Ingatan kembali memutar curhatan seorang ibu kala mendaftarkan anaknya lewat jalur zonasi beberapa waktu lalu. Si ibunya calon peserta didik baru di sekolah tempat saya bertugas ini curhat tentang bagaimana keadaan rumah tangganya pasca dia mendaftarkan anaknya lewat jalur Afirmasi.
Tau kan rekan-rekan blogger apa itu jalur afirmasi? Nah, bagi yang belum tau. Jalur afirmasi adalah salah satu jalur penerimaan Peserta Didik Baru yang ditujukan untuk peserta didik yang berasal dari golongan masyarakat tertentu. Mengenai golongan masyarakat tertentu yang dimaksud, menurut juknis yang kami dapat, masyarakat golongan tertentu yang dimaksud adalah peserta didik yang berasal dari ekonomi yang tidak mampu, alias ekonomi kebawah, dan juga penyandang disabilitas.
Indikatornya apa? Mengenai indikatornya telah diatur pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan, bahwasanya penerima jalur afirmasi adalah calon peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu dan penyandang disabilitas.
Ini dapat dibuktikan dengan melampirkan bukti keikutsertaan dalam program penanganan keluarga tidak mampu yang resmi dikeluarkan oleh pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah. Dengan banyaknya program pemerintah dalam upaya penanganan keluarga tidak mampu, maka kamipun dituntut harus menerima calon peserta didik yang memiliki beragam kartu ataupun bukti bahwa keluarga tersebut menerima dana bantuan pemerintah bagi keluarga tidak mampu.
Kembali ke curhatan si ibu calon peserta didik baru tersebut, dimana dia cerita bahwa suaminya sudah kecanduan judi online, sampai-sampai pengakuan isteri, suami tidak peduli lagi sama anaknya, sehingga untuk mendaftarkan PPDB aja harus isteri turun tangan.
Mungkinkah Berantas Judi Online?
Akibat judi online, banyak orangtua dan anak-anak muda sekarang terjerumus, hingga kecanduan. Bahkan, jika info ini benar? Maka akan sangat berbahayanya pengaruh judi online bagi mental dan kesehatan anak-anak muda sekarang.
Ketika kelas XII alias kelas tiga SMA yang notabene sudah sepatutnya memiliki identitas diri alias KTP (Kartu Tanda Penduduk), dimana kala itu dari pegawai Disdukcapil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) jemput bola ke sekolah-sekolah, termasuk ke sekolah tempat saya mengajar untuk melakukan perekaman e-KTP.
Sontak, siswa itu berkerumun dan entah benar atau hanya guyonan belaka, ada salah satu siswa berkata ke temannya "Enak ya, bentar lagi kita punya KTP, dah bisalah ajukan pinjol buat dana main game online", kata siswa tersebut yang disambut dengan tertawa gembira dari temannya yang lain.
Lantas, di beberapa video dapat kita lihat bagimana korban-korban game online. Masih teringat seorang polwan membakar suaminya yang juga seorang polisi, karena kesal sang suami menggunakan gajinya untuk bermain judi online alias beli slot.