materi dan penguatan saat proses belajar akan berakhir, sehingga Peserta Didik memiliki pemahaman akan apa yang diajarkan oleh Pendidik. Sehingga ada suatu mata rantai yang tidak akan pernah putus. Arogansi memang sering menjadi senjata Pendidik dalam memberikan Bahan Ajar, misalnya: Harus mengerjakan PR, harus membeli Buku, dan lain sebagainya, demikian juga dengan sikap Ego yang berlebihan, misalnya: Tidak mau memberikan penjelasan lebih setelah dijelaskan satu kali, Pendidik tidak mau mengulangi penjelasan yang oleh si anak lupa menuliskannya misalnya, dan lain sebagainya. Sikap-sikap seperti inilah yang harusnya kita hindari dan kikis dalam diri kita, sehingga Peserta Didik memiliki pemahaman yang kuat akan materi dan memiliki kemampuan untuk menalar dan mengembangkan pola pikirnya terhadap pemahaman yang telah dia pahami terhadap suatu Bahan Ajar.

2.Kepemimpinan Guru berupa Tanggung Jawab terhadap Peserta Didik. Pemimpin yang sejati pastinya membutuhkan “Rasa” Tanggung Jawab kenyataan, terhadap rampungnya sebuah tugas, dengan membuat Peserta Didik “lulus” dari segala Uji Kompetensi, baik itu Ujian dari Sekolah maupun Ujian Nasional akan memberikan rasa kepuasan yang luar biasa. Namun yang lebih utama lagi adalah “Rasa” Tanggung Jawab terhadap kegagalan, kerelaan untuk menanggung resiko sendiri, bukan melimpahkan kesalahan atau kegagalan terhadap pihak lain atau menyalah-nyalahkan pihak lain seperti yang trend sekarang ini. Sudah saatnya Karakter Bangsa ini kita rubah dengan slogan “Berani Berbuat, Berani Bertanggung Jawab”. Bagaimana caranya ? yah, kita mulai atau awali dari lingkungan keluarga kita, Sekolah sampai ke Masyarakat. Budaya saling menyalahkan, budaya saling lempar tanggung jawab dan yang paling menyedihkan adalah budaya mencari seribu satu alasan agar lolos dari jerat hukuman harusnya kita kikis jika tidak mau dikatakan dibumi hanguskan. Sekolah harus mampu menciptakan Peserta Didik yang apabila ketahuan bersalah jangan lagi mencari seribu satu alasan, namun dengan “Mental” yang kuat berani menerima kesalahan dan meminta maaf. Memang sekarang menjadi “Dilema” bagi Pendidik, dimana Kekerasan Fisik dilarang, disitulah celah bagi Peserta Didik untuk mengelak dari segala “hukuman” oleh Guru akibat perbuatannya, dengan segala “Dalih”, dengan segala tindakan yang sebenarnya menjengkelkan Peserta Didik sangat memungkinkan minta untuk tidak dihukum. So, terjadilah Pendidik harus banyak menahan diri untuk tidak melakukan “aksi Fisik”.

3.Guru yang baik harus mampu mengesampingkan berbagai keinginan pribadi. Hal ini bukan rahasia umum lagi, banyak Guru yang lebih mementingkan hal-hal yang sifatnya pribadi dibandingkan mengoreksi Ujian Peserta Didik mereka, dan banyak hal lain. Hal ini sebenarnya sudah berlarut-larut dan penyakit yang sudah membudaya di dunia Pendidikan kita, dimana kita lihat hasilnya sekarang ini dalam masyarakat kita terjadinya terjadi aksi “tutup mata”, dimana yang salah dibiarkan salah tanpa mau menegur atau memperbaikinya, aksi suap sepertinya bukan hal yang tabu lagi, aksi mengkebiri orang yang berkata benar, meminimalisasi hak-hak seseorang yang proaktif misalnya dan lain sebagainya yang terjadi di masyarakat kita. Kejadian-kejadian di masyarakat adalah cermin dari hasil pendidikan yang didapat. Oleh karena itu perlu rancangan “Pembangunan Karakter Bangsa” harus diawali dari dunia pendidikan dengan kembali menerapkan aksi “Peka Terhadap Ransangan”, Peka terhadap Sekeliling kita, mengikis Egosentris, “Gotong Royong”, kebersamaan, saling memiliki, tidak bersikap siapa loe sapa gue. Karena dengan adanya aksi berbagi, maka perkembangan dunia teknologi dan informasi dapat dinikmati bersama. Sehingga nantinya tidak terjadi lagi penggolongan kaum miskin, kaum menengah dan kaum atas dalam masyarakat kita. Sehingga nantinya rasa cinta akan tanah air akan berkembang dalam pribadi kita masing-masing dan diaplikasikan dengan mau bekerja untuk kemajuan bangsa, tidak terlalu konsumerisme dan yang paling penting menghargai produk-produk dalam negeri untuk menunjang pertumbuhan ekonomi negara ini.

4.Guru harus dapat melayani. Kalimat ini rasanya memang mempunyai makna yang sangat dalam, dimanajika kita sudah sanggup menjadi seorang “Pelayan”, berarti kita telah mampu melepaskan segala rasa “Egosentris” yang ada dalam diri kita masing-masing. Hal inilah yang menjadi kendala dalam dunia pendidikan kita, Tenaga Pendidik masih malu disebut sebagai Pelayan Ilmu atau sebagai “Transformer” dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ke Peserta Didik. Sebab kata dan perbuatan “Melayani” identik dengan pekerjaan “Babu”, “Pelayan” atau pekerjaan yang sejenisnya, dimana butuh “Pengorbanan”, “Kerja Keras”, “mau untuk disuruh”, “diperbudak” dan yang lebih parah lagi, harus mau untuk “bekerja lebih ekstra tanpa di beri gaji tambahan, honor tambahan, asalkan pekerjaan yang dilimpahkan harus selesai”. Apakah kita Tenaga Pendidik rela menerima Pekerjaan yang Bersahaja ini ? Tenaga Pendidik harus mau, sebab sebenarnya, Kesahajaan adalah pertanda kekuatan, bukan kelemahan. Di atas segalanya, kesahajaan adalah ketulusan dan kejujuran terhadap diri sendiri. Kesahajaan bukanlah kesederhanaan palsu, tetapi ketulusan untuk mengemban dan melaksanakan tugas yang dipikulnya.

5.Menjadi Guru, berarti bersiap untuk Loyalitas. Menjadi tenaga pendidik berarti sudah bersiap diri untuk mengabdi kepada Nusa dan Bangsa, kemajuan Generasi Muda yang seterusnya akan menjadi Tulang Punggung Negara Indonesia menjadi tanggung jawab Tenaga Pendidik, oleh karena itu sikap mementingkan Anak Didik dibandingkan hal-hal lain perlu ditumbuh kembangkan, perlu dijadikan salah satu bahan yang penting dalam upaya “membangun karakter bangsa”. Bagaimana kita menuntut Generasi Bangsa yang kita bina Loyal terhadap Negara ini, jika kita para Pendidik tidak loyal terhadap Bangsa dengan sikap kita yang tidak mematuhi segala peraturan yang berlaku ? oleh karena itu, mari kita membuktikan Loyalitas kita terhadap profesi kita dengan mengamalkan CINTA dan SABAR. Mendidik berarti melakukan proses, bukan dalam sekejap mata Peserta didik kita langsung pintar dan ber IPTEK dan IMTAQ, namun butuh proses yang panjang, oleh karena itu Tenaga Pendidik harus mampu membawa diri dan mengamalkan Cinta dan Sabar dalam memberikan Pendidikan, sehingga Penerus Bangsa memiliki karakter yang cinta terhadap Tanah Air.

6.Mendidik berarti menggunakan Intuisi yang di Bimbing oleh Akal Sehat. Berpikir dengan menggunakan logika, dapat menaruh perhatian terhadap apa yang memang terjadi, daripada apa yang dia inginkan terjadi, lebih mementingkan apa yang bisa lebih memberikan hasil daripada berdebat agar opininya dapat lebih diterima. Dan, lebih menghargai kebenaran daripada apa yang dia pikir tepat, yang lebih penting tidak ada rasa takut menguji ide-ide yang muncul dalam kenyataan hidup yang sebenarnya, adalah sikap “Pemimpin” yang baik. Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa harus dapat menghasilkan Generasi Penerus Bangsa yang memiliki mental seperti itu. Sehingga Ilmu Terapan yang dia peroleh di Bangku Sekolah dapat ditingkatkan dan mengalami kemajuan yang signifikan, sehingga makin mempercepat proses Perkembangan Bangsa kita ke Level yang lebih tinggi. Pola pikir yang lebih mengutamakan Intuisi yang di Bimbing Akal Sehat akan lebih mampu meningkatkan penalaran terhadap Ilmu Pengetahuan yang dia pelajari, sehingga dapat dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari diluar jam sekolah. Sebab pepatah mengatakan “Bagaimanapun juga Pengalaman adalah Guru yang Terbaik”. Oleh karena itu dalam Proses Pendidikan Karakter ini, Desain pembelajaran dengan menggunakan Intuisi yang berlandaskan Akal Sehat sangatlah dibutuhkan. Sebab, Intuisi bisa dikembangkan-tidak oleh semua orang, mungkin, tetapi banyak orang-dengan latihan. Ada perasaan tertentu yang muncul manakala intuisi bekerja, berbeda sekali dengan sekedar antusiasme dari imajinasi. Pengalaman dapat membuat peserta didik lambat laun membedakan mana intuisi dan mana imajinasi serta mampu mengatasi persoalan sebesar apapun dengan menggunakan intuisi.

Namun diatas semua itu, yang diperlukan adalah Bertindak “Action”, tidak hanya Berbicara “Talk”. Oleh karena itu sudah saatnya kita merealisasikan betapa pentingnya “Pendidikan Karakter ini dalam Pembangunan Pendidikan Bangsa”, kita harus tau arah tujuan pendidikan Karakter ini, Karakter yang bagaimana yang nantinya dibutuhkan oleh Bangsa dan Negara kita ini dalam menghadapi era globalisasi ini. Apakah nantinya kebudayaan bangsa timur kita akan terkikis oleh dampak Globalisasi pengaruh budaya Barat ? Apakah Generasi Muda kita lebih mengenal Kemajuan Teknologi daripada khasanah Budaya Bangsa kita yang Beraneka ragam? Apakah Generasi Muda kita akan lebih pintar memainkan Komputer, Alat Musik Keyboard daripada Suling ? dan masih banyak lagi ancaman-ancaman pengaruh negatif budaya Barat di Negara kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun