[caption id="attachment_365738" align="aligncenter" width="513" caption="Peta Blog Natuna, Blok konflik perusahaan asing sumber gambar:www.trendnews.co.id"][/caption]
Total Sumber Daya Minyak Laut Indonesia hanya 40.1 miliar barel, Gas Bumi hanya 217.7 triliun kaki kubik. Ini jelas sangat melukai nurani rakyat Indonesia, sebab Indonesia hanya mendapat porsi Migas 15%. Selebihnya didominasi oleh perusahaan asing seperti Petronas (Malaysia), ExxonMobil (AS), Chevron (AS), Shell (Inggris-Belanda), StatOil (Norwegia), ENI (Italia), Total Indonesie (Perancis), dan China National Petroleum Corporation (China) ikut menikmati untung besar dari blok Natuna.
Ketika Pemilu 2014, Presiden Jokowi kala itu ber-api-api melontarkan “Nawa Cita” untuk meyakinkan bahwa mereka adalah Pasangan terbaik untuk memimpin negeri ini. Salah satu isi nawa cita yang paling ditunggu realisasinya yang pertama dan utama “Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim,”
[caption id="attachment_365739" align="aligncenter" width="490" caption="Gambar posisi gas dan minyak di Indonesia/sumber gambar: Dokpri"]
![14315101621466701358](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14315101621466701358.jpg?t=o&v=700?t=o&v=770)
Ironi Blok Mahakam
Namun sepertinya untuk mewujudkan negara maritim ini bukanlah hal yang mudah, setelah blok natuna yang diprediksi oleh para pakar memiliki cadangan gas alam terbesar tidak hanya di Asia Pasifik, namun di dunia dengan kandungan kurang lebih 202 triliun kaki kubik. Tidak hanya itu, masih ada kandungan cadangan minyak, uranium, dan pasir kuarsa terhampar untuk dinikmati dalam jangka waktu yang sanga lama, ternyata masih dan masih dikuasai oleh pihak asing dan Indonesia yang secara de facto dan de jure adalah pemilik blok natuna yang berada di perairan Kepulauan Riau (lihat peta) belum sanggup berbuat banyak agar ada solusi dari konflik kepentingan dan dari cengkraman perusahan-perusahaan asing yang mengeksplorasi kekayaan sumber daya alam kita.
Setali tiga uang dengan blok mahakam, blok yang berada di Selat Makassar, Kalimantan Timur juga masih dalam cengkraman perusahaan-perusahaan asing. Walau kenyataannya, perusahaan Total E&P yang dimiliki oleh Perancis dan Inpex asal Jepang masa kontraknya akan berakhir 31 Maret 2017, Pemerintah lewat Kementerian ESDM maupun Presiden Sendiri belum memutuskan apakah Blok Mahakam ini akan dioperasikan sendiri oleh Pertamina atau kembali menggandeng perusahaan asing yang tentunya pembagian hasilnya sangat jomplang, 70% keuntungan untuk perusahaan asing dan 30% menjadi rebutan Pemerintah Pusat, Daerah dan untuk Pertamina sendiri, sehingga sudah bisa dipastikan bahwa Kekayaan Sumber Daya Alam kita tidak akan pernah dinikmati oleh kita.
Alasan Pertamina belum sepenuhnya pemilik dan operator tunggal blok mahakam, karena skala prioritas, pemerintah punya argumentasi. "Blok East Natuna itu cadangan gasnya 46 trillion cubic feet (tcf), bandingkan dengan Arun sebanyak 17 tcf, Tangguh 11 tcf, sedangkan Mahakam yang habis kontrak pada 2017 itu tinggal 2 tcf," kata Rudi Rubiandini, Wakil Menteri ESDM di kantornya, seperti dikutip dari Kontan. Ini menjadi ironi, karena Pemerintah berusaha mengelak dan mengulur-ulur waktu, karena diketahui Total E&P Indonesie masih mengajukan proposal perpanjangan kontrak, sehingga ini berpotensi menguntungkan pihak-pihak tertentu dan kembali sumber daya alam kita tidak jadi dikelola oleh Pertamina perusahaan plat merah tanah air yang dikelola untuk kemakmuran bangsa.
Ironi Kekayaan SDA
Ironi blok natuna, ironi blok mahakam adalah ironi kekayaan sumber daya alam kita yang dikelola oleh perusahaan asing. Ibarat kue tart, maka negara kita hanya memperoleh sisa-sisa dari para tamu undangan yang telah kenyang makan kue tart-nya saat ada pesta ulang tahun. Padahal, Kejayaan NKRI dapat diketahui dari kekuatan sumber daya kelautannya yang memberikan andil bagi kesejahteraan Republik Indonesia melalui sumbangan devisa Negara dari sumber minyak dan gas (migas) sampai sekarang.
Dilaut kita dapat menghasilkan ratusan triliun devisa dengan berbagai potensi energi terbarukan. Masa habis 2 abad berupa hidrad gas dan gas biogenic serta energi-energi kelautan yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Potensi sumber daya hayati laut yaitu lebih dari 2.000 spesies ikan, lebih dari 80 genera terumbu karang atau sekitar 17,95 persen di dunia, 850 jenis sponge, padang lamun dan kimia terbanyak didunia serta hutan mangrove menyimpan potensi 6,5 juta ton ikan, dapat dimanfaatkan nelayan 5,01 juta ton ikan di hamparan laut seluas 5,8 juta kilometer persegi. Sebaliknya negeri jiran banyak memanfaatkan potensi kelautan Republik Indonesia dengan meningkatkan penguasaan teknologi penangkapan perikanan sehingga Republik Indonesia rugi mencapai 100 miliar rupiah per tahun.
Sebagai Negara maritim terbesar kedua di dunia, Indonesia seharusnya sudah mampu mengurangi tingkat kemiskinan karena kejayaan bangsa ada di laut. Namun pemanfaatan sumber daya geologi kelautan mengalami kendala oleh Peraturan dan Regulasi Undang-Undang Migas yang sangat merugikan. Sehingga Pertamina sebagai perusahaan Negara harus mengakuisisi anak perusahaan satu persatu agar dapat ikut tender proyek yang ada di berbagai blok (ladang minyak) di Indonesia. Misalnya blok Ambalat dan blok Alfa D Natuna merupakan dua dari 11 sumber keunggulan kekayaan Migas laut sedang di eksplorasi di wilayah Indonesia yang menghasilkan lebih dari 11.3 miliar barel dengan luas 6.700 km dan terdapat juga 60 cekungan minyak dan gas bumi. Belum lagi 29 cekungan baru yang mengandung 9,1 triliun barel Migas tersebar di Laut-Selat Sulawesi, Maluku, Timor dan Samudera Indonesia di Pantai Barat Sumatera.
Diantara 60 cekungan Migas tersebut 70 persen diantaranya dilautan, selebihnya 30 persen di daratan Kalimantan, Sumatera, Papua dan Sulawesi. Dari 60 cekungan tersebut, 20 diantaranya minyak bumi baru dikelola dengan kapasitas mencapai 2,13 miliar barel, cadangan gas bumi mencapai 112,5 triliun kaki kubik. Diperkirakan total sumber daya minyak bumi di perairan laut Indonesia adalah 40,1 miliar barel, gas bumi 217,7 triliun kaki kubik. Ini sangat tidak adil, sebab perusahaan Indonesia hanya mendapatkan porsi sedikit untuk konsesi Migas sebesar 15%. Selebihnya didominasi perusahaan asing seperti yang saya sebutkan diatas.
Selain itu, Republik Indonesia memiliki keunggulan historis pelayaran kapal di laut karena memiliki luas laut 3,1 juta km2 yang banyak menyimpan harta karun yang tenggelam dan terpendam di dasar laut dengan nilai tinggi. Dapat membantu melunaskan hutang luar negeri yang menghasilkan nilai 100 triliun, seharusnya mampu dijadikan bergaiming position bagi Negara di sekitarnya. Yaitu, melakukan tindakan penghadangan dan tidak memberikan jalur perairan pelayaran bagi nelayan asing yang melanggar kedaulatan teritorial maritim Republik Indonesia. Tidak memberi izin tangkap dan menutup jalur khusus pelayaran bagi Negara yang belum jelas kemauannya untuk menentukan batas wilayah perairan walau resiko mendapat protes anggota PBB, sebab kita juga sudah membuktikan bahwa kita berdaulat dengan memberikan hukuman mati bagi gembong narkotika.
Ini sangat ironis sekali, karena Negara asing lebih memanfaatkan potensi dan data-data sebarannya serta keunggulan teknologi yang mereka kuasai, sehingga Indonesia seperti Negara penonton, bereaksi pelan dan lembek.
Ironi Kualitas SDM
Sang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Pak Anies Baswedan selalu berujar “Yang menentukan kemajuan kita ke kedepan bukan sumber daya alam, tetapi kita sebagai manusia yang menentukan," yang artinya kejayaan NKRI ditentukan oleh sumber daya manusia-nya. Namun, apa yang kita lihat? Ternyata SDM kita masih kalah jauh dalam mengelola kekayaan alam Indonesia, terbukti adanya keragu-raguan kala kesempatan didepan mata untuk mengelola blok mahakam oleh Pertamina, alasan penurunan produksi Blok Mahakam dan ketidakmampuan mengoperasikan teknologi menguap kepermukaan sehingga Pertamina belum mendapatkan lampu hijau.
Bagaimana mau menjadi Negara Bahari yang tangguh jika kualitas sumber daya manusia yang masih tertinggal jauh dibandingkan dengan Negara bukan kepulauan. Bila pemerintah masih fokus pada pembangunan daratan, hingga pulau-pulau perbatasan terabaikan dan mengancam keutuhan NKRI karena laut merupakan bagian perekat bagi Kejayaan Bangsa. Sejarah sudah berbicara, bahwa kejayaan masa lalu Nusantara (Indonesia) dimulai dari lautan oleh dua kerajaan yang menguasai imperium Asia Tenggara yaitu Sriwijaya dan Majapahit, sehingga bangsa Indonesia dapat disebut Negara maritim, Negara bahari.
