Memang sudah sepatutnya perkawinan yang terjadi di dunia modern sekarang ini apabila dua sejoli itu sudah mapan. Tidak cukup hanya cinta, emang bisa makan dengan lauk pauknya bernama cinta? Apabila kedua pasangan belum mapan alias belum memiliki pekerjaan tetap? Maka janganlah bermimpi untuk menikah, karena pernikahan zaman now itu membutuhkan biaya pesta yang besar, biaya hidup yang tinggi, dan tentunya harus punya masa depan cerah dengan karir dan pekerjaan yang mapan yang mampu menjamin damainya rumah tangga karena lebih tingginya pendapatan daripada pengeluaran, atau setidaknya balance-nya antara pemasukan dan pengeluaran.
Bukan lebih besar pasak daripada tiang, atau lebih besar pengeluaran daripada pemasukan, jika itu yang terjadi? Maka dipastikan akan terjadi 'perang'Â dalam rumah tangga. Si isteri akan 'komat-kamit' membaca mantra, alias merepet sepanjang hari, suami tidak nyaman dirumah akibat suasana yang tidak kondusif di rumah.
Akhirnya? Suami mencari pelarian di luar sana, atau mencari jalan pintas dengan pinjol atau main game slot atau main judi online, atau bahkan tindakan nekat lainnya. Semoga jangan terjadi seperti itu bukan?
Goodbye Pernikahan Dini
Perkawinan itu bukan sekedar menyatunya dua insan yang berbeda jenis kelamin dengan dasar cinta untuk membangun bahtera rumah tangga. Namun lebih daripada itu, perkawinan itu harus menyangkut banyak hal, termasuk kesiapan untuk tetap bersatu baik itu dalam suka dan duka, dalam untung dan malang, sehidup -- semati, tidak akan dapat dipisahkan, kecuali oleh maut.
Begitulah konsep perkawinan yang diajarkan kepada saya dan isteri ketika mengikuti kursus perkawinan, sebelum disahkan oleh Sakramen Perkawinan di depan Altar Gereja Suci. Kita ketika itu disadarkan akan kesiapan diri kita masing-masing untuk menjadikan dua insan menjadi satu. Jika dalam perhitungan matematika satu tambah satu sama dengan dua? Maka dalam konsep perkawinan yang kami anut, satu tambah satu itu tetap menjadi satu.
Oleh karena itu, bagaimanapun kondisi rumah tangga, apapun yang terjadi, baik itu suka dan duka harus sama-sama menjalaninya, harus mampu bertahan dalam kondisi apapun dan juga dalam terjangan badai rumah tangga.
Dulu, saya memutuskan menikah jika hidup sudah mapan, mapan dalam arti bahwa saya sudah memiliki gaji bulanan yang tetap, punya pekerjaan tetap, dan memilih isteri yang selevel dengan kita, dalam arti bukan dari kaum priyayi, kaum bangsawan, atau dari golongan yang orangtuanya kaya raya.
Karena, jika saya yang memiliki orangtua dengan penghasilan pas-pasan atau dibilang menengah ke bawah, bertemu dengan calon besan yang kaya raya? Pastinya akan ada rasa minder, dan tentunya juga nantinya akan berimbas pada keadaan rumah tangga yang nantinya pasti akan turut campur, apalagi jika si isteri melapor jika suami tidak bekerja, sering malas-malasan? Atau si isteri kekurangan uang dan meminta kepada orangtuanya? Wah entah seperti apa keadaan rumah tangga bukan?
Maka dari itu, saya tidak ada kepikiran untuk menikah sebelum memiliki pekerjaan tetap, gaji tetap, dan begitulah adanya saya menikah di usia 30 tahun, usia yang sudah mapan menurut saya.