Ketika pak Joko Widodo dengan spontanitas membuat gebrakan reshuffle kabinet kerja jilid II yang begitu tiba-tiba dan mengejutkan banyak pihak, begitu juga banyak bersewileran berita-berita yang tidak jelas, baik itu seputar kenapa dan mengapa Menteri yang berkinerja bagus dan memberikan bukti nyata dari hasil pekerjaan beliau untuk Indonesia tiba-tiba diganti, apa dosa dan salah mereka hingga harus diganti sangat banyak beritanya kita baca, namun sumber beritanya tidak jelas, sebab hanya pak Jokowi dan staf pribadinya, serta Tuhan-lah yang tau dan itu adalah hak prerogative pak Presiden dan siapapun di negeri ini tidak berhak untuk mengkritik bahkan membatalkan keputusan tersebut, sekalipun itu dianggap sesuatu yang blunder.
Seperti pergantian Menteri Pendidikan, pak Anies Baswedan Menteri Perhubungan, Ignatius Jonan yang memuat banyak berita-berita kontroversi tentang masalah yang mereka hadapi dan sikap mereka sebelum diganti yang membingungkan public. Dalam konteks ini, media sosial, elektronik, hingga media cetak kompak dan sama-sama menafsirkan informasi menurut mereka dan melemparnya ke public yang menjadi konsumsi public sesuai dengan jalan pikiran mereka. Padahal maksud Pak Jokowi jelas, beliau butuh sosok yang mampu merespon dan membuat kebijakan yang melebihi dari ekspektasi yang beliau harapkan.
Khusus bagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan setelah ditangan pak Prof Muhaddjir Effendy, begitu banyak informasi-informasi yang tidak jelas yang muncul setiap kali pak Menteri berkomentar tentang sesuatu ide yang baru. Misalnya, ketika muncul berita tentang “Resonansi Finansial” yang isinya begitu mengejutkan dengan tujuan untuk mengganti system “Sertifikasi Guru”, beruntung sebelum berita itu menyebar luas, pak Menteri mengeluarkan surat yang membantah bahwa sertifikasi guru di stop pembayarannya dan berita tersebut hanya isu yang tidak benar. Sertifikasi masih tetap dibayarkan, apabilapun dirubah, harus diawali dari perubahan Undang-Undang maupun Peraturan yang mengaturnya.
Setelah isu “Resonansi Finansial” reda, sekarang muncul berita “Full Day School” untuk tingkat SD (Sekolah Dasar) dan SMP (Sekolah Menengah Atas) yang menjadi trending topic di media sosial maupun media elektronik dan cetak. Contohnya, Koran salah satu terbitan ibukota hari ini membeberkan di halapan depannya dan membahas “Full Day School” dengan judul “Sekolah Full Day Perlu Kajian”. Pun dengan media televise, membahas tentang ide yang dilontarkan oleh pak Muhadjir Effendy tersebut. Padahal, Full Day School masih dalam konteks usulan yang masih perlu di kaji ulang dan digodok bagaimana prosesnya berlangsung di lapangan. Sebab, tidak semua peserta didik betah di sekolah dan tidak semua orang tua rela anaknya berada satu harian penuh di sekolah, sebab orang tua masih membutuhkan bantuan anak-anak mereka dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup keluarga, alias membantu orang tua sepulang sekolah.
Memang bagi keluarga yang kedua orang tuanya (ayah dan ibu) punya pekerjaan tetap di Instansi Pemerintahan, di kantoran dan pulangnya malam atau sore, serta sudah memiliki ekonomi mapan, program ini tidak masalah, namun bagaimana bagi keluarga yang masih carut-marut dan berada dalam garis ekonomi menengah ke bawah? Peranan anak minimal ikut membantu pekerjaan rutin di rumah, misalnya membantu mencuci piring, menyuci baju, menjaga adek, dan lain sebagainya yang sangat membantu orang tua.
Belum lagi kesiapan guru di lapangan apabila program ini diberlakukan sebagai ujung tombak pendidikan, apa dan bagaimana teknisnya, pembelajaran yang bagaimana yang harus diterapkan kepada peserta didik agar mereka tidak bosan menerima pembelajaran. Kesiapan kantin sekolah bagaimana? Makanan guru dan makanan peserta didik bagaimana? Hingga hitungan insentif guru yang mengajar hingga sampai jam 17.00 wib bagaimana? Karena jujur, tanpa tambahan insentif, bagaimana guru nyaman dan bahagia mengajar sampai sore hari dan menjaga mereka di sekolah. Karena aktivitas peserta didik di sekolah tanpa kawalan, perhatian, dan bimbingan guru, akan sangat berakibat rawan akan tindakan-tindakan asusila hingga tindakan yang menjurus negatif, seperti pacaran di ruangan kelas atau di lingkungan sekolah, merokok di sekolah, hingga terjadinya perkelahian antar sesama peserta didik.
Lewat laman seorang teman di media sosial, ada bantahan dari pak Dirjen GTK (Guru dan Tenaga Kependidikan), bapak Sumarna Surapranata di sela-sela acara pembukaan Bimtek Calon Tim Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah tahun 2016, beliau menyampaikan dan menegaskan bahwa “full day school” yang diberitakan akan diterapkan di sekolah itu TIDAK BENAR. Menurut beliau "ada orang yang bermain di air keruh". Saat Mendikbud baru dilantik juga muncul berita resonansi finansial itu juga TIDAK BENAR. Sehingga, sekali lagi menegaskan bahwa berita tersebut masih butuh kajian dan BELUM DITERAPKAN DALAM WAKTU SINGKAT INI DI SEKOLAH-SEKOLAH.
Mari kita bersabar dan memberikan ruang dan waktu bagi Menteri Pendidikan serta seluruh stakeholder dan pembuat keputusan untuk bekerja dan memutuskan bagaimana teknis dan pelaksanaannya nantinya di lapangan. Perlu di ingat bahwa belajar TIK sangat perlu diterapkan apabila program “full day school” ini diterapkan untuk mengasah keterampilan mereka dibidang sains dan teknologi. Dan progam ini pun sangat cocok bagi peserta didik yang golongan ekonominya sudah mapan dan tidak ada lagi tuntutan, apabila orang tua setuju jika anaknya menghabiskan waktu di sekolah dengan segala progam dan fasilitas yang diberikan oleh sekolah.
Apabila diterapkan "full day school" di sekolah-sekolah juga harus diperhatikan sarana dan prasarana untuk mendukung Kurikulum tambahan yang diterapkan di luar Kurikulum yang baku yang diajarkan di waktu pagi, juga apabila guru sudah dibekali dengan pelatihan untuk mengajar di sore hari, maka niscaya program ini akan berjalan dengan baik. Namun sekali lagi butuh kajian dan belum diterapkan dalam waktu yang dekat ini.
Jadi intinya, berita “full day school” masih simpang siur, guru dan orang tua harus bijak menyikapi berita ini. Jangan galau….!!!
Sumber : 1