[caption id="attachment_276516" align="alignnone" width="2592" caption="BUku Karangan BUng Pepih bersandar manis dengan Tokoh-tokoh hebat"][/caption]
Sejak Menjadi Kompasioner tiga tahun yang lalu, saya selalu menyempatkan diri untuk mengakses www.kompasiana.com dimanapun dan kapanpun. Jika ada waktu, maka website yang satu ini selalu santapan saya. Tidak percaya? Ganti kepercayaan saja…!!!?? :P
Barang satu menit, saya selalu mengutak-atik isi dari Kompasiana ini, berharap saya mendapat berita-berita hangat dan terbaru serta opini-opini dari teman-teman Kompasiana mengenai suatu “Topik” yang hangat-hangatnya, saya selalu membaca dan belajar bagaimana menulis berita atau opini yang baik dan benar. Kompasiana memang benar menjadi “Etalase” bagi warga biasa untuk mencurahkan pemikiran mereka didalam blog keroyokan ini.
“Etalase” menjadi kata yang menginspirasi dan sangat memikat hati saya ketika menuliskan resensi buku “Kompasiana: Etalase Warga Biasa” hasil karya Bung Pepih Nugraha. Kata Etalase telah sering bahkan terlampau sering saya dengar, namun saya abaikan. Tetapi Minggu (04/11/2013) berkat Kompasiana juga, saya mendapatkan proyek kecil-kecilan. Minggu siang setelah saya dan keluarga selesai melaksanakan Ibadah Hari Minggu (Gereja) dan selesai membawa anak rekreasi, saya mendapat telefon dari Adek dari satu Marga, dimana dia mau pulang ke Balikpapan (Kalimantan loh, bukan Balikpapan yang lain) dan memesan tiket untuk 2 orang. Spontan saya chek and richek di website penyedia jasa layanan ticket online, namun saya kecewa karena error semua, namun keberuntungan berkata lain. Ketika saya buka website www.kompasiana.com, saya sumringah karena didalam website favorit saya itu terpampang link (URL) bernama Traveloka, saya cari dan dapat tiketnya. Setelah saya berikan tiketnya, saya punya sedikit uang hasil penjualan tiket online.
Sejak diluncurkan Lomba Resensi Buku “Kompasiana: Etalase Warga Biasa” saya sudah berkeinginan untuk membeli, minimal ke Gramedia Book Store untuk membaca isi dari buku karya Bung Pepih ini. Saat yang tepat pun terwujud, Minggu Malam saya menempatkan diri untuk singgah di Gramedia Gajah Mada setelah mengantar tiket pesawat. Dengan modal Rp. 50.000 hasil penjualan tiket online, saya masuk dan menuju lantai II, saya cari-cari buku yang menceritakan sejarah berdirinya Kompasiana hingga menjadi sekarang. Setelah keliling-keliling, akhirnya saya menemukan buku dan tidak menyangka, letak buku tersebut bersanding dengan buku tokoh-tokoh dunia, sebut saja buku Pak Harto, Bung Karno dan buku baru “Jokowi Bukan Untuk Presiden”. Berada persis disamping buku “Jokowi bukan untuk Presiden”, ada kekaguman tersendiri melihat buku “Kompasiana: Etalase Warga Biasa”, saya berpikir “Kekuatan Apa yang tersembunyi di balik buku ini? Buku ini pasti bagus, pasti memiliki nilai jual tinggi” (benar loh, jarang saya memuji sesuatu he..he.he :P). Tanpa sungkan-sungkan langsung saja saya ambil, kebetulan ada satu buku yang sudah dibuka sampulnya, langsung saya sambar, setelah bolak-balik saya terinspirasi dengan kata-kata “Etalase” dan benar-benar memaknai kata tersebut.
“Kang Pepih, saya mau Tanya kenapa hanya orang-orang tertentu saja yang diberikan “tempat hormat” di Kompasiana? Kenapa mereka yang hanya “orang biasa” tidak bisa? Kenapa saya sebut ‘orang biasa’ karena sejumlah artikel yang ditulis orang di luar Kompas – baik yang diundang oleh pengasuh maupun atas iniasiatif sendiri – seperti Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim dan Prayitno Ramelan, notabene orang tersohor dan mantan petinggi dari sebuah institusi yang mendapat ruang menulis di Kompasiana”.
“Hmm…saya pikir tidak ada salahnya dan tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebih untuk memberikan “tempat terhormat” di Kompasiana kepada penulis yang hanya ‘orang biasa’.
Namun buku ini tidak jadi saya beli, karena uang hasil penjualan tiket online tidak cukup, saya pikir hargannya hanya sekitar 50 ribu rupiah, tetapi saya terkejut, karena hargannya menyentuh angka 80 ribu rupiah lebih, wow..wow..wow kalah buku “JOkowi bukan untuk Presiden” yang hargannya menyentuh angka 50 ribu rupiah, apa pertimbangannya? Kenapa bukunya mahal? Hmm pertimbangan bisnis dan penerbitnya yang punya kuasa menjawab. (semoga murni karena kualitas bukunya).
“Saya tidak pernah anti-Australia. Saya tidak pernah membenci orang Australia, dst. Mie Instan, Identitas Anak Indekos Sejati, dst. Bisa dimaklumi mengapa manajemen bisnis dan keuangan Kompas.com tidak mau ambil resiko dengan bersedia membiayai penerbitan Freezz ini. [caption id="attachment_276517" align="alignnone" width="1752" caption="Isi Buku Kompasiana: Etalase Warga Biasa, Nama Kompasioner"]
Hal lain yang menjadi pertimbangan bagi saya untuk tidak membeli buku tersebut adalah dihalaman terakhir, nama saya ternyata tidak masuk rekap sebagai Kompasioner “warga biasa” mendapatkan “tempat terhormat”. Dengan bermodalkan menjadi Kompasioner sejak tanggal 25 Maret 2010 dan telah menulis sebanyak 152 artikel dan akan bertambah terus, ternyata saya tidak masuk nominator Kang Pepih. Nama saya belum menyentuh hati Kang Pepih untuk dimasukkan kedalam daftar Kompasioner yang mula-mula meramaikan Kompasiana, baik blogger jurnalis, blogger tamu maupun blogger yang fenomenal (walaupun ada beberapa tulisan yang fenomenal dan mendapat predikat Headlines) yang menjadikan Kompasioner menjadi Media sosial khas Indonesia. hmm semoga saja dosanya diampuni..he.he.he :P
Akhir kata, semoga Kompasiana tetap eksis. Salam Kompasiana…!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H