Indonesia memiliki banyak pakar hukum kelautan tetapi masih memerlukan orang-orang yang menekuni aspek teknis hukum laut. Terutama memanfaatkan kemampuan akademis dibidang ilmu kebumian, khusus yaitu Geologi, Geodesi, Geofisika, Nautika-Hidrografi untuk mendukung Tim Batas Maritim Indonesia dalam penentuan batas maritim. Bukan berarti pakar yang ada sekarang tidak mumpuni, tetapi kuantitas perlu ditingkatkan dan regenerasi adalah hal yang tidak bisa diabaikan.
Kelemahan ini semakin tragis, sebab banyak peluang fellowship tidak termanfaatkan dengan baik. Sehingga kualitas SDM masih terbatas dan tertinggal jauh dalam mengelola sumber-sumber daya ekonomi kelautan. Karena dukungan SDM kebumian khusus kelautan belum mencapai 1.000 sarjana, spesialisasi S2-S3 tidak mencapai 100 orang ilmuwan dari total 4.000 sarjana disiplin ilmu kebumian seperti Geologi, Geodesi-Tematik, Geofisika Kelautan dan Nautika-Oceanos-Hidrografi sehingga tidak pernah menyentuh akar permasalahan pembangunan kelautan dan pulau-pulau perbatasan.
Begitu juga dalam implementasi pendirian pusat studi yang mengkaji isu batas maritim di beberapa wilayah antar pulau di Indonesia masih terbatas pada wacana. Di lain pihak, Pemerintah lebih memfokuskan pada pengembangan kajian isu-isu politik kekuatan di Parlemen sehingga lalai memikirkan pembangunan sumber daya kebumian di bidang Kelautan dan Negara lain memanfaatkan hal ini untuk menekan regulasi dan menguras sumber-sumber Daya Kelautan. Semua hal tersebut harus dijadikan cara belajar dari pengalaman lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia.
Ironi Pelabuhan Laut
Faktor lain yang membuat ironi yaitu terbatasnya pengawasan laut karena jumlah pelabuhan laut yang menghubungkan antar pulau dan pembangunan pelabuhan laut yang tidak mendukung integrasi NKRI tidak menyebar merata, memerlukan penambahan jumlah 21 pelabuhan besar. Rasio perbandingan antara luas panjang pantai dengan jumlah pelabuhan yaitu 1 pelabuhan melayani 4.500 kilometer panjang pantai.
Pebandingan luas perairan laut teritorial Indonesia yang terdiri dari laut nasional 3.166.163 km2 dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) 2.2.42.437 km, jumlah dukungan empat pelabuhan laut (hub port sea) besar yang menghubungkan panjang laut 61.146.075 km dengan sebaran pulau besar-kecil 17.000 masih sangat terbatas, diperparah ketertinggalan peralatan teknologi dan keamanan dibawah kualitas standar pelabuhan laut internasional.
Tidaklah mengherankan berbagai aktivitas illegal oleh negara-negara tetangga dalam mencuri sumber daya keluatan Indonesia. Karena posisi TNI AL tidak semua di lokasi penangkapan ikan oleh nelayan asing sehingga dengan teknologi canggih pihak Malaysia mampu masuk karena terlebih dahulu mendeteksi posisi TNI AL yang menyebabkan kerugian ratusan miliar tiap tahun. Ini merupakan ancaman serius di masa mendatang apabila pemerintah tidak menyusun suatu landasan utama pembangunan pulau terdepan.
Perjuangan Ir. Djuanda Kartawidjaja dengan deklarasinya di tahun 1958 – melahirkan konsep Wawasan Nusantara – harus dijadikan inspirasi dan momentum kebangkitan Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi – JK dan dibawah Kementerian Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang telah menunjukkan kinerjanya “dilaut kita jaya” dari keterpurukan krisis ekonomi. Dengan memanfaatkan keunggulan luas lautan dan sebagai Negara bahari yang artinya adalah bangsa lautan, “Nenek moyangku adalah bangsa pelaut”.
Agar unggul sebagai Bangsa Maritim tangguh maka Pemerintah dan Institusi Pendidikan sudah semestinya memberi dukungan prioritas utama pembangunan SDM yang berkualitas. Juga kegiatan penelitian yang terkait batas maritim Indonesia, sehingga negara kita mampu memberikan peta sebaga informasi terbaru sampai dimana batas-batas negara NKRI. Peningkatan anggaran peremajaan alutista Kapal Perang TNI AL, dan pembangunan infrastruktur fisik di perbatasan juga sangat perlu dipercepat, sehingga kita akan jaya di laut.
Namun, kenyataannya? Harapan tinggal harapan. Inilah Ironi Negara yang Kaya akan Sumber Daya Alamnya. Yalesveva Jayamahe? Semoga!
Medan, 13 Mei 2015
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI